Gemuruh Irama Aceh Perkusi, Jembatan Budaya dan Destinasi Wisata
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Aceh Perkusi Festival 2024 digelar di Taman Sulthanah Safiatuddin, Kota Banda Aceh. [Foto: dok. Disbudpar Aceh]
DIALEKSIS.COM | Feature - Di Bumi Serambi Mekkah, di tanah yang penuh sejarah dan budaya, gema perkusi tradisional Aceh menggema seperti detak jantung bumi. Dalam keheningan malam di Tanah Rencong, dentuman Rapa’i Pasee dan Rapai Geleng bukan hanya sekadar bunyi, tetapi cerita, doa, dan jejak peradaban. Pada September 2024 lalu, Aceh Perkusi kembali hadir, bukan hanya sebagai perayaan musik, tetapi sebagai perjalanan batin dan undangan untuk menyelami kekayaan budaya Aceh.
Aceh adalah tanah dengan napas budaya yang hidup, tempat tradisi dan adat istiadat dijaga dengan penuh cinta. Di setiap detak perkusi, ada kisah panjang perjuangan, spiritualitas, dan kebanggaan lokal yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Alat musik perkusi Aceh seperti Rapa’i, Trengganing, dan Gendang bukan sekadar instrumen. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, sering dimainkan dalam ritual adat, acara keagamaan, dan momen sakral lainnya.
Namun, lebih dari itu, perkusi di Aceh adalah bahasa universal yang mampu menjembatani budaya lokal dengan dunia luar. Aceh Perkusi, agenda dua tahunan yang telah berlangsung sejak 2016, menjadi wadah di mana tradisi ini dirayakan dalam skala yang lebih luas. Bahkan tahun ini, festival tersebut menghadirkan lebih dari 200 seniman dari berbagai daerah dan mancanegara.
Aceh Perkusi bukan sekadar festival musik. Ini adalah panggung yang menyatukan dunia. Di sinilah Rapa’i Pasee, yang berasal dari pesisir Aceh, bertemu dengan dentuman perkusi dari provinsi lain di Indonesia, bahkan mancanegara. Dalam harmoni kolaboratif ini, tradisi Aceh tidak hanya diperlihatkan, tetapi juga dirangkul oleh dunia.
Festival tahun ini menampilkan parade etnik yang menggabungkan beragam gaya musik perkusi. Penonton disuguhi pertunjukan Rapai Geleng oleh sanggar Citka Geunta, yang memadukan seni tari dan ritme perkusi dalam gerakan yang penuh energi dan makna. Tidak ketinggalan, musisi nasional seperti Gilang Ramadhan, seorang legenda dalam dunia perkusi Indonesia, berkolaborasi dengan seniman lokal, menciptakan simfoni yang membaurkan tradisi dan modernitas.
Aceh Perkusi 2024 menawarkan lebih dari sekadar pertunjukan. Pengunjung akan diajak mendalami sejarah dan proses pembuatan alat musik tradisional melalui pameran yang mengungkap rahasia di balik dentuman magis Rapa’i. Dokumenter yang menampilkan perjalanan bahan baku dari hutan hingga menjadi instrumen siap pakai juga akan diputar, memberikan wawasan mendalam tentang keahlian pengrajin lokal.
Tak ketinggalan, ada workshop dan klinik perkusi yang membuka pintu bagi siapa saja yang ingin belajar. Dalam bengkel perkusi, seniman seperti Fajar Siddiq, seorang pengrajin Rapa’i, akan membagikan pengetahuan dan teknik pembuatan alat musik tradisional. Ini adalah kesempatan langka untuk tidak hanya melihat, tetapi juga menyentuh dan memahami elemen budaya yang telah bertahan selama berabad-abad.
Dari Budaya ke Ekonomi Kreatif
Salah satu keistimewaan Aceh Perkusi adalah kemampuannya untuk menjembatani seni tradisional dengan peluang ekonomi. Tahun ini, festival didukung oleh Digital Entrepreneur Festival, yang melibatkan lebih dari 100 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Aceh. Melalui program ini, produk-produk lokal seperti kerajinan tangan, kain tradisional, dan kuliner khas Aceh diperkenalkan kepada pasar yang lebih luas.
Festival ini juga menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-21, yang digelar di Aceh. Kolaborasi ini menunjukkan bagaimana seni, olahraga, dan ekonomi dapat bersinergi untuk mendorong pertumbuhan pariwisata dan memperkuat identitas budaya Aceh di mata nasional dan internasional.
Salah satu penampilan pada acara Aceh Perkusi Festival 2024, di di Taman Ratu Safiatuddin, Desa Lampriet, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, pada September 2024. [Foto: net]Pesona Wisata Budaya
Dalam era globalisasi, ketika budaya lokal sering kali tergerus oleh modernitas, Aceh Perkusi menjadi bukti nyata bahwa tradisi dapat hidup berdampingan dengan inovasi. Festival ini tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga mengadaptasinya agar relevan dengan generasi muda. Dengan melibatkan seniman mancanegara dan musisi kontemporer, Aceh Perkusi menciptakan ruang di mana tradisi dihormati, tetapi juga dikembangkan.
Nurlaila Hamjah, Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, menekankan pentingnya Aceh Perkusi sebagai platform edukasi dan apresiasi. “Selain pertunjukan, kami juga akan menampilkan video dokumenter yang memperlihatkan proses pembuatan alat musik rapai, dari pengumpulan bahan baku di hutan hingga pembuatannya. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang kekayaan budaya Aceh,” ujarnya.
Bagi wisatawan, Aceh Perkusi adalah pintu gerbang untuk mengeksplorasi pesona budaya Aceh. Festival ini bukan hanya tentang musik, tetapi tentang pengalaman. Dari menikmati dentuman perkusi hingga mencicipi kuliner tradisional dan menjelajahi pameran sejarah, pengunjung diajak menyelami kehidupan dan nilai-nilai masyarakat Aceh.
Lokasi festival, Taman Sulthanah Safiatuddin, juga menambah daya tarik acara ini. Sebagai salah satu ikon wisata budaya di Banda Aceh, taman ini menawarkan suasana yang sempurna untuk menikmati harmoni musik tradisional di bawah langit Aceh yang cerah. Dengan berbagai aktivitas yang dirancang untuk semua kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa, festival ini telah menjadi destinasi yang ideal untuk liburan keluarga.
Melalui dukungan pemerintah dan partisipasi masyarakat, Aceh Perkusi terus berkembang menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat Aceh. Sejak masuk dalam kalender event nasional Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2022, festival ini semakin dikenal sebagai salah satu perayaan budaya terkemuka di Indonesia.
“Aceh Perkusi sudah menjadi bagian dari kalender event nasional setelah melalui kurasi ketat sejak 2022. Event ini telah berlangsung sejak 2016 dan meskipun pandemi mengharuskan digelar daring pada 2021, semangatnya tetap berlanjut,” kata Nurlaila Hamjah. Harapannya, Aceh Perkusi dapat terus menjadi platform yang tidak hanya merayakan kekayaan budaya Aceh, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan warisan nenek moyang mereka.
Di tengah perubahan zaman, Aceh Perkusi menjadi sebuah pengingat bahwa identitas budaya adalah harta yang harus dijaga dan dirayakan. Dengan irama yang menggema jauh melampaui batas geografis, festival ini telah menjadi undangan terbuka bagi siapa saja yang ingin merasakan keajaiban musik tradisional Aceh. [adv]