Gampong Pande: Jejak Sejarah di Jantung Kerajaan Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Makam keluarga bangsawan keturunan arab ditemukan di Gampong Pande, Banda Aceh. [Foto: Mapesa Aceh]
DIALEKSIS.COM | Feature - Deretan batu nisan tua berukir halus dan kompleks makam bersejarah di Gampong Pande seolah membisikkan kisah kejayaan masa lalu. Di sisi barat Krueng Aceh, desa ini bukan sekadar pemukiman biasa, melainkan saksi bisu lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam pada abad XIII Masehi.
Lokasi strategis membuat Gampong Pande menjadi jantung peradaban. Diapit deretan pemukiman tua seperti Kampung Jawa, Kampung Peulanggahan, dan Keudah, serta berbatasan langsung dengan Kecamatan Meuraxa, Pelabuhan Ulee Lheue, dan muara Krueng Aceh di utara.
Kompleks Makam Raja-Raja Kampong Pande adalah saksi sejarah paling nyata. Di sini para pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam dimakamkan, termasuk Raja Alaidin Mukmin Syah yang wafat pada 1576 Masehi, Sultan Sri Alam, dan Sultan Zainal Abidin.
"Gampong Pande merupakan miniatur peradaban Aceh yang sesungguhnya," ujar Herman RN, dosen FKIP Universitas Syiah Kuala dan budayawan Aceh. "Dalam setiap batu nisan, setiap jejak tanah, tersimpan narasi mendalam tentang kejayaan masyarakat Aceh."
Nama "Pande" sendiri memiliki makna khusus. Gampong ini merupakan pusat pengrajin logam dan pembuat batu nisan berukir indah, baik untuk keperluan kesultanan maupun perdagangan. Lokasinya di Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, menjadikannya pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan kerajaan.
Menurut catatan Van Langen, peneliti asing, Gampong Pande berada langsung di bawah pengawasan Sultan Mansur Syah (Tuanku Ibrahim) pada periode 1846-1870. Kandang, yang berbatasan dengan desa ini, merupakan tempat tinggal para abdi sultan yang mengurus segala keperluan kerajaan.
Pendapat lain dikatakan Tarmizi A Hamid, pegiat sejarah dan kebudayaan Aceh, menyebut kawasan ini sebagai "panggung utama sejarah".
Menurutnya, Krueng Aceh adalah nadi peradaban, tempat orang Aceh menyebar ke berbagai penjuru Asia Tenggara. Namun, ironisnya, kawasan bersejarah ini kini terancam diabaikan. Herman sangat prihatin dengan rencana pengalihfungsian area ini.
"Gampong Pande bukan sekadar tanah kosong atau lokasi yang bisa sembarangan dialihfungsikan. Ia adalah saksi bisu perjalanan panjang peradaban Aceh," tegasnya.
"Jangan sampai kita kehilangan memori kolektif hanya karena ketidakpedulian atau pandangan pragmatis jangka pendek," tambah Herman. "Gampong Pande adalah identitas kita, adalah jiwa peradaban Aceh yang harus dilestarikan untuk generasi mendatang."
Sudah saatnya para akademisi, budayawan, dan masyarakat Aceh bersatu melindungi warisan sejarah ini. Gampong Pande bukan sekadar lokasi geografis, melainkan museum hidup yang mengalirkan darah sejarah di jantung Kerajaan Aceh Darussalam. [adv]
Makam di Gampong Pande, Banda Aceh. [Foto: Mapesa Aceh]