Jum`at, 31 Oktober 2025
Beranda / Feature / Jejak Perempuan Perkasa di Pohon Kakao

Jejak Perempuan Perkasa di Pohon Kakao

Kamis, 30 Oktober 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Rizkita Gita

Tihasanah (61) salah satu warga binaan kelompok tani kakao di Aceh Utara. Foto: Rizkita/Dialeksis 


DIALEKSIS.COMO | Aceh Utara - Sesosok perempuan berbaju putih polos mengenakan kerudung hijau terlihat menunduk, tangannya membersihkan rerumputan di antara batang-batang kakao muda di lahan dikelilingi deretan pohon pinang yang tumbuh rapat bak pagar melindungi tanaman kakao muda di tengahnya. Walau sudah renta, tubuhnya tak ringkih, gerakan tangan cekatan dan langkahnya masih kuat.

Tihasanah sehari-hari menghabiskan waktu di kebun kecil tidak jauh dari rumahnya di Dusun Pante Kiro, Desa Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara. Salah satu kawasan terpencil di kabupaten tersebut.

Mencapai ke kawasan itu tak mudah, butuh waktu 1 jam 25 menit bila ditempuh dari Kota Lhokseumawe dengan sepeda motor melintasi kecamatan, Nibong, Matangkuli, dan Tanah Luas sejauh 44 kilometer lebih.

Tak hanya faktor jarak,kondisi jalan dominan rusak parah juga membuat perjalanan terasa lebih sulit, apalagi mengendarai sepeda motor matik standar, maka harus ekstra hati-hati. Bagaimana tidak, setelah melintas jalan aspal penuh lubang sejauh 6 kilometer dari Simpang Reudang hingga Keude Paya Bakong, kita akan menempuh jalanan berkerikil sejauh 8 kilometer untuk sampai ke kampung itu.

Tihasanah adalah salah satu dari 19 perempuan di Aceh Utara penerima bantuan pelatihan Program Kelompok Tani Kepala Rumah Tangga bantuan dari PT Pertamina Hulu Energi North Sumatera Offshore (PHE NSO), untuk menghasilkan biji kakao berkualitas tinggi.

“Sekarang kami tahu caranya menanam yang benar,” katanya penuh semangat sambil tangannya terus mencabut rumput gulma di sekitar tanaman kakao.

“Bibit coklat ini baru sebulan saya tanam. Sekarang sudah tumbuh dua daun baru, besar-besar lagi,” ucapnya lagi. Ilmu menanam didapat dari pembimbing Sekolah Teknis Kelompok Kakao masih ia ingat.

Dengan sabar ia menjelaskan sambil memberi contoh. “Rumput dan daun kering ini jangan dibiarkan menumpuk di sekitar tanaman. Kalau dibiarkan, akar kakao busuk bahkan jadi sarang semut, nanti tumbuhnya nggak bagus,” tuturnya lalu mengambil buah kakao tua dari tanaman sebelum ikut pelatihan.

“Dulu buahnya saya cabut begitu saja, setelah ikut pelatihan ternyata harus digunting,” tersenyum kecil.

Ia mengaku udah terbiasa bekerja keras sejak kecil, ke kebun hanya bermodalkan sandal jepit dan parang. Berkat dari bantuan perusahaan migas itu mereka jadi tahu pentingnya melindungi diri saat melakukan aktivitas di kebun.

Menjadi Perempuan Perkasa

Konflik bersenjata di Aceh memaksa Tihasanah menjadi perempuan perkasa. Ia kehilangan suami, Bakri Tanjung akibat insiden kontak tembak saat konflik di wilayah itu masih berkecamuk. Tepat saat anak semata wayangnya masih sekolah dasar. Sejak itu pula ia jadi tulang punggung keluarga. Bahkan terpaksa menjadi buruh tani agar anaknya tetap bisa makan, karena sepetak kebun yang ditinggal sang suami tidak cukup untuk penuhi kebutuhan keluarga.

“Saat konflik itu, suara tembakan, kabar kematian menjadi hal biasa yang saya dengar. Ya sudah, pasrah saja, yang penting saya bisa dapatkan uang untuk beli beras agar sehari-hari anak bisa makan,” cerita Tihanasah dengan mata menerawang.

Walau dapat upah tak seberapa, lanjutnya, ia cukup untuk bertahan hidup hari demi hari. Kadang, jika tak ada hasil panen, ia ikut bekerja memanggul batu ke dalam truk di sungai Krueng Kereuto. Kawasan itu selain kawasan kebun, juga dikenal sebagai lokasi galian C, berupa pasir dan batuan sejak lama.

