DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, menerima kunjungan jajaran PT Pertamina (Persero) Sales Area Retail Aceh yang dipimpin oleh Sales Area Manager, Misbah Bukhori, di Meuligoe Gubernur Aceh pada Selasa malam, 21 Oktober 2025.
Pertemuan ini membahas berbagai persoalan krusial terkait ketersediaan dan akses masyarakat terhadap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Aceh, terutama bagi nelayan dan masyarakat pedesaan yang masih kesulitan mendapatkan pasokan secara merata.
Kunjungan tersebut dikutip dari akun Instagram resmi @muzakirmanaf serta dilansir oleh media Dialeksis.com, pada Kamis, 23 Oktober 2025, yang membahas antara Gubernur Aceh dan Pertamina mengenai distribusi BBM, kelangkaan di beberapa wilayah, hingga persoalan administratif yang seringkali menghambat warga saat membeli minyak di SPBU.
Dalam pertemuan itu, Mualem mengungkapkan keprihatinannya terhadap sistem digitalisasi pembelian BBM bersubsidi menggunakan barcode (istilah masyarakat untuk barcode di aplikasi MyPertamina).
Menurutnya, kebijakan tersebut membuat masyarakat di pelosok kesulitan mendapatkan minyak karena tidak semua warga memahami cara penggunaan sistem digital.
“Sampai ke Pertamina itu, minyak nggak dikasih karena nggak ada barcode. Kami berusaha akan bagaimana nanti mengenakan barcode karena orang tidak ada barcode, kan tidak lagi bisa beli di sini,” ujar Mualem.
Ia mencontohkan banyak warga, terutama nelayan atau masyarakat pedesaan, yang tidak memiliki smartphone atau tidak paham teknologi digital. Akibatnya, mereka terpaksa membeli BBM secara tidak resmi, bahkan dengan harga yang jauh lebih mahal.
“Kadang seorang bapak punya mobil, baru mau isi minyak. Tapi ditanya barcode, dia nggak tahu itu apa. Kadang mobil habis minyak di jalan, jauh dari SPBU. Akhirnya mendorong, atau malah ribut di lapangan,” lanjutnya.
Mualem juga menyinggung sejumlah persoalan sosial yang muncul akibat distribusi BBM yang tidak merata dan sistem yang membingungkan masyarakat. Ia menyebutkan adanya potensi gesekan antara masyarakat dengan petugas SPBU, aparat, bahkan sesama warga.
“Antara orang pertamina (SPBU) dengan masyarakat sering terjadi salah paham. Kadang sampai ribut dengan polisi, bahkan mau bakar-bakaran. Jadi nggak nyaman juga,” katanya.
Menurut Mualem, kondisi ini menunjukkan perlunya evaluasi serius terhadap mekanisme distribusi dan sistem digital yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kondisi sosial Aceh.
Sebagai langkah konkret, Mualem mengungkapkan bahwa Pemerintah Aceh saat ini tengah mendorong program baru bernama Kooperasi Nelayan Merah Putih (KNMP).
Program ini dirancang agar distribusi BBM bagi nelayan bisa dilakukan langsung melalui koperasi di kampung nelayan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada SPBU umum.
“Untuk nelayan, kemarin kita sudah ada program baru, namanya KNMP Kooperasi Nelayan Merah Putih. Kebetulan di Aceh itu ada empat lokasi. Mungkin nanti ditambah lagi. Jadi itu langsung di wilayah kampung nelayan, dikelola oleh koperasi masing-masing,” jelasnya.
Program ini diharapkan menjadi solusi jangka pendek yang dapat mengurangi ketimpangan distribusi BBM dan membantu nelayan kecil yang kesulitan membeli bahan bakar untuk melaut.
Sementara itu, Sales Area Manager PT Pertamina Aceh, Misbah Bukhori, menyampaikan apresiasi atas perhatian Gubernur terhadap keluhan masyarakat.
Menurutnya, Pertamina akan menindaklanjuti masukan tersebut dan melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat agar kebijakan subsidi dapat lebih tepat sasaran.
“Kami memahami banyak masyarakat kesulitan mengakses BBM bersubsidi. Namun sistem barcode ini dibuat untuk memastikan subsidi tidak salah sasaran. Kami akan evaluasi dan mencari mekanisme lain agar masyarakat yang berhak tetap mudah mendapatkan minyak,” ujar Misbah.
Misbah juga menegaskan bahwa Pertamina hanya berperan sebagai operator yang menjalankan regulasi dari pemerintah pusat, namun tetap membuka ruang diskusi dengan pemerintah daerah untuk mencari solusi terbaik.
“Ini memang ranahnya pemerintah. Tapi kami di Pertamina siap melakukan penyesuaian teknis agar distribusi lebih efisien dan masyarakat Aceh tidak kesulitan,” tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda), Nasir Syammaun, menegaskan pentingnya koordinasi lintas sektor antara pemerintah daerah, pusat, dan Pertamina.
Ia meminta agar kebijakan BBM subsidi disesuaikan dengan realitas sosial di Aceh, yang sebagian besar masyarakatnya masih hidup di wilayah pedesaan dan pesisir.
Ia berharap hasil pertemuan ini dapat menjadi titik awal bagi kebijakan baru yang lebih berpihak kepada rakyat kecil, terutama para nelayan, petani, dan masyarakat pelosok yang selama ini paling merasakan dampak dari keterbatasan akses BBM bersubsidi.
“Saya kira perlu ada pengawasan dan mekanisme lain agar BBM subsidi benar-benar sampai kepada yang berhak. Jangan sampai kebijakan bagus di atas, tapi membingungkan di bawah,” tutupnya.