Rabu, 17 Desember 2025
Beranda / Ekonomi / Kemandirian Listrik Aceh Harus Jadi Prioritas

Kemandirian Listrik Aceh Harus Jadi Prioritas

Selasa, 16 Desember 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Ishak Hasan, M.Si. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Meulaboh - Pemadaman listrik yang masih kerap terjadi di sejumlah wilayah Aceh terus menjadi keluhan masyarakat dan pelaku usaha. Kondisi ini tidak hanya mengganggu aktivitas sehari-hari, tetapi juga berdampak langsung pada iklim investasi. Ketidakstabilan pasokan listrik membuat banyak investor ragu untuk berkomitmen menanamkan modalnya di Aceh.

Situasi tersebut, menurut Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Ishak Hasan, M.Si., mencerminkan persoalan mendasar dalam pengelolaan energi di Aceh. Ia menilai ketahanan energi, khususnya kemandirian listrik, harus segera ditempatkan sebagai agenda strategis pembangunan daerah.

“Ketahanan energi itu fondasi. Kemampuan kita membangun listrik yang mandiri akan menentukan kecerdasan dan kepintaran masyarakat Aceh ke depan, sekaligus daya saing daerah,” kata Ishak Hasan kepada Dialeksis, Selasa, 16 Desember 2025.

Ia menegaskan bahwa kemandirian energi tidak mungkin terwujud tanpa kreasi dan inovasi. Padahal, Aceh memiliki potensi sumber energi yang sangat besar. Tenaga air, angin, uap panas bumi, serta berbagai sumber energi terbarukan lainnya tersebar di banyak wilayah dan belum dimanfaatkan secara optimal.

“Potensi pembangkit listrik di Aceh sangat melimpah. Tenaga air, angin, uap, dan sumber energi lain tersedia. Masalahnya bukan pada potensi, tapi pada keberanian dan keseriusan untuk mengelolanya,” ujarnya.

Selain potensi sumber daya alam, Ishak menilai Aceh juga tidak kekurangan sumber daya manusia di bidang kelistrikan. Menurutnya, keberadaan sejumlah perguruan tinggi di Aceh menjadi modal penting untuk mendukung kemandirian energi.

“SDM bidang kelistrikan sebenarnya sudah mumpuni. Di Aceh ada perguruan tinggi yang mampu menghasilkan tenaga ahli, seperti dari program studi teknik elektro, teknik industri, dan teknik mesin. Artinya, kita punya modal pengetahuan dan keahlian,” kata Ishak.

Ia mengakui bahwa upaya menuju kemandirian listrik sebenarnya sudah terlambat jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Meski demikian, ia tetap optimistis Aceh masih memiliki peluang besar untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

“Kita boleh dibilang terlambat, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan arah kebijakan yang jelas dan konsisten, Aceh masih sangat mungkin mandiri di bidang energi,” katanya.

Menurut Ishak, kemandirian listrik merupakan “napas” bagi pertumbuhan ekonomi Aceh. Tanpa pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan, sektor industri, pendidikan, hingga ekonomi kreatif akan sulit berkembang.

Karena itu, ia mendorong pemerintah agar lebih fokus dan serius mewujudkan kemandirian listrik Aceh. Salah satu langkah strategis yang diusulkannya adalah pembentukan satuan tugas khusus yang bekerja lintas sektor dan memiliki mandat jelas.

“Harus ada task force khusus yang fokus, terukur, dan berkelanjutan. Ini tidak bisa dikerjakan setengah-setengah,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa faktor terpenting dalam mewujudkan kemandirian energi adalah keberpihakan politik dan komitmen semua pihak. Tanpa dukungan politik yang kuat, kebijakan energi hanya akan berhenti pada tataran wacana.

“Keberpihakan secara politik itu kunci. Pemerintah, legislatif, akademisi, dan masyarakat harus satu suara,” kata Ishak.

Selain itu, ia menilai penguatan regulasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Regulasi tersebut dapat diperkuat melalui Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai landasan hukum pengelolaan energi daerah.

“UUPA harus dimaksimalkan sebagai payung hukum. Dengan regulasi yang kuat, kemandirian listrik Aceh bukan hanya mimpi, tetapi agenda nyata yang bisa diwujudkan,” ujarnya.

Ishak menegaskan, persoalan listrik tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah teknis semata, melainkan sebagai keputusan strategis yang menentukan arah masa depan Aceh. Tanpa keberanian mengambil langkah besar hari ini, Aceh berisiko terus berada dalam lingkaran ketergantungan energi dan kehilangan peluang pembangunan.

“Pilihan kita jelas. Apakah terus bergantung dan tertinggal, atau berdaulat atas energi sendiri. Kemandirian listrik bukan hanya soal terang, tetapi soal martabat, kecerdasan, dan masa depan Aceh,” kata Ishak.

Menutup pernyataannya kepada Dialeksis, Prof. Ishak menegaskan bahwa dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, dukungan regulasi yang kuat, SDM yang memadai, serta komitmen politik yang konsisten, Aceh memiliki semua syarat untuk mandiri di bidang energi. Yang dibutuhkan kini adalah keseriusan dan keberanian untuk mewujudkannya, sebelum waktu semakin menjauhkan Aceh dari peluang yang ada.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI