DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan smart farming atau pertanian cerdas berbasis teknologi, namun masih menghadapi tantangan yang cukup kompleks di tingkat akar rumput.
Hal ini disampaikan oleh Brian Guntur, Founder C-Farm sekaligus Pembina Youth Social Education Awareness Community (UC), saat dimintai tanggapan oleh media dialeksis.com, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Brian, penerapan smart farming di tanah air masih terbatas karena rendahnya literasi teknologi di kalangan petani dan generasi muda.
Padahal, menurutnya, langkah pertama yang paling penting bukan hanya soal alat atau aplikasi canggih, tetapi tentang membangun cara pandang baru terhadap pertanian modern.
“Potensi smart farming di Indonesia itu besar sekali. Tapi tantangan awalnya ada pada literasi dan sosialisasi. Generasi muda dan petani perlu memahami dulu seberapa penting dan bermanfaatnya teknologi ini bagi keberlanjutan pertanian,” ujar Brian.
Ia menjelaskan bahwa saat ini sudah ada sejumlah wilayah di Indonesia yang mulai menerapkan teknologi smart farming sesuai dengan kondisi lokalnya masing-masing.
Misalnya, di dataran tinggi Gayo, Aceh, penerapan smart farming pada komoditas kopi mulai diarahkan pada pengaturan suhu, sistem irigasi otomatis, serta pemanfaatan drone untuk menyiram tanaman atau memantau kelembapan lahan.
“Contohnya di Gayo, kita bisa pakai drone untuk penyiraman, atau sensor suhu untuk menyesuaikan kondisi iklim yang makin ekstrem. Jadi bukan sekadar teknologi, tapi bagaimana alat itu mampu menyesuaikan diri dengan tantangan lingkungan yang nyata di lapangan,” jelasnya.
Namun, menurut Brian, masih ada tiga hambatan besar yang dihadapi smart farming di Indonesia, adaptasi teknologi, harga alat yang tinggi, dan keterbatasan infrastruktur internet.
Adaptasi masyarakat terhadap teknologi menjadi pekerjaan rumah tersendiri, karena tidak semua petani siap dengan perubahan pola kerja yang selama ini tradisional.
“Tantangan terbesar itu adaptasi. Banyak petani masih sulit beralih ke cara baru karena belum terbiasa, belum melihat contoh langsung. Selain itu, alat-alat smart farming juga mahal, dan jaringan internet di beberapa daerah masih minim,” ungkapnya.
Di sisi lain, Brian juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat transformasi pertanian digital di Indonesia.
Menurutnya, pendekatan quad helix yang melibatkan pemerintah, kampus, komunitas petani, dan pihak swasta merupakan kunci agar kebijakan dan inovasi bisa diterapkan dengan efektif.
“Pemerintah perlu membuka ruang kolaborasi yang nyata. Harus ada sinergi antara pemerintah, akademisi, petani, dan LSM. Kalau empat elemen ini berjalan bersama, informasi bisa tersebar dengan baik dan program akan lebih mudah diimplementasikan,” tegas Brian.
Lebih jauh, ia juga menekankan peran penting petani muda sebagai agen perubahan di lapangan. Mereka diharapkan dapat menjadi jembatan edukasi dan contoh nyata bagi petani lain dalam menerapkan teknologi pertanian cerdas.
“Harapan saya, petani muda bisa menjadi agen sosialisasi. Mereka bukan hanya mengedukasi, tapi juga memberi contoh. Karena petani itu biasanya akan mengikuti kalau sudah melihat hasil nyata dari rekan-rekannya sendiri,” ujar Brian.
Brian optimistis bahwa smart farming dapat menjadi solusi nyata dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan menurunnya produktivitas pertanian di berbagai daerah.
Ia berpesan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta inovasi pertanian yang sesuai dengan karakter dan potensi lokalnya.
“Kita jangan hanya jadi pengguna, tapi juga pencipta inovasi. Kalau smart farming kita sesuaikan dengan kearifan lokal, saya yakin pertanian Indonesia bisa lebih mandiri dan berdaya saing,” pungkasnya. [nh]