Impian Aceh sebagai Destinasi Wisata Halal Internasional Bukanlah Cet Langet!
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
DIALEKSIS.COM | Feature - Fauziah Basyariah, pemilik UD. Tuna, berdiri di depan tendanya yang penuh dengan produk olahan ikan khas Aceh. Ikan kayu, produk kebanggaannya, tersusun rapi dalam kemasan yang mencolok dengan label halal. Label itu, meski kecil, memancarkan makna besar.
“Ini bukan hanya tentang memenuhi syarat agama,” katanya dengan senyum tenang. “Ini adalah cara kami untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa produk Aceh bisa diandalkan, aman, dan berkualitas.”
Fauziah menceritakan bagaimana produk olahannya telah sampai ke Arab Saudi, menjadi bagian dari oleh-oleh para jemaah haji. Sebuah perjalanan panjang, dari dapur kecil di Aceh hingga ke tangan konsumen, dimulai dengan sebuah keputusan sederhana: mendapatkan sertifikat halal.
“Alhamdulillah produk kami sudah bersertifikat halal,” ucap Fauziah seraya menyampaikan produk ikan kayu miliknya sudah sudah ada di seluruh tempat souvenir di Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Medan, Sigli dan Sabang.
Kisah Fauziah menjadi bukti dengan sertifikasi atau “ label” halal, potensi meningkatkan penjualan produknya terbuka luas.
Bahkan Kementerian Perdagangan menyatakan nilai ekspor Indonesia untuk produk makanan olahan ke Arab Saudi tahun 2022 mengalami pertumbuhan hingga lebih dari 40 persen. Angka ini menunjukkan sebuah peluang sertifikasi halal ini berpotensi meningkatkan ekspansi ekspor produk halal UMKM luar negeri, terutama Timur Tengah.
Di sisi lain, angka ekspor UMKM Indonesia akan meningkat secara signifikan bila UMKM Indonesia dapat mempenetrasi segmentasi pasar ini, tak terkecuali Aceh. Dengan dukungan pemerintah dan partisipasi UMKM, Aceh berupaya memanfaatkan momentum ini.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal, melalui Kepala Bidang Pengembangan Usaha Pariwisata dan Kelembagaaan (PUPK), Ismail, menyebutkan, pentingnya logo halal bagi wisatawan terkait produk yang mereka konsumsi dan beli yang ada di Aceh.
“Kami berharap pelaku usaha yang belum mengurusi sertifikat halal untuk bisa segera mengurus sertifikat halal baik melalui BPJPH maupun LPH LPPOM MUI,” ucapnya.
Label halal sejatinya bukan hanya tentang agama. Ia adalah simbol transparansi dan integritas, sebuah konsep food traceability yang perlahan tapi pasti menjadi standar global. Dari bahan baku hingga proses produksi, sertifikasi halal memastikan bahwa konsumen tahu apa yang mereka konsumsi. Di Aceh, dengan mayoritas penduduk Muslim, kebutuhan akan produk bersertifikat halal bukan lagi sekadar preferensi, tetapi keharusan.
Salah satu produk dari UMKM Aceh yang telah memiliki sertifikasi atau "label" halal. [Foto: for dialeksis.com]Bagi banyak pelaku usaha, mendapatkan label halal bukan berarti hanya tentang memenuhi syarat agama. Tetapi secara bisnis, ini tentang memastikan produk mereka dapat diterima oleh segmen pasar umat Muslim. Dengan demikian, label halal memberikan nilai tambah signifikan produk, khususnya UMKM.
Menurut Ismail, saat ini pemerintah Aceh terus berupaya untuk menjadikan destinasi wisata halal tingkat internasional dan menjadikannya sebagai visi RIPKA Aceh No 3 Tahun 2022.
“Dan kita juga sudah tahu bersama-sama Aceh untuk kesekian kalinya mendapati peringkat kedua pada ajang destinasi wisata halal di tingkat nasional dan itu semua berkat dukungan dari para pelaku usaha yaitu UMKM yang sudah bersertifikasi halal,” sebut Ismail.
Bagi para pelaku UMKM Aceh, sertifikasi halal haruslah menjadi investasi, untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dan akses pasar yang lebih luas. Di pasar internasional, label halal adalah tiket emas menuju peluang yang tak terbatas.
Harapan ini tentunya bukanlah “cet langet”, dengan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas dan memperluas pasar, Aceh siap menempatkan dirinya di peta halal dunia. [adv]