Beranda / Feature / Agar Tidak Salah Tembak, Pemegang Senjata Api Harus Tes Psikologi Berkala

Agar Tidak Salah Tembak, Pemegang Senjata Api Harus Tes Psikologi Berkala

Senin, 20 Januari 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

DIALEKSIS.COM| Feature- Mesin pembunuh bila dipegang oleh mereka yang tidak mampu mengendalikan diri akan berakibat fatal. Mereka yang harusnya dilindungi, justru menjadi korban.

Pertiwi dalam beberapa pekan ini dihangatkan dengan pemberitaan penembakan oleh oknum aparat penegak hukum. Ada nyawa yang melayang.

Aparat yang seharusnya mengamankan rakyatnya, justru senjata api ditangan mereka menjadi sumber petaka bagi rakyat.

Pertiwi dihiasi dengan pemberitaan oknum aparat yang melepaskan proyektil peluru bukan kepada penjahat dan penggangu keamanan negara, namun justru timah panas itu menembus tubuh rakyat yang harus dilindungi.

Demikian dengan kasus polisi tembak polisi, juga terjadi. Melihat perkembangan maraknya aksi penembakan ini, anggota parlemen meminta agar aparat penegak hukum yang memegang senjata untuk melakukan tes psikologi secara berkala.

Anggota Komisi III DPR, Hasbiallah Ilyas, menyarankan agar aparat penegak hukum dengan pangkat rendah menjalani tes psikologis secara berkala. Hal itu merespons kasus penembakan oleh polisi dan TNI yang marak terjadi belakangan ini.

“Harus dievaluasi dan dites psikolog periodik,” kata Hasbiallah saat dihubungi, Jumat, 17 Januari 2025, seperti dilansir Tempo.co.

Dalam penerapannya, Hasbiallah berpendapat tes psikologis itu ditujukan kepada jajaran aparat penegak hukum yang masih berpangkat rendah bukan yang berada di tingkat menengah.

“Ini kan bermasalah yang di lapisan bawah,” tutur dia. Selain mengusulkan agar polisi mengikuti tes psikologis secara periodik, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu berpandangan diperlukan evaluasi soal peraturan penggunaan senjata api.

Sebab, menurutnya, peredaran senjata api juga diperdagangkan bebas di masyarakat. Seluruh lini dirapikan, dalam artian merapikan di semua lini, bukan hanya di aparat, di masyarakat juga,” tutur Hasbiallah.

Sementara itu politikus PKS Muhammad Nasir Djamil, dalam penjelasanya menyebutkan diperlukan konsistensi monitoring dan evaluasi oleh unit yang bertanggung jawab

“Tentu saja monev tersebut melibatkan lintas disiplin ilmu dan praktisi,” kata anggota Komisi III DPR RI asal Aceh ini.

Nasir menyatakan komisi yang membidangi unsur penegak hukum itu akan bertanya kepada kepolisian soal evaluasi dan revisi dari aturan penggunaan senjata api.

“Sebab dampak penyalahgunaan senjata api telah menimbulkan sentimen negatif terhadap institusi Polri,” ujar dia.

Sebelumnya, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sudah menyatakan harus ada tes psikologi rutin berkala terhadap aparat pemegang senjata api.

Komisioner Kompolnas Muhammad Choirul Anam dalam keteranganya menyebutkan, perlu ada ketentuan soal pengendalian senjata api oleh anggota Polri, termasuk aspek psikologis agar polisi yang memegang senjata tidak mudah tersulut emosi.

"Soal pengendalian senjata api, siapa yang pegang, dalam kontes apa, aktivitas apa, dan bagaimana tanggung jawab penggunaannya," kata Anam kepada Kompas.com, Selasa (3/12/2024). Hal itu dikatakanya sehubungan oknum Polri melakukan penembakan terhadap siswa SMKN 4 Tangerang.

"Untuk psikologisnya harus ada reguler test psikologi sehingga kalau anggota kepolisian memegang senjata, dia bisa menahan emosinya," ujar.

kasus kekerasan bersenjata api yang dilakukan aparat kepolisian bukanlah yang pertama kali terjadi. Oleh karena itu, perlu ada transparansi penanganan kasus dan evaluasi secara menyeluruh, terutama terkait dengan penggunaan senjata api alias senpi.

Menurutnya, kesalahan yang dilakukan oleh anggota Polri harus ditindak tegas, profesional, dan transparan.

"Termasuk kalau ada anggota yang salah harus ada penegakan hukum. Kalau pidana ya pidana, atau kalau etik ya etik. Itu penting," kata Anam

Komisioner Kompolnas ini mendorong agar polisi menggunakan senjata-senjata yang tidak mematikan atau non lethal weapon selama bertugas.

"Jadi enggak semua harus pakai lethal weapon dan menimbulkan banyak hal termasuk menghilangkan nyawa. Kalau non lethal weapon kan itu memang melumpuhkan seperti kejut listrik," jujar dia.

Kasus penembakan dengan senjata api bukan hanya polisi tembak polisi atau polisi menembak rakyat, namun oknum TNI juga melepaskan timah panas bukan pada tempatnya, sehingga rakyat yang seharusnya dilindungi, justru meregang nyawa.

Aparat yang seharusnya mengamankan rakyatnya, justru senjata api ditangan oknum menjadi sumber petaka bagi rakyat. Kiranya pil pahit ini tidak terus terjadi berulang kali. *** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI