Hikayat Aceh dan Masa Depan Satwa Liar
Font: Ukuran: - +
Reporter : Zulkarnaini
Hutan dan jalan menuju Gampong Panton Luas, Tapak Tuan, Aceh Selatan. (Foto: Zulkarnaini | DIALEKSIS.COM)
Gunöng dum dikrok buhok pucôk krueng. Glé ka meuruweueng kayèe ka bungka.
Tadeungö shinsô a-ô dum ang-eueng. Ka abèh kéng keueng Satwa langka.
Bue deungön Cagèe Himbèe ngön Rimueng. Han ji tuho plueng ka peungeuh rimba.
Ka seu-uem uroe watèe musém khueng. Kayèe ka ruweueng tan pat meudôda.
DIALEKSIS.COM | Aceh menyimpan hikayat-hikayat luhur yang menjadi warisan berharga bagi masyarakat. Lebih dari sekadar cerita, hikayat juga berperan penting dalam mendidik dan membentuk karakter masyarakat Aceh.
Hikayat, dengan kekayaan nilai-nilai moral dan kearifan lokal, menjadi media edukasi yang tak ternilai bagi masyarakat. Hikayat Aceh bukan legenda atau mitos, melainkan kumpulan cerita yang membawa pesan moral, etika, dan tuntunan hidup yang mendalam.
Lewat hikayat, nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan keadilan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu hikayat sebagai sumber inspirasi untuk menjaga hutan di Aceh, adalah hikayat Peulihara Uteun.
Seniman tutur Aceh, Medya Hus, menceritakan, karangannya itu bukan narasi tentang petualangan atau mitos semata, tapi pandangan hidup yang mengajarkan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam. Dalam hikayat ini, manusia harus hidup seimbang dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
"Peulihara Uteun mengajarkan nilai-nilai seperti tanggung jawab dan rasa hormat terhadap hutan dan satwa liar. Hikayat ini menjadi panggung masyarakat Aceh untuk merenungkan peran kita sebagai pelindung alam dan bagaimana setiap individu dapat berkontribusi pada pelestarian ekosistem yang kaya ini," ujarnya.
Peulihara Uteun, tambah maestro seniman Aceh itu, juga menciptakan sebuah narasi yang menyatu dengan upaya pelestarian alam. Hikayat ini tidak hanya tinggal dalam cerita lisan, tetapi juga menjadi pelajaran untuk aksi nyata dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Medya Hus Seniman tutur Aceh
Hikayat ini tidak hanya sekadar rangkaian kosakata, melainkan juga sarat dengan nilai-nilai doa yang meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.
"Ada kandungan doa dalam hikayat, sehingga menjadi landasan spiritual bagi masyarakat di Aceh," jelasnya.
Menurut Medya, menjaga hutan dan melestarikan satwa liar tidak hanya tanggung jawab manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga sebuah bentuk ibadah dan penghormatan terhadap penciptaan. Doa-doa yang diselipkan dalam narasi itu memberikan nilai-nilai keagamaan yang menguatkan ikatan spiritual antara manusia dan alam.
Masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam, menjadikan doa sebagai bagian dalam kehidupan sehari-hari mereka.
"Orang tua kita dulu pada saat ingin ke hutan dan ke laut tetap berdoa dulu, ini untuk menghargai dan menghormati makhluk yang ada di hutan dan di laut," ujarnya.
Hikayat kata Medya, tidak hanya layak sebagai media edukasi dalam menjaga hutan dan satwa liar, tetapi bisa mengajarkan masyarakat cara hidup berdampingan dengan satwa liar, tanpa adanya komunikasi negatif.
"Melalui hikayat memberikan pemahaman tentang keseimbangan ekosistem, memberikan pelajaran, mengajak masyarakat untuk menjaga hutan dan tidak konflik dengan satwa liar," ujarnya.
Kearifan Lokal
Di ujung barat Kecamatan Tapak Tuan, Aceh Selatan, terhampar sebuah desa yang damai bernama Gampong Panton Luas. Dengan pesona alamnya yang memikat, warga gampong itu hidup damai.
