Senin, 02 Juni 2025
Beranda / Ekonomi / Pengangguran Masih Tinggi di Aceh, Sarjana Baru Berjuang Cari Pekerjaan

Pengangguran Masih Tinggi di Aceh, Sarjana Baru Berjuang Cari Pekerjaan

Kamis, 29 Mei 2025 23:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muntaziruddin Sufiady Ridwan

Alumni USK yang baru diwisuda. Foto: dok humas USK

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh per Februari 2025 tercatat sebesar 5,50 persen. Angka ini setara dengan 149 ribu orang dari total 2,7 juta angkatan kerja di provinsi ini yang belum terserap pasar kerja.

Meski baru beberapa hari resmi menjadi sarjana, Kintan Kirani (22) sudah merasakan kerasnya dunia kerja. Dua bulan sebelum wisuda, lulusan Teknologi Hasil Pangan (THP) Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK) ini sudah mulai melamar pekerjaan. Namun, dari tiga lamaran yang diajukan, hanya satu yang mendapat balasan.

“Ditolak, katanya nggak cocok dan nggak sesuai dengan kriteria,” ujar Kintan kepada Dialeksis, Kamis (29/5/2025).

Kintan mengungkapkan bahwa minimnya pengembangan infrastruktur industri pengolahan di Aceh menjadi salah satu alasan utama sulitnya mendapat pekerjaan yang relevan dengan bidang keahliannya. 

“Apalagi di Aceh kan, pabrik atau tempat pengolahan hasil pertanian atau perkebunan itu sedikit,” tuturnya.

Selain itu, Kintan menilai ada ketimpangan dalam proses rekrutmen. Menurutnya, banyak lowongan yang relevan dengan ijazahnya lebih memprioritaskan pelamar laki-laki.

 “Biasanya cewek itu kerjanya di HRD, kepegawaian, surat-menyurat, atau lab pengolahan CPO (Crude Palm Oil). Tapi itu sedikit dan jarang ada info lowongan yang disebar ke publik. Sementara kerja teknis yang lebih ke cowok itu banyak,” tambahnya.

Meski menghadapi tantangan, Kintan tetap berusaha realistis dan terbuka terhadap berbagai peluang kerja yang ada. “Kalau ada peluang dan aku bisa masuk, ya gas lah,” tegasnya.

Hal serupa juga dialami Khalis Anwar (23), lulusan Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry. Sejak lulus pada Agustus tahun lalu, ia sudah mengirimkan 15 lamaran kerja, baik secara daring maupun luring, namun hanya dua yang mendapat balasan. 

“Itupun dibilang nggak lewat, nggak sesuai karakter atau kriteria,” kata Khalis.

Sambil terus mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya, Khalis kini menyambi sebagai guru ngaji di Tempat Pengajian Anak (TPA), meski penghasilannya hanya Rp250-300 ribu per bulan.

Ia juga menyoroti minimnya peluang kerja yang relevan dengan latar belakang akademis. Mayoritas lowongan yang ada, menurut Khalis, justru untuk pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah pendidikan tinggi. 

“Lowongan yang muncul kebanyakan buat waiter, driver, pekerjaan teknis lain. Jarang yang sesuai sama ijazah,” ungkapnya.

Selain terbatasnya lowongan kerja, Khalis juga menilai ada kesenjangan antara kurikulum perguruan tinggi dan kebutuhan dunia kerja. 

“Selain kemampuan teknis, sekarang pasar kerja juga menuntut pengalaman praktis dan kemampuan adaptasi yang tinggi,” tuturnya.

Meski begitu, ia tetap semangat dan berpikiran terbuka. “Ambil saja kalau merasa bisa. Nggak harus sesuai ijazah. Kalau ada yang cocok, aku pede daftarnya,” tutur Khalis.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
hardiknas