DIALEKSIS.COM | Aceh - Wajah Sayed Zulfikar dipenuhi haru. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipi saat ia berdiri di Istana Negara, Rabu siang, 23 Juli 2025. Ia mencoba menahan getar suaranya ketika diminta berbicara di depan hadirin. Sulit membendung emosi, sebab hari itu bukan hari biasa. Anak lelakinya, Sayed Muhammad, baru saja dilantik Presiden Prabowo Subianto sebagai perwira TNI usai menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer (Akmil) Magelang.
Bagi Zulfikar, seorang penjual sayur keliling di sudut - sudut pasar Banda Aceh, hari itu seperti mimpi yang menembus kenyataan. Ia tak pernah membayangkan akan berdiri berdampingan dengan para petinggi negara. Yang ia tahu, setiap pagi ia mendorong gerobak, menjajakan sayuran, sementara anak lelakinya belajar di rumah dengan semangat yang tak pernah padam.
“Saya hanya orang kecil,” kata Zulfikar kepada Dialeksis. “Tapi Allah beri anak yang punya kemauan keras.”
Lahir dan besar di Kampung Laksana, Banda Aceh, Sayed Muhammad tumbuh dalam keluarga yang serba sederhana. Ibunya, Sutarmi, mengurus rumah tangga. Ayahnya mendorong gerobak sayur dari pagi hingga petang. Tapi di balik segala keterbatasan itu, Sayed tumbuh menjadi anak yang penuh mimpi dan semangat.
Sejak sekolah dasar hingga SMA, Sayed dikenal aktif di berbagai kegiatan. Ia bergabung dalam Pramuka, menjadi Duta Wisata Lingkungan, dan kerap tampil dalam berbagai forum pemuda. Ketika teman-teman sebayanya mulai ragu dengan masa depan, ia justru semakin yakin dengan cita-citanya: menjadi prajurit TNI.
“Karena saya ingin mengabdi,” kata Sayed dalam sebuah percakapan singkat melalui sambungan telepon.
Proses menuju Akmil tidak mudah. Seleksi fisik, psikologis, hingga akademik menjadi tahapan panjang yang harus dilalui. Namun dengan tekad dan disiplin tinggi, Sayed menembus semua itu. Bahkan menurut sang ayah, selama proses seleksi, ia hanya menghabiskan sekitar Rp3,5 juta. Uang itu pun hanya untuk kebutuhan dasar seperti sepatu, pakaian, materai, dan keperluan administrasi.
“Saya tidak keluarkan uang lebih dari itu,” ujar Zulfikar. “Itu pun kami sisihkan pelan-pelan dari hasil jualan.”
Kisah ini menjadi bantahan nyata atas stigma bahwa masuk Akmil membutuhkan “jalan khusus” atau “biaya besar”. Sayed membuktikan bahwa kemampuan, komitmen, dan integritas pribadi cukup untuk membuka gerbang Lembah Tidar.
Setelah diterima, semua biaya pendidikan di Akmil ditanggung oleh negara mulai dari makan, asrama, pakaian, hingga peralatan belajar. Bahkan, taruna mendapatkan uang saku setiap bulan. Ini menjadi bentuk nyata bahwa negara masih membuka ruang mobilitas sosial bagi anak-anak dari kelas bawah.
Empat tahun menempuh pendidikan keras, hari pelantikan pun tiba. Sayed Muhammad berdiri tegak mengenakan seragam hijau kebanggaan di hadapan Presiden dan keluarga. Di kursi undangan, ayah dan ibunya duduk menyeka air mata. Itu adalah kunjungan pertama mereka ke Jakarta. Tapi lebih dari sekadar perjalanan fisik, itu adalah perjalanan batin dari lorong sempit kampung ke halaman Istana Negara.
“Semoga anak kami amanah,” ucap Sutarmi lirih. “Dan bisa menjadi pemimpin yang adil.”
Kisah Sayed Muhammad bukan hanya tentang pencapaian pribadi. Ia adalah refleksi tentang harapan. Tentang anak dari keluarga penjual sayur yang mampu berdiri sejajar dengan anak pejabat dan konglomerat. Bahwa dalam sistem yang tepat, siapa pun bisa mencapai puncak prestasi.
“Kesuksesan bukanlah milik mereka yang berpunya, tapi milik mereka yang tak pernah menyerah,” begitu tertulis dalam catatan kecil Sayed.
Ia ingin membagikan kisahnya, bukan untuk pamer, tetapi sebagai penanda bahwa jalan itu ada, meski sempit. Dan bahwa semangat, kerja keras, serta doa orang tua bisa menjadi kompas di tengah segala keterbatasan.
Hari itu, Zulfikar tak menjual sayur. Ia mengenakan batik, berjalan perlahan menuju Istana Negara, dan berdiri bangga menyaksikan anaknya bersalaman dengan Presiden. Ia tahu, tak banyak orang seperti dirinya yang bisa menyaksikan momen itu. Tapi ia juga percaya, di setiap kampung lain, di setiap kota kecil, ada ribuan “Sayed Muhammad” lainnya yang sedang merangkai mimpi dengan cara mereka sendiri.
Dan selama negara masih membuka ruang, selama pendidikan tetap menjadi hak dan bukan komoditas, selama itu pula anak-anak dari lorong dan sudut negeri punya kesempatan untuk menembus langit impian mereka.
Selamat bertugas, Letnan Dua Sayed Muhammad. Negeri ini menaruh harapan di pundakmu.