Jelang Akhir Tahun, JEA Gelar Diskusi Bahas Masa Depan Investasi Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang akhir tahun 2024, Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) menggelar diskusi bertajuk “Realisasi Investasi Aceh Tahun 2024 dan Peluang Investasi Tahun Mendatang", di Vesco Caffe, Banda Aceh, Senin (16/12/2024).
Hadir sebagai narasumber, Direktur Komersial PT Pembangunan Aceh (PEMA) Almer Hafis Sandy, Plh Kepala DPMPTSP Aceh Feriyana, perwakilan Kepala BPS Aceh Hilda Aprina, Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Mukhlis Yunus, serta perwakilan Bank Indonesia Aceh yang diwakili Plt Kepala Unit Kehumasan, Fina Ananda.
Ketua JEA, Andika Ichsan, dalam sambutannya menyampaikan, diskusi ini bertujuan merumuskan catatan kritis terkait kondisi ekonomi Aceh saat ini dan masa mendatang.
“Melalui diskusi ini, kita ingin memberikan referensi yang jelas dari berbagai pihak untuk mendorong kebijakan yang lebih baik bagi masa depan investasi di Aceh,” ujarnya.
Direktur Komersial PT PEMA, Almer Hafis Sandy, mengakui bahwa kendala teknis investasi di Aceh relatif kecil, hanya sekitar 5-10 persen. Namun, tantangan non-teknis masih mendominasi, seperti kurangnya aktivitas ekonomi yang berkelanjutan dan terbatasnya kolaborasi antarpemangku kepentingan.
“Kami terus berupaya mendorong investasi melalui kemitraan dan diversifikasi usaha. Tahun 2025, PEMA menargetkan investasi mencapai Rp56 miliar atau meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkap Almer.
Selain sektor migas yang masih mendominasi, PEMA mulai merambah sektor non-migas seperti pangan, perikanan, properti, dan energi terbarukan.
Diskusi ini juga membahas beberapa peluang investasi konkret untuk tahun mendatang. Di antaranya, proyek panas bumi di Seulawah yang akan dikelola bersama PT Pertamina Geothermal Energy dan rencana reaktivasi pabrik Kertas Kraft Aceh. Selain itu, diversifikasi usaha di sektor pengolahan pangan, perdagangan komoditas kopi dan ikan, serta hilirisasi sawit menjadi fokus pengembangan investasi di 2025.
Sementara itu, terkait investasi berkelanjutan, Almer Hafis Sandy menyebutkan rencana jangka panjang carbon capture storage di Arun sebagai salah satu proyek masa depan untuk mendukung komitmen net zero emission di Indonesia. Proyek ini juga berpotensi menjadi sumber pendapatan baru bagi Aceh.
Sementara itu, Prof. Mukhlis Yunus menyoroti tantangan investasi yang mencakup kompleksitas regulasi, infrastruktur yang belum merata, serta minimnya promosi investasi yang strategis.
“Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, energi terbarukan, dan pariwisata halal. Namun, diperlukan kebijakan yang fleksibel dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menarik investor,” katanya.
Prof Mukhlis juga menekankan pentingnya pengembangan investasi berbasis lingkungan dan syariah, serta memaksimalkan sumber daya alam yang belum tergarap secara optimal.
Sementara itu, Statistisi Ahli Muda BPS Aceh, Hilda Aprina mengatakan selain sektor pertanian dan perikanan, sektor pertambangan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi Aceh, yakni sebesar 7,1 persen pada triwulan III tahun 2024.
“Namun, sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan, cadangan pertambangan akan terus berkurang seiring waktu. Oleh karena itu, pendapatan dari sektor ini harus dimanfaatkan untuk membangun sektor lain yang lebih berkelanjutan,” kata dia.
Dia mengatakan, Aceh dapat belajar dari negara seperti Arab Saudi, yang memanfaatkan pendapatan dari sumber daya alam untuk mengembangkan sektor industri, pariwisata, dan teknologi. Strategi ini dapat membantu Aceh mempersiapkan masa depan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
“Optimalisasi sektor-sektor ini tidak hanya membutuhkan dukungan investasi, tetapi juga peran aktif pemerintah dalam mengembangkan SDM, infrastruktur, dan integrasi sektor ekonomi. Dengan demikian, Aceh dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Diskusi yang digagas JEA ini memberikan perspektif baru bagi jurnalis ekonomi, pemangku kebijakan, dan para investor tentang arah kebijakan dan peluang investasi di Aceh. Kolaborasi antara pemerintah, BUMD, dan sektor swasta dinilai menjadi kunci penting untuk mendorong realisasi investasi yang berdampak positif bagi perekonomian Aceh.
“Harapannya, kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga langkah awal untuk membangun komitmen bersama dalam memajukan investasi Aceh ke depan,” tutup Andika.
- Prof Mukhlis: Aceh Miliki Potensi Investasi Besar, Tapi Terkendala Infrastruktur
- Kunjungan Kerja ke PT PIM, Nurchalis: Investasi dan Ketersediaan Gas Penting untuk PIM
- 60 Persen Gas di Aceh Dimanfaatkan untuk Industri Pupuk
- DPRA Dorong Sinergi Antar Pihak untuk Optimalkan Potensi Migas demi Kesejahteraan Rakyat