Namun, kehidupan tenang mereka mulai diselingi dengan kehadiran yang tidak terduga, harimau. Si raja hutan itu sering turun ke permukiman warga untuk mencari mangsa.
Warga Panton Luas, sering kali dihadapkan ketegangan dengan harimau Sumatra. Harimau mulai melintasi batas hutan dan memasuki permukiman. Kadang masyarakat yang sedang menjalankan rutinitas di kebun, melihat jejak kehadiran harimau, sehingga menciptakan rasa khawatir mereka.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimeung Aulia, Masrita, mengisahkan tentang pengalaman mereka melihat jejak harimau di belakang rumah dan di kebunnya, sementara pada lain kesempatan pernah mendengar suara sang raja hutan.
"Saya pernah mendengar suaranya, jejak kakinya di belakang rumah, InsyaAllah tidak terjadi apa-apa saat itu, aman saja," katanya.
Meskipun Masrita telah mengalami kehadiran harimau di sekitar rumahnya, tetapi belum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal itu karena ada kerukunan dipertahankan antara manusia dan satwa liar di Panton Luas.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimeung Aulia, Masrita
Menurut Masrita, para leluhur meninggalkan tradisi atau kearifan lokal. Nilai dan tradisi lokal masih menjadi bagian kehidupan sehari-hari di Panton Luas. Mereka turut menjaga dan meneruskan kearifan lokal secara turun temurun untuk bisas hidup harmonis dengan satwa liar, termasuk harimau.
"Tradisi-tradisi ini bukan hanya termasuk pelestarian alam, tetapi juga nilai-nilai budaya, etika, dan norma-norma yang menjadi landasan kehidupan warga di sini," katanya.
Menurutnya, tokoh adat Gampong Panton Luas telah memberikan contoh dalam menjalani kehidupan seimbang dengan alam. Mereka memegang peran penting dalam menyampaikan nilai-nilai itu kepada generasi muda, mengajarkan tentang pentingnya menjaga ekosistem, menjalankan prinsip hidup antara manusia dan satwa liar, serta memahami keberagaman alam sebagai suatu kekayaan.
"Perubahan dalam kehidupan sehari-hari kadang pernah mengakibatkan cara masyarakat berinteraksi dengan alam, termasuk harimau. Ketika itu, tak menjalankan lagi tradisi, ada pantangan-pantangan tertentu yang mulai diabaikan saat mereka masuk ke dalam hutan. Sehingga terjadi konflik manusia dan satwa liar," katanya.
Sejak beberapa tahun lalu, masyarakat mulai menghidupkan kembali kearifan lokal sebagai upaya dalam menjaga dan memperkuat ikatan antara manusia dan alam.
Pemahaman nilai-nilai kearifan yang sempat merosot memiliki dampak besar terhadap keberlangsungan hidup mereka.
"Ini mendorong masyarakat untuk kembali menghargai dan mempraktikkan tradisi-tradisi yang telah lama diwariskan oleh nenek moyang kami," kata Masrita.
Salah satu cara yang dilakukan tradisi tolak bala. Ini rutin dilakukan setiap tahun pada hari Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Islam.
"Menjadi sarana berdoa untuk memohon perlindungan dari bencana dan ancaman yang mungkin datang, termasuk potensi konflik dengan satwa liar seperti harimau," ujarnya.
Saat tolak bala warga membawa makanan atau "kenduri" dan upacara pemberian makanan kepada Raja Hutan. Ini dilakukan tentu disertai dengan doa-doa, bentuk penghormatan dan upaya menjaga hubungan harmonis antara manusia dan satwa liar.
Kenduri Rabu abeh bukan hanya sebagai sarana untuk memberi makanan harimau, tetapi juga sebagai rasa hormat dan kerendahan hati terhadap alam.
"Masyarakat berdoa agar selamat, menciptakan hubungan harmonis alam dan dijauhkan bala," pungkas Masrita.
Nilai-nilai kearifan lokal yang bernilai harus diakui dan dipertahankan keberadaannya. Seiring berjalannya waktu, kearifan lokal diwariskan ke generasi muda dalam mengelola sumber daya alam sambil menjalani hidup yang berdampingan dengan satwa liar.