DIALEKSIS.COM | Jakarta - Di salah satu sudut Plaza Senayan, tepatnya di Made’s Warung Jakarta, malam masuk Bada Maghrib (Sabtu, 26/7/2025) suasana terlihat biasa saja. Tapi bagi redaksi Dialeksis, hari itu menjadi momen langka. Dua tokoh dengan pandangan besar tentang masa depan ekonomi Aceh duduk berdampingan Andi Harianto Sinulingga dan Teuku Raja Keumangan. Keduanya terlihat sangat hangat dan penuh bersahaja berdiskusi satu sama lainnya, layaknya seperti hubungan abang dan adek.
Diskusi mereka tak biasa. Tak sekadar obrolan ringan, melainkan perbincangan bernas tentang gagasan membangun ekosistem ekonomi daerah yang lebih terbuka, kolaboratif, dan berpihak pada pertumbuhan jangka panjang. Dialeksis berkesempatan menjadi saksi gagasan-gagasan itu.
“Kalau ingin membangun Aceh, pemerintah dan masyarakatnya harus membuka diri,” ujar Andi Harianto Sinulingga, Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat DPP Partai Golkar, yang juga dikenal sebagai pengusaha nasional.
Menurut Andi, langkah awal membangun ekosistem ekonomi dimulai dari kesadaran pemerintah daerah untuk menghargai pelaku usaha yang telah berkontribusi di daerah. Kepala daerah, katanya, harus memulai dengan mengundang seluruh pelaku bisnis, baik skala lokal maupun nasional, untuk berdialog secara terbuka.
“Langkah pertama yang paling sederhana, tapi penting: ucapkan terima kasih. Itu perlu. Pemerintah daerah harus menyampaikan terima kasih secara langsung karena mereka sudah membuka lapangan kerja dan membantu menggerakkan ekonomi,” ucap Andi.
Baginya, bentuk apresiasi seperti itu bukan basa-basi politik. Justru dari sanalah pintu komunikasi bisa terbuka, dan hubungan saling percaya antara pemerintah dan pengusaha bisa tumbuh.
Setelah ucapan terima kasih, sambung Andi, langkah berikutnya adalah mendengar. Ia mengusulkan agar kepala daerah bertanya langsung kepada para pelaku usaha apa yang dibutuhkan? Apa yang perlu diprioritaskan pemerintah untuk memudahkan investasi? Apa hambatan yang membuat dunia usaha sulit berkembang?
“Sering kali pemerintah sibuk membuat regulasi sendiri, tanpa pernah duduk bersama pelaku ekonomi. Padahal, justru dari mereka kita bisa tahu apa yang salah dan apa yang harus diperbaiki,” tegasnya.
Baginya, pendekatan seperti ini tidak hanya membangun hubungan, tapi juga memetakan prioritas pembangunan secara lebih realistis dan tepat sasaran.
Andi menyebutkan bahwa intensitas komunikasi menjadi kunci utama. Pemerintah daerah, menurutnya, harus terus-menerus membuka ruang dialog dengan berbagai elemen, terutama organisasi dunia usaha.
“Kita punya banyak organisasi di Aceh seperti; Kadin, HIPMI, ISMI, MES. Semua itu punya peran strategis. Tapi kalau tidak ada komunikasi yang terstruktur dan berkelanjutan, ya tidak akan ada sinergi,” kata Andi.
Komunikasi, tambahnya, tidak cukup dilakukan sekali dua kali dalam forum formal. Pemerintah dan dunia usaha harus punya kedekatan, kepercayaan, dan semangat kolaborasi
Tak berhenti di komunikasi, Andi juga menyinggung pentingnya mendorong kesadaran pajak dari sektor swasta. Menurutnya, kontribusi pelaku usaha terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat menentukan daya fiskal pemerintah lokal.
“Tugas pemerintah bukan hanya menagih, tapi membangun kesadaran bahwa bayar pajak itu bagian dari cinta pada daerah,” ujarnya.
Andi percaya, jika iklim usaha di Aceh sehat, maka kontribusi terhadap PAD akan datang secara alami. Tapi iklim itu hanya bisa tumbuh jika pemerintah mampu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi dunia usaha.
Dalam percakapan yang berlangsung lebih dari satu jam itu, satu pesan Andi terdengar berulang kali: keterbukaan. Pemerintah, katanya, tidak bisa bekerja sendiri. Dunia usaha tidak bisa bergerak dalam ketidakpastian.
“Ekosistem ekonomi itu dibangun dari kepercayaan. Dan kepercayaan itu lahir dari keterbukaan. Jangan alergi terhadap masukan. Jangan eksklusif. Beri ruang bagi siapa pun yang ingin berkontribusi,” kata Andi.
Menurutnya, pemerintah harus menciptakan sistem pelayanan investasi yang mudah, cepat, dan jelas. “Jangan bikin pengusaha bingung harus ke mana, harus lewat siapa. Itu yang membuat investasi lari ke tempat lain,” tegasnya.
Meski mengkritik sejumlah hal, Andi tidak kehilangan optimisme. Ia yakin Aceh masih punya peluang besar untuk bangkit, asalkan ada keberanian untuk berubah.
“Kita punya sumber daya, kita punya sejarah panjang dalam perdagangan dan budaya wirausaha. Yang kita butuhkan sekarang adalah pemimpin-pemimpin yang mau mendengar, dan mau membuka pintu untuk semua,” ujarnya.
Diskusi siang itu kemudian ditutup dengan senyum dan semangat. Bagi Dialeksis, pertemuan antara Andi Harianto Sinulingga dan Teuku Raja Keumangan di tengah hiruk-pikuk Jakarta adalah sebuah pengingat, bahwa gagasan besar kadang lahir dari tempat dan waktu yang sederhana.
Tapi seperti kata Andi, kuncinya hanya satu: keterbukaan. Sebab, dari keterbukaanlah pertumbuhan dimulai.