kip lhok
Beranda / Feature / 32 Tahun Didera Rindu, Mapala Aceh Menjawabnya dengan Aroma Kopi

32 Tahun Didera Rindu, Mapala Aceh Menjawabnya dengan Aroma Kopi

Minggu, 12 November 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Mapala se Indonesia berkumpul di negeri Gayo

DIALEKSIS.COM| Feature- Rindu panjang selama 32 tahun bukanlah waktu yang singkat. Waktu yang telah melahirkan mendekati dua generasi dalam peradaban manusia. Kerinduan itu dirasakan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Aceh. Rindu yang menyesakan rongga dada.

Rindu yang terbawa dalam mimpi. Namun kerinduan yang melekat dalam memori terjawab sudah. Ada catatan sejarah baru yang diukir Mapala Aceh. Kemah Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) yang sudah berdiri di Indonesia sejak 32, dalam kegiatan Temu Wicara Kenal Medan(TWKM), kini terlaksana di bumi Aceh.

Negeri indah dengan alam yang subur, beraroma kopi yang menjadi incaran dunia, dipercayakan sebagai tuan rumah TWKM ke 33. Gayo lut melalui Mahagapa (Mahasiswa Gajah Putih Pecinta Alam), mewujudkan impian Mapala Aceh menjadi kenyataan.

Ada 1.000 Mapala se Indonesia yang hadir di Bumi Gayo. Persoalan lingkungan di sana akan menjadi konsumsi nasional, para Mapala se Indonesia akan menggaungkanya.

Event TWKM ke 33 ini diselengarakan Mahasiswa Gajah Putih Pecinta Alam (Mahagapa), berlangsung di Takengon, sejak 13 sampai 18 November 2023. Ada berbagai kegiatan bagi mahasiswa pecinta alam se Indonesia ini. Bakti kemah ini berdiri tahun 1987, ketika diadakan Kegiatan Kemah Bakti Mapala Se-Jawa-Bali.

“Alhamdulilah ini menjadi catatan sejarah, setelah 32 tahun dideklarasikan, ahirnya Aceh menjadi tuan rumah dan kegiatan ini dipercayakan kepada kami dari Mahagapa,” sebut May Deni Syahputra, Ketua Umum Mahagapa, Minggu (12/11/2023) dalam keteranganya kepada Dialeksis.

Menurut May Deni yang yang didampingi Rahmad Rizki, ketua pelaksana kegiatan dan sekretarisnya, Hadi Rindiani, agenda TWKM ke XXXIII ini bukan hanya bercerita tentang lingkungan, namun semakin memperkenal Aceh Tengah ke dunia luar.

“Temu wicara kenal medan mahasiswa pecinta alam tingkat Perguruan Tinggi Se-Indonesia adalah salah satu wujud untuk dapat menjembatani arus informasi antar organisasi mahasiswa pecinta alam. Mahasiswa seluruh Indonesia akan mengenal Gayo dari dekat,” sebut Paddle, sandi Rimba yang disandang ketua pelaksana, Rahmad Rizki.

Diantara banyaknya agenda yang akan dilaksanakan Mapala se Indonesia di Aceh Tengah, ada sejarah alam yang akan digaungkan Mahagapa. Agenda itu berada di sebelah tenggara Danau Lut Tawar. Di sana ada Bur Kelieten, sebuah gunung bukan hanya asri dan masih “perawan”, namun memiliki histori bagi Aceh.

Gunung dengan ketinggian ketinggian 2.930 meter dpl, bukan hanya menjadi rumah bagi Mahagapa, dan pecinta lingkungan. Namun gunung yang menjulang dengan hutan lebat ini menghadirkan “cinta”.

Ada sejarah panjang yang diukirnya. Gunung yang memberikan kasih sayang dan sumber penghidupan. Ketika Aceh dilanda konflik, dalam berbagai peperangan, Bur Kelieten merupakan salah satu pilihan untuk mengamankan diri.

Menurut Paddle, pihaknya akan mengadakan bakti sosial disana, melakukan penghijauan, membawa Mapala se Indonesia. Mereka bukan hanya melihat Aceh Tengah dari puncak gunung berkabut, namun mereka akan melihat hayati yang ada di sana.

Bur Kelieten, ketika negeri ini dilanda konflik, menjadi area strategis mengadu kekuatan. Merupakan jalur pengamanan dan pelarian, apalagi peperangan gerilya, hutan ini merupakan kawasan aman dan menyediakan perbekalan.