“Zaman itu dibayar Rp12.000 per orang kalau sudah penuh batu satu truk. Kalau sekarang Rp 80.000. Capek memang, tapi mau bagaimana lagi,” ucapnya terbata.

Kini anaknya Yusriadi berumur 34 tahun dan sudah mempunyai keluarga kecil, hidup sederhana sebagai buruh harian. Meski sang anak sering menawarkan bantuan, Tihasanah menolak lantaran enggan merepotkan anaknya yang hidup pas-pasan. Sang anak juga kerap melarangnya bekerja berat. “Cukuplah, Mak. Istirahat saja,” begitu kata Tihasanah mengulang kembali kata anaknya itu.

Tapi bagi Tihasanah berkebun sudah menjadi bagian dari hidup yang sulit dilepaskan meski usia tak lagi muda. Bedanya, kini ia tidak lagi menjadi buruh kasar seperti dulu. Walaupun begitu ia bersyukur masih diberi umur panjang dan kesehatan untuk terus bergerak. “Sering sakit-sakit ini lutut”.

Tubuhnya memang terlihat tak sekuat dulu, namun semangat tetap tumbuh seperti pohon-pohon yang ia rawat setiap hari. Tihanasah juga tetap bekerja sebagai buruh pemetik buah kakao di kebun milik orang di desa. Kerjanya setengah hari, upah Rp50.000 . Setengah hari lagi merawat kebun sendiri, sembari menunggu pohon kakao di kebun tumbuh besar dan berbuah.

Tihasanah berharap kebun kakao itu bukan sekadar sumber penghasilannya nantinya, melainkan warisan untuk anak. “Kalau nanti saya sudah tidak ada, kebun ini bisa buat dia (anak) melanjutkan hidup,” harapnya.

Menurutnya, komoditi kakao adalah penghasilan primadona di desanya. Karena bukan tanaman musiman, jika beruntung buahnya bisa dipanen seminggu sekali.

“Harga saat ini memang lagi turun, hanya sekitar Rp40.000 per kilogram. Padahal biasanya biji coklat kering bisa mencapai Rp180.000 per kilogram. Harga ini kita jual ke pengumpul,” sebutnya.

Tak Hanya Tihanasah, ada Khadijah tetangganya yang punya cerita tak kalah hebat. Ibu 64 tahun ini juga kepala keluarga perempuan ditinggal mati suami ketika konflik dulu. Bedanya ada lahan yang sudah mengembangkan tanaman bahan utama cokelat yang ditinggal suaminya seluas 1.400 meter persegi hingga bisa bertahan hidup bersama keluarga hingga sekarang.

“Pohon coklat (kakao) saya sudah mati kena banjir bandang tiga tahun lalu. Hanya tersisa beberapa batang . Bukan punya saya saja tapi warga lain juga sama dampak banjir kena penyakit, pohon sudah tua juga iya,” katanya.

Sejak itu ia tidak sanggup membeli bibit baru, hanya bertahan hidup dari sisa tanaman kakao yang selamat dari banjir. Otomatis pendapatannya menurun. “Sekarang beli bibit satu saja Rp20.000. Mana ada uang saya,” keluhnya.

Ia pun bersyukur mendapat bibit bantuan Pertaminan PHE NSO. “Bulan lalu ada sedekah bibit, saya tanam terus,” ujarnya dengan aksen Aceh yang kental.

Baru-baru ini, keberuntungan menghampirinya. Ia mendapat bantuan bibit kakao baru lengkap dengan pelatihan cara tanam, pemupukan, dan pengendalian hama.

“Bagus bibitnya, baru sebulan sudah keluar daun besar-besar. Diajarkan juga cara kasih pupuk, cara atasi penyakit. Sekarang saya tahu kenapa dulu buahnya busuk sebelum panen,” terangnya.

Menurutnya pelatihan itu membuka matanya dan 19 penerima manfaat lainnya. Ternyata cara merawat kakao dengan cara lama beda.

“Dulu kalau ada bibit, saya tanam saja. Kalau mati, tanam lagi. Bibitnya kami semai sendiri, sering gagal juga karena nggak tahu mana yang unggul. Mau beli, ya nggak ada uang,” terangnya sambil tersenyum.

Dua kisah perempuan Pante Kiro ini mungkin biasa saja , tapi keduanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih berharga. Keteguhan untuk bertahan dan menanam harapan, bahkan di tanah yang sering dilanda banjir sekalipun.

