Beranda / Ekonomi / Hut 78 Tahun Merdeka, Dibalik Kisah Bursa Efek Pertama RI

Hut 78 Tahun Merdeka, Dibalik Kisah Bursa Efek Pertama RI

Kamis, 17 Agustus 2023 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Rayakan HUT RI ke-78, BEI Ungkap Banyak Masyarakat Nikmati Pertumbuhan Ekonomi Lewat Pasar Modal. (Foto: MNC Media)


DIALEKSIS.COM | Nasional - Kegiatan di pasar modal Indonesia sebenarnya telah berlangsung lebih dari satu abad. Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Namun, akibat berbagai isu, terutama perang global dan masalah domestik, perdagangan di bursa efek sering terganggu selama beberapa periode.

Pada akhirnya, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, tepatnya pada 10 Agustus 1977, bursa efek diresmikan kembali dan dioperasikan oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM).

Penghidupan kembali pasar modal yang hampir berusia setengah abad ditandai dengan IPO perusahaan pertama, yaitu PT Semen Cibinong Tbk dengan kode SMCB.

Jangan heran, SMCB merupakan perusahaan publik pertama di Indonesia. Saat itu, bursa masih dikenal sebagai Bursa Efek Jakarta (BEJ). Perdagangan pada saat itu jauh lebih tidak ramai dibandingkan dengan sekarang, karena bahkan setelah 10 tahun sejak IPO pertama SMCB pada tahun 1987, BEJ hanya memiliki 24 emiten.

Sebagai perusahaan pertama yang IPO setelah pemulihan bursa efek, SMCB memiliki perjalanan yang panjang. SMCB didirikan pada tanggal 15 Juni 1971, yang berarti perusahaan resmi menjadi perusahaan publik pada usia enam tahun.

Dalam setengah abad keberadaannya, SMCB telah mengalami banyak perubahan dalam hal aksi korporasi dan perubahan nama. Saat IPO, SMCB menjual 178.750 sahamnya ke publik dengan harga Rp 10.000 per saham. Oleh karena itu, dana yang diperoleh dari IPO mencapai hampir Rp 1,8 miliar.

Harap diingat bahwa pada saat itu belum ada krisis atau inflasi, sehingga nilai Rp 1,8 miliar pada saat itu berbeda secara signifikan dengan nilai saat ini.

Setelah IPO, pada tahun 1988, Kaiser Cement & Gypsum Corporation dan International Finance Corporation (IFC) menjual 49% kepemilikan perusahaan kepada PT Tirtamas Majutama (Grup Tirta Mas) yang dimiliki oleh Hashim Djojohadikusumo, anak dari ekonom Orde Baru Soemitro Djojohadikusumo, yang juga merupakan adik dari Prabowo Subianto.

Setelah pergantian kepemilikan tersebut, SMCB aktif melakukan aksi korporasi seperti akuisisi. Pada tahun 1993, SMCB mengakuisisi PT Semen Nusantara yang memproduksi Semen Borobudur.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1995, SMCB mengakuisisi 100% saham PT Semen Dwima Agung di Tuban, Jawa Timur. Namun, saat krisis moneter melanda pada tahun 1998, SMCB juga terkena dampaknya.

Usai krisis berlalu dan era reformasi dimulai, tepatnya pada tahun 2000, perusahaan asal Swiss, Holcim Ltd, masuk sebagai pemegang saham pengendali. Setahun kemudian, pada Desember 2001, Holcim resmi menjadi pemegang saham mayoritas SMCB melalui proses right issue sebanyak 6,51 juta saham.

Pada 2005, Holcim Participation menjual seluruh sahamnya di Semen Cibinong kepada Holdervin BV senilai Rp 2,47 triliun. Holdervin BV adalah perusahaan Belanda yang merupakan induk dari Holcim Ltd. Setahun setelah penjualan saham ini, SMCB berganti nama menjadi PT Holcim Indonesia Tbk dari PT Semen Cibinong Tbk.

Pada era pemerintahan Jokowi yang pertama, tepatnya pada tahun 2016, SMCB mengakuisisi 100% saham PT Lafarge Cement Indonesia senilai Rp 2,13 triliun sebagai hasil dari konsolidasi dengan Lafarge. Ini juga termasuk PT Semen Andalas di Aceh yang diakuisisi sejak 1994 dan direkonstruksi setelah tsunami pada tahun 2010.

Aksi akuisisi ini juga sejalan dengan merger Holcim global dengan perusahaan semen Prancis, Lafarge, yang kemudian berganti nama menjadi LafargeHolcim Ltd dan menjadi produsen semen terbesar di dunia.

Sejarah SMCB tidak berhenti di situ. Dua tahun setelah berganti nama menjadi LafargeHolcim, SMCB mengalami perubahan kepemilikan lagi. PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) berhasil mengakuisisi 80,6% saham LafargeHolcim di SMCB.

Akuisisi senilai US$ 917 juta atau sekitar Rp 13,47 triliun (dengan kurs Rp 14.735/US$) ini selesai pada 12 November 2018. Setelah proses akuisisi selesai, LafargeHolcim resmi tidak memiliki saham lagi di Holcim Indonesia. Ini menandakan bahwa perusahaan asal Swiss tersebut telah keluar dari Indonesia.

Saham SMCB, yang sekarang merupakan bagian dari kelompok perusahaan pelat merah, cenderung tidak likuid dalam perdagangan. Dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp13,71 triliun, porsi kepemilikan saham publik hanya sekitar 1,37%. Sementara PT Semen Indonesia (Persero) Tbk memiliki 83,52% saham dan Taiheiyo Cement Corporation memiliki 15,10% saham. [cnbcindonesia]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda