Kamis, 19 Juni 2025
Beranda / Ekonomi / Sengketa Wewenang dan Potensi Gas Jumbo, Dinamika Pengelolaan Migas di Laut Singkil

Sengketa Wewenang dan Potensi Gas Jumbo, Dinamika Pengelolaan Migas di Laut Singkil

Kamis, 19 Juni 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Peta Wilayah Kerja (WK) Offshore North West Aceh (ONWA-Meulaboh) dan Offshore South West Aceh (OSWA-Singkil). Foto: doc Dinas ESDM Aceh.


DIALEKSIS.COM | Aceh - Pengelolaan migas di perairan Kabupaten Aceh Singkil terus memantik dinamika multidimensi, menyangkut sengketa kewenangan, potensi ekonomi strategis, dan implikasi perdamaian Aceh. Berdasarkan pelacakan Dialeksis terhadap berbagai sumber, berikut perkembangan terbaru yang diperkaya dengan perspektif kunci dari Direktur Forbina, Muhammad Nur.

Diawali dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menuding Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina melakukan "pembegalan sistematis" terhadap hak pengelolaan migas Aceh. Padahal Peraturan Pemerintah No. 23/2015 mengamanatkan pengalihan kendali ke Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Muhammad Nur menyoroti akar masalah: "Ini bukan sekadar sengketa administrasi, melainkan ujian kedaulatan Aceh atas sumber dayanya. Jika pusat konsisten mengabaikan UU Pemerintahan Aceh, investor akan melihat Aceh sebagai wilayah berisiko tinggi".

Blok Singkil yang dikelola Conrad Asia Energy Ltd (Singapura) menyimpan potensi gas >15 TCF. Namun, aktivitas ini terancam Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025 yang mengalihkan status Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke Sumatera Utara.

Nur mengecam,"Pengalihan pulau ini diduga upaya menghindari pembagian hasil migas dengan Aceh. Secara historis, pulau - pulau itu bagian tak terpisahkan dari Singkil!" Ia mendesak Gubernur Muzakir Manaf alias Mualem memperjuangkan revisi kebijakan ini.

Forbina mengungkap kekhawatiran serius terkait pengelolaan PT Pema Global Energi (PGE)”anak usaha PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang memegang 51% saham migas Aceh. "50% saham PGE milik rakyat Aceh, tapi dikelola seperti perusahaan keluarga oleh elite politik," tegas Nur.

Ia mendesak KPK melakukan audit menyeluruh,"Pengelolaan PGE tidak transparan. Dana hasil migas rakyat bisa bocor untuk gaji dan akomodasi caleg gagal yang duduk di dewan direksi,” ungkapnya.

Meski saat itu dijabat Plt Gubernur Safrizal ZA menyetujui syarat pengalihan migas ke BPMA pada Oktober 2024, keputusan menteri belum terbit. Syaratnya dinilai memberatkan, seperti wajib melibatkan PT PHE Aceh Darussalam (afiliasi Pertamina).

Nur mengingatkan,"Pemerintah Aceh jangan terjebak negosiasi sepihak. Belajar dari kegagalan investasi PLTP Seulawah dan proyek semen Aceh, kepastian hukum adalah harga mati".

Ketua YARA Safaruddin menegaskan keterlambatan pengalihan wewenang adalah "pengingkaran otonomi khusus". Nur menambahkan,"Jika Blok Singkil dikelola tanpa kendali Aceh, perdamaian hanya jadi jargon. Hasil migas harus nyata untuk pembangunan sekolah dan rumah sakit, bukan dikorup Jakarta atau Medan".

Muhammad Nur memberikan catatan kritis, pertama katanya,"Kegagalan proyek PLTA Gayo Lues dan tambang emas PT BMU membuktikan ketidakpastian hukum adalah pembunuh investasi. Blok Singkil bisa bernasib sama jika sengketa wewenang tak diselesaikan,” tegasnya. 

Sorotan dari Forbina,”Aceh terbuka kerja sama dengan Sumut, tapi bukan berarti menyerahkan kedaulatan. Ekspor gas dari Blok Singkil harus melalui pelabuhan Aceh, bukan dialihkan ke Kuala Tanjung!".

Terkait urusan transparansi BPMA, menurut M Nur,”Jika BPMA akhirnya dapat wewenang, mereka harus belajar dari kasus PGE. Pengelolaan migas wajib diawasi publik dan diaudit independen,” saranya. 

Forbina mendesak beberapa hal, pertama segera mungkin presiden mencabut Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025. Selanjutnya pinta M Nur DPRA mengawal qanun pertambangan rakyat untuk antisipasi penambangan ilegal di wilayah blok migas.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dpra