Maka tidaklah heran pada masa penjajahan Belanda, di Burkelieten masih terdapat sampai saat ini bivak yang dibuat Belanda. Demikian pada penjajahan Jepang, Bur Kelieten tetap dipergunakan oleh pasukan tempur sebagai tempat perlindungan.

Pada masa DI/TII, Konflik Aceh, RI dengan GAM, Burkelieten tetap menjadi area strategis. Perang gerilya, menjadikan hutan ini bukan hanya sebagai tempat perlindungan. Namun, alam sekitar Bur Kelieten banyak menyimpan persediaan cadangan pangan dalam kondisi terdesak.

“Bagi kami Mahagapa Bur Kelieten bagaikan rumah, sering berbagai kegiatan dilaksanakan di Bur Kelieten, bahkan ketika hari hari bersejarah di Indonesia diperingati, seperti HUT RI, Bur Kelieten adalah tempatnya,” sebut Paddle.

Untuk menggapai puncak gunung dengan ketinggian 2.930 meter dpl bukanlah perkara mudah. Bukan hanya dibutuhkan perbekalan, fisik, keahlian, namun ketangguhan mental juga sangat menentukan. Jiwa harus disatukan dengan alam, agar alam bisa merasakan kita sebagai sahabatnya.

“Bila kita mencintai alam dan menjadikanya sebagai sahabat, alam juga akan memberikan kasih sayang dan cintanya kepada manusia. Kami menyintai Bur Kelieten, dan Bur Kelieten memberikan kasih sayangnya kepada kami,” ungkap Paddle.

Selain menyematkan cinta di Burkelieten, Mahagapa selaku panitia juga mengagendakan temu wicara dan whorkshop yang dipusatkan di Kampus Gajah Putih, Aceh Tengah pada 13 November ini, sekaligus dilakukan pembukaan.

Juga akan dilaksanakan kegiatan arung jeram di sungai Pesangan, Lukup Badak, Pegasing. Semoga beragam kegiatan ini berlangsung sukses, sejarah sudah dicatat Aceh, Bumi ujung Barat Pulau Andalas ini telah menyelenggarakan kegiatan perdana Mapala se Indonesia.

Untuk kegiatan temu wicara dan whorkshop, jelas Paddle, fokusnya tetap lingkungan hidup. Apalagi Aceh Tengah sudah dikenal sebagai kawasan pertanian, dengan komoditas unggulanya kopi, sayur-sayuran, dan tanaman palawija.

Aroma kopi Gayo yang sudah mendunia, akan dilihat langsung oleh Mapala se Indonesia, bagaimana sebenarnya Gayo. Mereka akan melihat dari dekat alam Gayo, danau, budaya, masyarakat, potensi, serta bagaimana keadaan alam Gayo ke depanya.

“Para Mapala se Indonesia ini bukan hanya menikmati wisata Gayo yang terkenal, namun mereka juga akan melihat denyut langsung penghidupan masyarakat, mulai dari budaya, ekonomi, mengangkat isu lingkungan hidup dan apa upaya kedepanya yang harus dilakukan,” jelas Paddle.

Agenda TWKM kali ini mengusung tema, Konsistensi Mahasiswa Pecinta Alam TerhadapPenyelamatan Ekosistem Terakhir Gunung Leuser. Salah satu kawasan yang menjadi perhatian dunia, bila tidak diselamatkan nantinya akan tinggal nama.

Untuk memberi perhatian khusus, sudah menjadi catatan Mapala, dalam setiap TWKM ada agenda Workshop Kepecinta Alaman. Materinya diiisi oleh pakar yang professional, menyangkut rafting, gunung hutan, panjat tebing, susur gua, dan Lingkunganhidup yang akan dilaksakan hybrid. Agenda whorkshop kepencinta alaman akan dilangsungkan pada Sabtu (18/11/2023) menjelang dilaksanakan penutupan.

“Tujuanya jelas, meningkatkan wawasan dibidang kepencintaan alam, mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, menggalang persatuan dan kesatuan dan persaudaraan antar mahasiswa pencinta alam sebagai implementasi dari kode etik pencinta alam Indonesia,” jelas Rahmad Rizki.

Aceh kini sudah mengukir sejarah, Mapala di Bumi ujung barat pulau Swarnawipa ini sudah mampu mewujudkan impianya. Kerinduan yang menyesakan dada selama 32 tahun, kini sudah terobati. Dari bumi beraroma kopi yang dikenal dunia, suara Mapala sudah menggema. *** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda