Dexris, Dedek dan Dadek, Sebuah Cerita
Font: Ukuran: - +
Reporter : Risman Rachman
DIALEKSIS | Feature - Dulu, waktu SMP saya sering tidur di rumah kawan, di Gampong Panggong, Meulaboh. Namanya Junaidi Salat. Orangnya tampan. Namanya mirip dengan bintang film Ali Topan Anak Jalanan (1977).
Ayahnya punya bioskop, Megaria jika tidak salah ingat. Film yang paling sering diputar ya film India. Saya sudah pasti free jika mau nonton. Tinggal masuk saja.
Suatu pagi, saya dibangunkan ayahnya. Disuruh ke pantai dekat tangki kuning Socfindo yang terletak di Pasar Aceh/Pasar Baro.
Setiba di sana saya melihat kapal tongkang sedang dihempas badai ke dinding tanggul pantai kasih. Saya yang masih muda reflek melompat dan entah bagaimana tongkang itu berhasil saya bawa ke laut dan bebas dari kehancuran.
Dari laut saya putuskan berenang ke tepi pantai dengan membuka seluruh pakaian agar ringan.
Bersama Junaidi Salat yang akrab disapa Adek/Dedek, kami juga sering ke kebun karet arah ke Simpang Peut, Nagan.
Saat sedang menimbang karet, saya reflek membunyikan suara anjing, dan srettt tebasan parang panjang nyaris menebas kepala saya.
Di kira orang yang berdiri disamping saya benaran anjing. Syukurlah saya masih selamat.
Suatu hari, usai magreb, kami pulang menuju Meulaboh. Hujan lebat disertai angin kencang.
Usai melewati jembatan besi, hujan mulai reda dan laju kecepatan motor ditambah. Pad di perkuburan, kerbau hitam naik dari parit dan traakkk tertabrak persis di lehernya.
Saya melayang di udara, dan ketika menyentuh aspal saya berlindung dengan dua tangan, terseret di aspal. Tangan saya lecet dan begitu juga dibawah mata, mengeluarkan darah.
Begitu, Dedek melihat darah, dia pingsan dan kami dibawa ke rumah sakit oleh abanhnya. Rupanya abangnya sudah punya firasat tidak enak dan menyusul kami.
Saya juga pernah dipercaya Ibunya untuk jaga warung nasi. Tapi, karena sering hilang duit, mereka curiga saya mengambilnya.
Beruntung di lain waktu, ketahuan siapa yang suka mengambil duit. Saya diajak lagi untuk jaga warung. Tapi, karena sempat mengalami kejadian tidak enak, saya tidak bersedia lagi. Ka hana mangat le hatee.
Dulu, saya pernah mencari si Dedek, dan bertemu di tempat pembuatan kapal, di seputar Panggong. Tapi sekarang sudah tidak pernah bertemu lagi. Entah bagaimana kabarnya. Semoga Allah menjaganya. Amin!
Itu di SMP. Di SMA saya juga punya teman. Akrab disapa Dadek. Teuku Ahmad Dadek.
Dadek juga sosok yang “nakal”, tapi dia pintar. Di kelas III kami sama-sama juara.
Saat di Banda Aceh, saya pernah menginap di tempat kosnya di Lamprit. Kami berdua sama-sama punya hobi menulis.
Dadek termasuk satu penulis yang pernah di sidang tulisannya yang dimuat di Serambi Indonesia di Taman Budaya Aceh.
Karena Dadek lebih rajin, sudah pasti karirnya melesat, baik di Meulaboh hingga di Banda Aceh. Sekarang, beliau memimpin Bappeda.
Dadek juga sosok seniman dan punya group bank Putro Ijo yang sudah merilis berbagai lagu. Begitu juga buku, banyak yang sudah diterbitkannya.
Dengan Dadek, kami punya cerita yang spesial, kalau itu dicukeh pasti senyum-senyum. Di kampung, saya sendiri dipanggil Dexris. Dexris yang punya teman Dedek dan Dadek hahaha.
Baru-baru ini Dadek meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di USK, cum laude. Saya sendiri, nyaris tidak lulus S1. Ijazah S1 saja tidak punya karena terkena banjir.
Setiap kita memang punya cerita masing-masing. Tinggal saling mendukung dan saling mendoakan saja. [**]
Penulis : Risman Rachman