Kamis, 18 September 2025
Beranda / Ekonomi / Don Zakiyamani: Dana Rp7 Triliun BAS di Surat Berharga Bukan Menganggur, Ini Strategi Likuiditas

Don Zakiyamani: Dana Rp7 Triliun BAS di Surat Berharga Bukan Menganggur, Ini Strategi Likuiditas

Rabu, 17 September 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Pemerhati media sosial dan ruang publik, Don Zakiyamani Al-Kotsa. Foto; for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Suasana ngopi pagi dan sore di Banda Aceh belakangan riuh oleh satu topik yakni laporan keuangan Bank Aceh Syariah (BAS) tahun buku 2024. Di satu sisi, bank milik Pemerintah Aceh itu membukukan laba Rp443 miliar. Di sisi lain, publik menyorot penempatan sekitar Rp7,05 triliun pada surat berharga instrumen investasi yang mudah dicairkan seperti Sukuk Negara, obligasi syariah, dan obligasi korporasi nasional.

Pemerhati media sosial dan ruang publik, Don Zakiyamani Al-Kotsa, menilai polemik ini lahir dari salah paham atas cara kerja perbankan. “Angka Rp7 triliun itu bukan uang ‘parkir’ yang tak produktif,” kata Don di Banda Aceh. “Itu bagian dari strategi manajemen risiko dan likuiditas yang diatur ketat oleh regulasi.”

Don menjelaskan, bank tidak bisa serta-merta menyalurkan seluruh dana pihak ketiga ke pembiayaan. Ada kewajiban menjaga likuiditas kemampuan menyediakan uang tunai saat nasabah menarik dana agar bank tetap stabil dalam kondisi ekonomi yang naik turun.

“Regulasi seperti Peraturan OJK mengenai kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menuntut kecukupan modal, likuiditas, dan kualitas aset. Jadi penempatan sebagian dana ke surat berharga bukan sekadar opsi, melainkan mandat kehati-hatian,” ujarnya.

Menurut Don, surat berharga dipilih karena profilnya aman dan likuid, terutama yang dijamin negara. “Ibarat dapur rumah tangga, sebagian uang untuk belanja harian, sebagian disimpan sebagai dana darurat. Kalau semua dihabiskan, keluarga kelimpungan saat ada kebutuhan mendadak. Bank pun sama: tanpa cadangan di instrumen aman, risiko gagal bayar bisa membahayakan kelangsungan usaha,” katanya.

Sejumlah pembaca mengaitkan dana Rp7 triliun BAS dengan kebijakan pemerintah pusat yang menyalurkan likuiditas ratusan triliun rupiah kepada bank - bank Himbara melalui skema Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Don menyebut perbandingan ini keliru kaprah.

“Dana BAS berasal dari simpanan nasabah. Sementara fasilitas likuiditas BI untuk Himbara itu instrumen kebijakan makro untuk stabilisasi ekonomi nasional. Sumber, tujuan, dan aturan mainnya berbeda,” tegas Don. “Memaksa BAS menyalurkan dana seperti Himbara justru menabrak prinsip kehati-hatian dan aturan OJK.”

Don menekankan, penempatan dana di surat berharga tetap produktif. Instrumen tersebut bisa dicairkan kapan saja, memberikan imbal hasil halal sesuai prinsip syariah, sekaligus mendukung pembiayaan pemerintah. “Efeknya berputar kembali ke daerah lewat transfer keuangan pusat seperti DAU dan DAK. Jadi, bukan berarti uang tidak bekerja,” ucapnya.

Ia menambahkan, prinsip syariah yang dianut BAS menekankan keadilan, transparansi, dan pembagian risiko. “Bank tidak boleh menyalurkan pembiayaan yang spekulatif atau mengandung riba. Karena itu, porsi dana di instrumen halal dan aman menjadi bagian dari kompas etika,” kata Don.

Menurut Don, langkah BAS juga selaras dengan teori ekonomi. “Teori preferensi likuiditas ala Keynes menyebut pelaku ekonomi cenderung menyimpan sebagian kekayaan dalam bentuk likuid untuk berjaga saat ketidakpastian. Sementara konsep velocity of money menunjukkan uang tetap produktif meski tidak langsung masuk ke pembiayaan komersial karena ia mendukung proyek pemerintah dan aktivitas riil,” ujarnya. “Dengan kacamata ini, penempatan dana di surat berharga adalah strategi yang rasional.”

Don menepis anggapan bahwa fokus BAS semata di surat berharga. Ia menyebut penyaluran pembiayaan ke sektor produktif lokal tetap berjalan. 

“Hingga Juni 2025, UMKM menerima pembiayaan sekitar Rp2,53 triliun kepada 8.072 debitur. KUR menembus Rp2,2 triliun. Total pembiayaan produktif di atas Rp20 triliun,” kata Don. “Artinya, sambil menjaga bantalan likuiditas, bank tetap mengalirkan manfaat nyata ke masyarakat Aceh pertanian, UMKM, hingga infrastruktur.”

Ia kembali mengajukan analogi sederhana. “Bayangkan kepala keluarga yang menyisihkan sebagian uang di celengan aman untuk kebutuhan mendadak, sembari tetap memenuhi biaya sekolah anak dan memperbaiki rumah. Keluarga aman, kegiatan tetap jalan. Begitu pula bank,” katanya.

Meski membela logika di balik kebijakan likuiditas BAS, Don menganggap kritik publik tetap krusial. “Jika porsi dana di surat berharga terlalu besar, pembiayaan lokal bisa tersendat. Karena itu, transparansi mutlak. Publik berhak tahu proporsi dana yang ditempatkan di instrumen nasional dan yang dialokasikan ke pembiayaan lokal,” ujarnya.

Ia mengapresiasi data-data pembiayaan produktif yang terus bergerak. “Selama bank menjelaskan komposisi, dasar regulasi, dan dampaknya ke ekonomi Aceh, kepercayaan publik akan terjaga,” kata Don.

Don menilai ekosistem informasi yang sehat membutuhkan kolaborasi. “Ekonom membantu memaparkan logika risiko dan stabilitas bank. Akademisi menempatkan praktik bank syariah pada kerangka teori dan standar etik. Media menyajikan informasi jernih, proporsional, dan kritis. Kalau tiga pilar ini bersinergi, publik tercerahkan,” ujarnya.

Ia mengajak masyarakat menjadi pembaca cermat. “Sebelum menilai angka besar seperti ‘Rp7 triliun yang katanya menganggur’, pahami konteks, regulasi, dan mekanismenya. Jangan terjebak judul sensasional. Cek sumber, pahami prinsip perbankan syariah dan manajemen risiko.”

Di ujung percakapan, Don menyelipkan perumpamaan yang akrab di telinga warga Serambi Mekkah. “Membaca berita keuangan itu seperti menikmati kopi Aceh pahitnya wajar, tapi jangan sampai bikin mual. Yang penting menyegarkan pikiran dan membuat kita waspada,” tuturnya.

“Menjadi pembaca cerdas bukan berarti selalu setuju. Itu soal kemampuan menilai secara objektif, kritis, dan tidak mudah digiring opini. Dengan begitu, kita bisa memberi kritik yang sehat dan mendukung keputusan yang bijak tanpa terperangkap salah paham,” kata Don. “Di balik angka besar, ada strategi kehati-hatian, prinsip syariah, dan akal sehat ekonomi. Tidak serumit rasa kopi pahit sebelum ditambah gula asal kita tahu cara menikmatinya.”

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid