109 Tahun Museum Aceh: Menjaga Warisan, Menyulam Sejarah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Selamat Ulang Tahun ke-109 Museum Aceh. [Foto: Instagram @museum.aceh/@disbudpar_aceh]
DIALEKSIS.COM | Feature - Waktu adalah pelukis tak terlihat yang meninggalkan jejak di setiap sudut kehidupan. Di Kota Banda Aceh, sebuah penjaga diam berdiri, memeluk erat lapisan waktu yang telah berlalu. Museum Aceh, seperti seorang sesepuh bijak yang menjaga pusaka keluarga, telah lama menjadi saksi bisu pergolakan, kemegahan, dan keindahan peradaban Aceh. Pada 31 Juli 2024 lalu, Museum Aceh merayakan ulang tahunnya yang ke-109, sebuah perjalanan panjang yang sarat makna.
Di pagi yang teduh dan aroma embun menyelimuti udara, cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan pohon-pohon besar yang sudah lama menjadi saksi bisu halaman museum, kita dibawa melangkah masuk menyusuri jejak sejarah.
Di ruang utama, replika Rumoh Aceh berdiri megah. Bentuknya yang khas, dengan atap menjulang dan dinding penuh ukiran, merupakan simbol dari kebijaksanaan nenek moyang. Ukiran motif khas Aceh menyambut kita, seolah membuka tabir waktu, menggemakan bisikan para leluhur, sementara lantai kayu yang dingin serasa memeluk jejak-jejak kaki yang datang mencari hikmah.
Rumah panggung berbahan kayu ini memiliki simbol filosofi dan kekayaan spiritual masyarakatnya. Struktur Rumoh Aceh pun dirancang dengan kearifan luar biasa. Keindahan ornamen yang menghiasi dinding dan langit-langit merupakan wujud seni tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Di balik keanggunan Rumoh Aceh, tersimpan kearifan teknis yang membuatnya mampu bertahan dari guncangan gempa dan banjir. Sungguh, ini adalah bukti bahwa nenek moyang Aceh telah menguasai ilmu arsitektur yang harmonis dengan alam.
Bukan hanya Rumoh Aceh yang membuat Museum Aceh menjadi istimewa. Sebagai pusat pelestarian sejarah, museum ini menyimpan beragam artefak yang menjadi cermin perjalanan panjang peradaban Aceh. Setiap benda di dalamnya seperti potongan puzzle yang membentuk gambaran besar tentang siapa orang Aceh dan bagaimana mereka hidup, berperang, mencintai, dan berdoa.
Salah satu artefak yang paling menarik berupa lonceng raksasa yang dikenal sebagai Cakra Donya. Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Dinasti Ming kepada Sultan Aceh pada abad ke-15. Suara lonceng yang nyaring dahulu digunakan untuk memanggil rakyat atau mengabarkan peristiwa penting. Di sini, lonceng itu beristirahat, mengisahkan hubungan diplomasi yang erat antara Aceh dan Tiongkok terjalin berabad-abad lalu.
Replika Rumoh Aceh dan lonceng Cakra Donya di Museum Aceh. [Foto: thelightofaceh]Tidak jauh dari sana, ada koleksi manuskrip kuno yang ditulis dengan tinta hitam pada kertas usang. Naskah-naskah ini berisi ajaran Islam, catatan sejarah, hingga hukum adat yang menjadi pedoman hidup masyarakat Aceh. Menyentuh kaca yang melindungi manuskrip itu, pengunjung seolah merasakan denyut waktu, menghubungkan masa kini dengan hikmah lampau.
Koleksi lain yang tak kalah mengagumkan berupa pakaian adat, perhiasan emas berukir, dan senjata tradisional seperti rencong. Rencong, yang sering disebut "pisau para raja," bukan hanya alat perang, tetapi juga simbol kehormatan dan keberanian. Di balik bilahnya yang tajam, tersimpan filosofi hidup yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Di balik koleksi yang dipajang, Museum Aceh juga menyimpan kisah-kisah pilu dari masa penjajahan. Di sudut kecil, terdapat artefak peninggalan perang: meriam tua, pedang berkarat, dan peluru yang pernah menembus tubuh-tubuh pejuang. Seakan benda-benda itu berbisik, mengingatkan pengunjung akan perjuangan panjang rakyat Aceh mempertahankan tanah air mereka.
Namun, Museum Aceh bukan hanya tentang masa lalu. Ia juga menjadi ruang bagi generasi muda untuk menemukan inspirasi. Melalui program edukasi dan pameran seni, museum ini menghidupkan kembali tradisi dan nilai-nilai warisan budaya.
Museum Aceh bukan hanya tempat menyimpan barang-barang kuno. Ia adalah ruang dialog lintas generasi. Setiap sudutnya memanggil kita untuk merenung, menghargai masa lalu, dan membawa pelajaran itu ke masa depan. Dalam sunyi, Museum Aceh berbicara dengan lantang, mengingatkan bahwa akar budaya merupakan jembatan menuju identitas yang kokoh.
Seperti kata bijak yang sering didengar di Aceh "Meunan ngon buet, ta peulaku; meunan ngon agam, ta peeudu". Artinya, "Sebagaimana warisan nenek moyang, demikianlah kita melakukannya; sebagaimana manusia, demikianlah kita menghormatinya." Di sanalah letak kekuatan Aceh, pada semangat yang tak pernah padam untuk menjaga jiwa dan warisan budayanya.
Waktu terus bergulir, selama lebih dari satu abad, Museum Aceh tetap setia pada tugasnya: menjaga warisan leluhur. Ia adalah penjaga ingatan kolektif, melestarikan cerita-cerita yang membentuk identitas Aceh. Seperti akar pohon yang menjalar ke segala arah, museum ini terus menjaga hubungan antara masa lalu, kini, dan masa depan, merawat warisan budaya Aceh agar tetap hidup dalam ingatan dan hati semua generasi.
Dengan taglinenya “Kenali Sejarah Agar Tak Salah Melangkah”, Museum Aceh berdiri kokoh, seperti mercusuar yang tak henti mengirimkan pesan kepada dunia bahwa warisan adalah harta yang tak ternilai, dan menjaga sejarah merupakan cara terbaik untuk menghormati masa depan.
Selamat Ulang Tahun ke-109, Museum Aceh! [adv]