Rabu, 25 Juni 2025
Beranda / Feature / Citra Harmoni di Negeri Syariat

Citra Harmoni di Negeri Syariat

Selasa, 24 Juni 2025 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim

Andreas, Nita, dan Fico saat ngumpul bareng di sebuah Warkop di Banda Aceh. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hujan baru saja reda menyapu tanah Serambi Mekkah. Udara dingin menyelimuti setiap lorong kota, namun hangat terasa di sebuah warung kopi di sudut Banda Aceh. Malam itu, Senin, 23 Juni 2025, secangkir kopi menjadi saksi obrolan sekelompok anak muda yang duduk berbaur. Senyum dan tawa menyatu dalam satu meja, tanpa sekat agama.

Diantara mereka, terdapat pemuda-pemudi Kristiani yang lahir, besar, dan hidup di Banda Aceh. Kehidupan mereka mengalir dalam harmoni bersama mayoritas muslim. Mereka adalah Junita Kristina Nababan, Jefanya Andreas Tampubolon, dan Fico Fedrian.

"Saya 'asoe lhok' (sebutan orang asli sebuah daerah di Aceh) di Banda Aceh. Saya lahir di sini. Orang tua, kakek, nenek saya juga lahir di sini. Saya nyaman sekali tinggal di sini," tutur Andreas membuka obrolan malam itu.

Andreas tak pernah berpikir meninggalkan Aceh. Ia aktif dalam kegiatan sosial dan sering terlibat dalam acara keagamaan warga muslim yang digelar warga di tempat tinggalnya, Komplek Bumi Permata Lamnyong, Rumpet, Aceh Besar. Andreas mengaku sangat menikmati hidupnya yang dapat berdampingan dengan kaum mayoritas yang penuh kedamaian.

"Kalau ada Maulid atau kurban, saya dan Fico bantu mendirikan tenda, bagi kupon, antar daging. Gak masalah kan. Tapi kalau sudah ranah ritual, tentu kami tidak ikut. Itu soal keyakinan,” kata Andreas sambil melirik ke Fico. Pemuda yang diliriknya mengangguk mengiyakan sambil tersenyum.

“Bahkan kalau ada yang meninggal, saya dan Fico ikut gali kubur,” tambahnya tertawa.

Junita Kristina Nababan pun merasakan hal yang sama. Panggilan akrabnya Nita. Lahir di Banda Aceh tahun 1993, wanita berparas cantik ini tumbuh di tengah komunitas yang ia anggap hangat. Ia mengaku tak pernah mengalami gangguan selama beribadah.

Sebagai perempuan non-Muslim, Nita justru merasa aturan berpakaian dalam Syariat Islam turut memberikannya perlindungan.

“Saya malah merasa dihormati. Aturan berpakaian yang diatur dalam Syari'at Islam itu baik untuk perempuan, saya setuju,” ujar Nita.

Dulunya, ia mengakui, sering diperhatikan khalayak ramai ketika berada di ruang publik. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan risih yang membuatnya terjebak dalam kondisi yang tidak nyaman.

Namun lambat laun, ketidaknyamanan yang dialami perlahan Nita sirna. Semua itu berkat dukungan lingkungan dan circle persahabatannya yang sangat menghargai perbedaan keyakinan yang dianutnya.

"Tapi itu dulu bang. Sekarang sih gak lagi, udah terbiasa," ujar Nita tersenyum manis. 

Ia juga menolak stigma bahwa Aceh adalah daerah "keras" karena Syariat Islam. Diakui Nita, banyak teman-temannya dari luar yang takut datang ke Aceh. Namun dalam banyak kesempatan, ia selalu menjelaskan bahwa Aceh tidaklah seekstrim yang dibayangkan.

“Teman-teman di luar Aceh awalnya takut ke sini. Takut dicambuk, takut razia. Tapi saya bilang, enggak seperti itu. Aceh itu nyaman. Aman banget malah. Di luar sana banyak begal, di sini gak ada,” jelasnya dengan nada tegas.

“Kami sangat dihargai di sini. Saya pribadi belum pernah merasa diperlakukan berbeda,” timpal Fico, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala yang juga mengaku memiliki banyak teman Muslim yang menghargainya.

Tokoh masyarakat yang juga tetangga ditempat Andreas dan Fico tinggal, Khalidi Hamdan, menyebutkan warga komplek menyambut kehadiran mereka tanpa prasangka. Tak ada yang mempersoalkan agama mereka. Justru, banyak yang merasa terharu melihat keikhlasan keduanya membantu. 

“Di Aceh ini, kita hidup dalam Syariat, tapi itu bukan berarti kita tidak bisa berdampingan dengan saudara kita yang berbeda agama,” kata Khalidi. 

“Selama mereka menghormati aturan dan nilai yang ada, kita pun wajib memuliakan mereka sebagai sesama manusia," tambah laki-laki yang akrab disapa Cek Die ini.

----------------------------------------

Cerita Junita, Andreas, dan Fico menyisakan sebuah fakta bahwa hasil riset lembaga SETARA Institute yang menempatkan Banda Aceh pada rangking 91, dari 94 kota, dengan skor terendah kota toleran di Indonesia tahun 2024 bukanlah cermin dari kehidupan masyarakat Aceh sesungguhnya.

Apa yang dirasakan Andreas dan umat non muslim lainnya di Aceh telah menggambarkan satu hal penting bahwa hidup berdampingan bukan hanya bisa, tapi sudah lama dilakukan di Aceh. Mereka tidak hanya bertoleransi, tetapi saling mendukung dan merawat harmoni yang tumbuh di tengah keberagaman.

Mereka lahir di Aceh, tumbuh di Aceh, dan ikut membangun Aceh. Mereka bukan tamu, tapi bagian dari mozaik masyarakat Aceh yang plural. Dalam kehidupan sehari-hari, tak ada sekat antara “kami” dan “mereka”.

Malam makin larut, dingin semakin mendekap tubuh. Di dalam warkop itu, perbincangan terus bergulir, hangat dan bersahabat. Dalam bingkai realita mereka, Aceh bukanlah daerah yang keras oleh aturan, melainkan tanah yang lembut oleh kearifan.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra