Senin, 05 Mei 2025
Beranda / Ekonomi / Industri Manufaktur Tertekan, Pelaku Usaha Menanti Kebijakan Pro-Industri

Industri Manufaktur Tertekan, Pelaku Usaha Menanti Kebijakan Pro-Industri

Sabtu, 03 Mei 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indri

Febri Hendri Antoni Arief, Juru Bicara Kementerian Perindustrian. [Foto: Humas Kemenperin]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pelaku industri manufaktur dalam negeri kini makin was-was menghadapi ketidakpastian pasar global dan membanjirnya produk impor. Hal itu tercermin dari anjloknya Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada April 2025 yang hanya mencapai 46,7, masuk ke fase kontraksi setelah lima bulan bertahan dalam zona ekspansi.

“Penurunannya sangat signifikan, sampai 5,7 poin dibanding Maret yang masih 52,4. Ini sinyal kuat bahwa kepercayaan diri pelaku industri semakin tergerus,” ujar Febri Hendri Antoni Arief, Juru Bicara Kementerian Perindustrian, dalam keterangan resminya yang diterima pada Sabtu (3/5/2025).

Febri menjelaskan, penurunan ini bukan sekadar angka statistik, tapi mencerminkan tekanan psikologis yang dihadapi pelaku industri akibat dinamika global seperti perang tarif yang diluncurkan Amerika Serikat serta banjirnya produk-produk impor dari negara terdampak.

“Mereka bukan cuma khawatir soal tarif Trump, tapi lebih resah karena Indonesia bisa jadi tempat pelampiasan barang-barang dari negara lain. Ini ancaman serius untuk industri lokal,” tegas Febri.

Kondisi ini diperparah dengan perlambatan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang pada April 2025 tercatat di angka 51,90, turun dibanding Maret yang mencapai 52,98. Meskipun masih dalam zona ekspansi, tren penurunannya menunjukkan ketidakpastian yang makin menekan.

“Banyak asosiasi sudah bersuara, mereka menanti kebijakan konkret dari pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri. Jangan sampai permintaan pasar yang lesu justru diisi oleh produk impor,” tambahnya.

Menurutnya, sekitar 80% produk industri dalam negeri diserap oleh pasar domestik, sisanya diekspor. Oleh karena itu, menjaga kestabilan dan perlindungan pasar lokal adalah kunci keberlangsungan sektor industri nasional.

“Kami punya komitmen kuat untuk dorong optimisme pelaku usaha. Tapi tanpa kebijakan afirmatif dari kementerian dan lembaga terkait, usaha kami tidak akan cukup,” ungkap Febri.

Dari data S&P Global, kontraksi PMI Indonesia menjadi yang terdalam di kawasan. Negara-negara seperti Thailand (49,5), Malaysia (48,6), bahkan Jepang (48,5) masih mencatat penurunan, namun tidak sedalam Indonesia. PMI Filipina, sebaliknya, masih bertahan di fase ekspansi.

Sementara itu, Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, mengatakan kontraksi manufaktur Indonesia kali ini adalah yang paling tajam sejak Agustus 2021.

“Penurunan penjualan dan output sangat signifikan. Banyak perusahaan mengurangi pembelian, jumlah tenaga kerja, dan stok. Kondisi ini bisa terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Bhatti. [in]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes