DIALEKSIS.COM | Aceh - Mantan Wakil Bupati Pidie, Fadhlullah TM Daud, mengajak publik Aceh untuk kembali menimbang secara jernih posisi strategis Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi pembangunan ekonomi Aceh. Dalam pandangannya, Dana Otsus memang penting, namun bukan satu-satunya penentu arah kemajuan daerah.
Justru kekuatan utama Aceh terletak pada dua hal mendasar: sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA).
“Dana Otsus itu penting, tetapi hanya berperan sebagai vitamin tambahan. Jangan sampai kita melupakan kekuatan utama kita sendiri: SDM yang cerdas dan SDA yang melimpah. Ini fondasi yang tak boleh kita abaikan,” ujar Fadhlullah kepada Dialeksis, Selasa (15/7/2025).
Ia menegaskan, di tengah wacana ketidakpastian perpanjangan Dana Otsus Aceh yang kini menjadi sorotan publik, semestinya perdebatan diarahkan ke wilayah yang lebih konstruktif.
“Mari kita hitung secara cermat kontribusi Dana Otsus terhadap pembangunan ekonomi Aceh. Jika pun tidak diperpanjang, berapa persen dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kita?” katanya, retoris.
Menurut Fadhlullah, kalkulasi semacam itu penting agar publik tidak larut dalam emosi semata. Sebab, menurutnya, terlalu bergantung pada Dana Otsus bisa menjadi jebakan psikologis yang justru menghambat kreativitas dan kemandirian daerah. Lebih jauh, ia mengingatkan agar wacana ini tidak sampai mengorbankan rasionalitas para intelektual Aceh.
“Jangan sampai karena Dana Otsus dalam bayang-bayang tidak diperpanjang, kualitas berpikir para guru besar kita ikut memudar. Rasionalitas dan objektivitas mereka harus tetap berdiri tegak. Kita harus bisa bersikap jernih, jangan reaktif,” ucapnya.
Kendati demikian, Fadhlullah tidak menampik bahwa Dana Otsus selama ini telah berperan besar dalam menopang pembangunan, mulai dari infrastruktur, layanan pendidikan dan kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat. Karena itu, ia tetap mengajak semua pihak untuk mendukung perpanjangan Dana Otsus Aceh.
Namun, ajakan itu, menurutnya, mesti disampaikan dengan pendekatan yang elegan. “Gunakan kata-kata yang lembut dan bijaksana. Jangan menyudutkan atau menekan pemerintah pusat. Tidak ada hal yang terlalu berat bagi pemerintah pusat untuk mengalokasikan sedikit dari APBN untuk Aceh. Apakah 2,5 persen, 2 persen, atau bahkan 1 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional,” ujarnya.
Ia menyebutkan, keikhlasan pemerintah pusat dalam melanjutkan Dana Otsus sesungguhnya bukanlah bentuk beban fiskal besar, melainkan bentuk komitmen kebangsaan dalam menjaga keadilan dan memperkuat integrasi nasional.
“Saya yakin, kalau komunikasi kita lembut dan rasional, pemerintah pusat tidak akan menutup telinga. Politik anggaran juga perlu didukung oleh etika dan kecerdasan dalam menyampaikan aspirasi,” tambah Fadhlullah.
Dalam konteks pengelolaan Dana Otsus, Fadhlullah mengingatkan agar pemerintah pusat tidak terlalu dalam mencampuri urusan teknis penggunaan dana tersebut oleh pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya menjaga kepercayaan dan otonomi daerah, selama prinsip akuntabilitas tetap ditegakkan.
“Pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kemenkeu tak perlu terlalu dalam mengatur pemanfaatan Dana Otsus. Yang penting itu pengawasan dan akuntabilitas keuangannya. Cukup dikawal agar tidak diselewengkan. Jangan sampai otonomi yang dijanjikan hanya formalitas semata,” tegasnya.
Menurutnya, pengawasan terhadap Dana Otsus semestinya tidak sekadar dilakukan oleh institusi negara, tetapi juga melibatkan peran masyarakat sipil, akademisi, dan media.
“Kita tidak anti-pengawasan, justru kita butuh pengawasan partisipatif. Tapi bukan pengaturan yang terlalu rinci sampai membuat daerah tidak leluasa bergerak. Aceh harus diberi ruang untuk menyusun prioritasnya sendiri,” ucapnya.
Fadhlullah juga menyoroti pentingnya memanfaatkan momen transisi Dana Otsus ini untuk membangun basis ekonomi baru yang berkelanjutan. Ia mendorong pemerintah Aceh agar tidak hanya fokus pada belanja rutin dan proyek jangka pendek, tetapi mulai berani berinvestasi pada sektor-sektor produktif jangka panjang seperti pertanian modern, perikanan, energi terbarukan, serta industri berbasis digital dan pariwisata berbasis budaya.
“Kalau hanya mengandalkan transfer dana tiap tahun, kita akan terus stagnan. Padahal peluang kita luar biasa. Coba tengok potensi agrikultur kita, laut kita, dan posisi strategis Aceh di jalur perdagangan Selat Malaka. Itu semua belum tergarap maksimal,” tuturnya.
Ia juga menyentil kebijakan daerah yang selama ini, menurutnya, belum menunjukkan keberpihakan kuat terhadap tumbuhnya wirausaha muda Aceh. “Ekosistem kewirausahaan belum solid. Padahal ini bisa menjadi salah satu jalan keluar dari ketergantungan pada dana pusat,” imbuhnya.
Terakhir, Fadhlullah mengingatkan bahwa masyarakat Aceh memiliki daya tahan dan kualitas luar biasa dalam menghadapi tantangan, termasuk dalam situasi ketidakpastian. Sejarah telah membuktikan, rakyat Aceh selalu mampu bangkit, baik dalam masa konflik maupun pasca bencana.
“Jangan remehkan daya tahan dan kualitas orang Aceh. Kita ini bangsa petarung. Sekarang waktunya kita menata diri, memperkuat pondasi ekonomi, dan menjaga marwah kita sebagai daerah yang punya martabat,” pungkasnya. [arn]