Peserta kelompok tani mengikuti pelatihan budidaya kakao. Foto: dok Humas PHE NSO (For.Dialeksis.com)


Belajar Budidaya Kakao

Direktur Eksekutif Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup dan HAM (LPLHa), Nabhani Yustisi, menyebutkan, penyerahan 700 bibit kakao sejak pada 24 Agustus 2025. Masing-masing menerima 35 bibit, ditanam di lahan masing- masing penerima manfaat.

Hari berikutnya lanjut pemaparan materi praktik dan belajar lebih jauh tentang budidaya kakao, dipandu oleh seorang ahli kakao berpengalaman budidaya kakao di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, Mahdi.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petani kakao agar mampu mengelola tanaman secara efektif. Selain teori budi daya, juga praktik teknik penanaman, perawatan dan praktik pengendalian hama tanaman kakao.

“Selama kegiatan ini, 70 persen praktek langsung di kebun. Materi dan praktek ini berlangsung tiga hari,” terang Nabhani.

Para petani juga diberikan peralatan tani seperti sepatu, sarung tangan, pisau, pupuk, gergaji pupuk. Tim tembaga LPLHa dipercaya PHE NSO sebagai pendamping dan fasilitator serta monitoring perkebangan proses budidaya kakao terhadap kelompok tani tersebut.

“Tidak hanya pemberdayaan petani, ini sekaligus juga sebagai perlindungan lingkungan. Hal ini mendukung kelompok rentan, termasuk korban konflik, agar dapat mandiri secara ekonomi dan mandiri budidaya kakao,” Nabhani.


Selaras dengan SDGs dan ESG

Manager Community Involvement and Development (CID) Pertamina Hulu Rokan Regional 1, Iwan Ridwan Faizal, menyebutkan, perempuan kepala keluarga di Kabupaten Aceh Utara menjadi sasaran utama penerima manfaat program tanaman kakao. Pemilihan kelompok ini didasarkan pada pertimbangan sosial dan ekonomi. Mereka tergolong kelompok rentan karena menanggung beban ganda untuk memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus mencari nafkah.

Melalui program ini, para perempuan diharapkan mendapat peluang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas diri, memperkuat kemandirian ekonomi. Pemilihan kepala keluarga perempuan di Aceh Utara khususnya Kecamatan Paya Bakong, sebagai lokasi program bagian dari komitmen keberlanjutan perusahaan. Sebelumnya, perusahaan telah melakukan kegiatan restorasi lahan kritis di wilayah Cot Girek, yang kini diteruskan dengan pemberdayaan masyarakat melalui sektor pertanian berkelanjutan.

Tidak hanya itu, program ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati PBB pada 2015. SDGs mencakup 17 tujuan global untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik pada 2030, mulai dari pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan dan kesehatan, hingga kesetaraan gender dan pelestarian lingkungan.

“Program CSR di PHE NSO sesuai dengan aturan dari SKK Migas bahwa pemberdayaan masyarakat akan dilakukan selama lima tahun, dan terhitung sejak tahun 2024. Program ini merupakkan komitmen perusahaan untuk menjalankan TJSL yang didasarkan dengan pilar CSR persero (ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan). Komitmen ini juga selaras dengan SDGs dan ESG,” sebut Iwan Ridwan.

Kata Iwan, proses evaluasi program dilakukan oleh perusahaan bersama mitra dan para petani setiap bulan, setelah tahapan penanaman selesai dilaksanakan. Sejak awal program ini bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara. Selain itu PHE NSO juga menggandeng LPLHa yang merupakan NGO lokal untuk menjadi mitra pendampingan program kakao ini.

“Melalui monitoring laporan kegiatan, presensi kehadiran penerima manfaat dan evaluasi berkala dokumen laporan. Secara teknis kunjungan ke lapangan, dan supervisi tenaga ahli. Pada tahap ini target PHE NSO adalah perbaikan kualitas tanaman kakao dan peningkatan produktivitas atau secara general sebagai hulu industri kakao. Perluasan bantuan program hingga tahap hilir akan dilakukan setelah perbaikan pada tahap hulu sudah menyeluruh,” terangnya.

Penyerahan bantuan bibit kakao kepada kelompok tani. Foto: dok Humas PHE NSO (For Dialeksis.com)

Selanjutnya »     Komoditas Unggulan di Aceh Tanaman kaka...
Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI