DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Utama PT Pembangunan Aceh (PEMA) Mawardi Nur, PEMA menekankan pentingnya membangun ekosistem yang mendukung investasi, bukan sekadar proyek sesaat.
Menurutnya, Aceh membutuhkan model bisnis yang terintegrasi dari perencanaan, pendanaan, hingga pengelolaan yang profesional.
“Investasi tidak akan datang ke tempat yang tidak siap. Maka yang pertama kami benahi adalah tata kelola internal. Kedua, kami pastikan bahwa PEMA bisa menjadi mitra yang andal bagi investor, baik lokal maupun luar negeri,” katanya dalam konferensi pers Ikatan Mahasiswa dan Pemuda (IMP) Seuramoe Mekkah, di Banda Aceh, Kamis (17/7/2025).
Untuk itu, PEMA juga tengah menata ulang struktur anak usahanya. Dari 14 entitas yang ada, hanya beberapa yang benar-benar berjalan.
"Kami tidak ingin ada anak usaha yang hanya ada di atas kertas. Kami lahirkan anak usaha dari kebutuhan bisnis, bukan untuk memperbanyak struktur,” ujarnya.
Mawardi juga memaparkan bahwa bagaimana PEMA tidak lagi sekadar menjadi penampung dividen dari anak usaha yang sudah ada, tapi kini mulai memainkan peran sebagai penggerak utama investasi strategis di Aceh.
“Kalau hanya mengandalkan dividen dari PGE, lalu apa bedanya PEMA dengan perantara? Kita ingin PEMA jadi lokomotif, bukan gerbong. Maka kami rumuskan ulang arah bisnis yang benar-benar produktif,” tegas Mawardi.
Mawardi menyebutkan bahwa PEMA kini fokus pada tiga pilar utama untuk membangkitkan investasi Aceh yaitu pemanfaatan aset tidur dan revitalisasi infrastruktur
Dalam hal ini, PEMA mengambil alih dan mengaktifkan kembali UPTD Cold Storage yang sempat terbengkalai, dengan target beroperasi Oktober 2025. Fasilitas ini akan menghidupkan kembali industri pengolahan hasil laut dan menciptakan lapangan kerja langsung bagi masyarakat pesisir.
Selain itu, hotel Aceh di kawasan Cikini juga tengah direvitalisasi sebagai bagian dari strategi menghidupkan pariwisata dan sektor jasa.
Yang kedua, kata Mawardi, pengelolaan migas dan Sumber Daya Alam dengan pengambilalihan Blok Rantau, wilayah penghasil migas yang selama ini dikelola tanpa kontribusi signifikan bagi daerah.
“Kalau kita kelola, potensi pendapatannya bisa mencapai Rp190 miliar per tahun. Ini angka riil, bukan asumsi,” tegas Mawardi.
PEMA juga tengah menyusun studi pengelolaan bersama untuk Blok Medco yang akan berakhir kontraknya pada 2031. Targetnya, Aceh mendapatkan posisi yang lebih dominan dalam pengelolaan kekayaan alamnya sendiri.
Yang ketiga, kata Mawardi, investasi hijau dan masa depan energi, PEMA menggagas proyek Carbon Capture Storage (CCS) dan telah menandatangani MOU dengan mitra internasional.
Teknologi ini menjadi solusi investasi berkelanjutan yang tak hanya ramah lingkungan tapi juga berpotensi besar menyerap tenaga kerja dan teknologi tinggi.
“Kami tidak mengejar proyek-proyek prestise, tapi proyek yang bisa dieksekusi, menghasilkan PAD, dan membuka lapangan kerja,” kata Mawardi.
Dalam jangka menengah, PEMA juga membuka pintu kolaborasi dengan kampus dan peneliti lokal. “Kami undang mahasiswa, akademisi, dan pemuda Aceh yang punya ide bisnis dan riset. Kalau feasible, kita kerjakan sama-sama,” kata Mawardi.
Menurutnya, investasi yang sehat harus berangkat dari data dan studi, bukan sekadar keinginan atau arahan politik. Oleh sebab itu, PEMA juga membangun divisi kajian internal untuk memastikan semua proyek melalui proses uji kelayakan yang kredibilitas.
Menanggapi berbagai isu yang selama ini muncul soal kinerja PEMA, Mawardi justru membuka diri. Ia juga menggarisbawahi bahwa keterbukaan ini adalah bagian dari strategi membangun kepercayaan investor.
“Transparansi bukan hanya untuk publik, tapi juga untuk calon mitra investasi. Mereka harus tahu bahwa PEMA hari ini adalah institusi yang sehat dan siap bersaing,” pungkasnya.[nh]