Rabu, 15 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Peneliti UGM Nilai Jantho Siap Jadi Pusat Pengembangan Agroindustri Aceh

Peneliti UGM Nilai Jantho Siap Jadi Pusat Pengembangan Agroindustri Aceh

Selasa, 14 Oktober 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Rousan Nabila, dosen di Program Studi Pengembangan Produk Agroindustri, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Jantho - Penelitian intensif yang dilakukan Tim Ekspedisi Patriot Universitas Gadjah Mada (UGM) di kawasan transmigrasi Jantho, Aceh Besar, mulai menyoroti aspek penting dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis agroindustri.

Salah satu fokus utama adalah bagaimana teknologi pengolahan dapat diadaptasi secara efektif oleh masyarakat tanpa meninggalkan aspek keberlanjutan dan kemampuan lokal.

Hal ini disampaikan oleh Rousan Nabila, dosen di Program Studi Pengembangan Produk Agroindustri, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam Paparan Data Lapangan Tim Ekspedisi Patriot UGM di Jantho, Selasa (14/10/2025).

Menurut Rousan, setiap upaya untuk mengoptimalkan potensi wilayah harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik lingkungan, jenis komoditas, serta kemampuan masyarakat dalam mengolah hasil pertanian secara efisien dan berkelanjutan.

“Ketika universitas melakukan kontrol dan intervensi di suatu wilayah, yang harus diperhatikan bukan hanya soal komoditas apa yang cocok ditanam, tapi juga apakah masyarakat siap beradaptasi dengan teknologi yang akan diterapkan,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa orientasi pengembangan agroindustri tidak boleh hanya berfokus pada nilai jual produk, melainkan juga pada capacity building masyarakat agar mampu mengolah hasil panen menjadi produk bernilai tambah.

“Mengolah itu tidak harus rumit. Sekadar mengeringkan hasil panen saja sudah merupakan bentuk pengolahan. Jika kualitasnya bagus dan memenuhi standar, pasti akan diterima industri,” kata Rousan.

Rousan mengungkapkan, dari hasil pemetaan awal tim di lapangan, sejumlah komoditas unggulan seperti kemiri, pinang, dan kakao menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan.

Namun, tantangan muncul dari sisi efisiensi proses dan keterbatasan teknologi di tingkat masyarakat.

Sebagai contoh, pada komoditas kemiri, Rousan menilai proses pengolahan yang kompleks mulai dari pengeringan, pendinginan, pengupasan kulit luar hingga pengupasan biji masih membingungkan bagi sebagian pelaku usaha kecil di desa.

“Masyarakat sebenarnya bukan tidak tahu cara mengolah, tetapi mereka masih bingung mana cara yang paling efisien dan ekonomis. Di situ peran pendampingan dari pemerintah dan perguruan tinggi sangat penting, bukan hanya pendanaan, tapi juga pembimbingan teknis,” jelasnya.

Sementara untuk kakao, kendala teknis justru muncul dari aspek kualitas hasil olahan. Menurutnya, sebagian besar mesin pengolah bubuk kakao yang tersedia di Indonesia masih menghasilkan produk dengan kadar lemak di atas standar internasional.

“Bubuk kakao yang baik seharusnya memiliki kandungan lemak maksimal 12 persen, tapi mesin-mesin di Indonesia rata-rata masih menghasilkan 15 persen. Ini berpengaruh pada nilai jual dan daya saing,” ungkap Rousan.

Ia menambahkan, fermentasi kakao yang dapat meningkatkan mutu produk sering kali diabaikan oleh masyarakat karena dianggap memakan waktu. Padahal, perbedaan harga antara kakao yang difermentasi dan tidak bisa cukup signifikan.

“Fermentasi itu butuh lima sampai enam hari, sementara budaya masyarakat kita cenderung ingin hasil cepat. Ini tantangan tersendiri,” tambahnya.

Selain itu, Rousan juga menyoroti komoditas pinang, yang menjadi salah satu produk ekspor utama Aceh, khususnya ke India. Menurutnya, peluang pasar pinang masih terbuka luas, namun peningkatan nilai tambah hanya bisa dicapai bila tersedia teknologi pendukung yang efisien.

“Pinang di Aceh mayoritas diekspor dalam bentuk mentah. Padahal, jika ada alat pemecah pinang yang efektif, waktu dan tenaga bisa dihemat, dan nilai jual meningkat,” jelasnya.

Ia menilai, pendekatan pengembangan pinang seharusnya tidak hanya berbasis pada pasar luar, tetapi juga mempertimbangkan potensi pemanfaatan di dalam negeri dengan mengedepankan inovasi alat sederhana yang sesuai dengan kondisi lokal.

Terkait hasil penelitian yang sedang berlangsung, Rousan menjelaskan bahwa pihak UGM belum menetapkan komoditas unggulan utama di Jantho. Namun, data yang dikumpulkan dari lapangan akan menjadi dasar dalam merumuskan rekomendasi kepada pemerintah daerah.

“Skemanya, setelah satu komoditas terpilih, kami akan memetakan kebutuhan infrastrukturnya. Hasil analisis ini akan kami sampaikan ke dinas terkait, dan mereka yang akan menindaklanjuti sesuai kewenangannya,” paparnya.

Rousan menegaskan bahwa rekomendasi UGM selalu berorientasi pada prinsip keberlanjutan sosial dan teknis bahwa masyarakat tidak boleh dipaksa untuk mengadopsi teknologi yang belum mereka pahami.

“Kalau dipaksakan, justru bisa merusak--baik tanah maupun sistem sosial. Yang penting masyarakat mampu, memahami, dan merasa memiliki proses itu,” tegasnya.

Rousan menyampaikan pandangannya mengenai kondisi wilayah Jantho yang dinilai sudah sangat siap menjadi kawasan riset dan pengembangan agroindustri terpadu.

“Saya baru tiga hari di sini, tapi melihat kondisi wilayahnya, Jantho ini sudah sangat layak dijadikan kawasan pengembangan. Infrastruktur jalan bagus, fasilitas umum memadai, bahkan lebih baik dibanding beberapa daerah di Jawa,” ujarnya.

Sebagai dosen sekaligus anggota tim Smart Agri UGM, Rousan berharap hasil penelitian ini dapat menjadi langkah awal dalam membangun model pengembangan agroindustri yang berbasis pada kemampuan masyarakat, efisiensi teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.

“Kita ingin memastikan bahwa setiap rekomendasi tidak hanya berbasis data, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat lokal,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI