Beranda / Ekonomi / Petani Sawit Aceh di Ujung Tanduk

Petani Sawit Aceh di Ujung Tanduk

Sabtu, 12 Oktober 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ARN

Dr. T. Saiful Bahri, SP, M, dosen FP USK menjelaskan bahwa ISPO bukan sekadar formalitas, melainkan standar krusial yang menentukan nasib petani sawit di era perdagangan global. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Ratusan ribu petani sawit di Aceh kini berada dalam posisi sulit. Mereka terancam kehilangan mata pencaharian utama karena produk kebun mereka terancam tak laku di pasaran. Penyebabnya karena kebun-kebun mereka belum memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Dr. T. Saiful Bahri, SP, M, dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, menggambarkan situasi ini sebagai "krisis yang menanti di depan mata". Melalui media Dialeksis.com, Saiful menjelaskan bahwa ISPO bukan sekadar formalitas, melainkan standar krusial yang menentukan nasib petani sawit di era perdagangan global.

"ISPO itu seperti SIM bagi pengendara. Tanpanya, petani kita tidak bisa 'berkendara' di jalan raya pasar internasional," ujar Saiful, Sabtu (12/10/2024).

Sertifikasi ISPO, menurutnya menjadi standar pengelolaan sawit berkelanjutan di Indonesia, kini menjadi syarat wajib bagi pelaku industri sawit untuk dapat memasarkan produknya. Namun, proses sertifikasi ini ternyata menjadi batu sandungan bagi petani kecil.

Saiful mengungkapkan bahwa kendala utama petani dalam memperoleh sertifikasi ISPO adalah kurangnya pengetahuan dan sumber daya. 

"Banyak petani kita yang bahkan tidak tahu apa itu ISPO, apalagi cara mendapatkannya," tutur Saiful yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Aceh itu.

Lebih lanjut, ia memaparkan beberapa tantangan yang dihadapi petani dari hasil pencermatan mulai dalam urusan biaya sertifikasi yang tinggi, proses birokrasi yang rumit, kurangnya pendampingan dari pemerintah, minimnya akses informasi di pelosok desa.

"Jika tidak ada tindakan cepat, kita bisa melihat eksodus besar-besaran petani sawit ke sektor lain," Saiful memperingatkan.

Ia menyerukan perlunya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri untuk mengatasi masalah ini.

Saiful mengusulkan beberapa solusi, termasuk subsidi biaya sertifikasi, penyederhanaan proses birokrasi, dan program penyuluhan intensif di tingkat desa. 

"Kita perlu memastikan bahwa transisi menuju sawit berkelanjutan tidak mengorbankan kesejahteraan petani kecil," tegasnya.

Informasi diterima Saiful mencatat bahwa dari sekitar 500 ribu hektar lahan sawit di Provinsi Aceh, kurang dari 20 persen yang telah tersertifikasi ISPO. Angka ini menunjukkan besarnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu singkat.

Nasib ratusan ribu petani sawit Aceh, kata Saiful, sangat bergantung pada selembar sertifikat. Tanpa tindakan cepat dan tepat, mimpi sawit berkelanjutan bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi mereka yang telah lama menggantungkan hidup pada "emas hijau" ini. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda