Ahli Ekonomi Ungkap Penyebab Bangkrutnya BPRS di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ., CFRM., CHRA, dosen FEB Universitas Syiah Kuala sekaligus pengamat ekonomi nasional. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penutupan sejumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Aceh menuai sorotan tajam. Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ., CFRM., CHRA, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala sekaligus pengamat ekonomi nasional, mengungkapkan bahwa fenomena ini terjadi karena berbagai faktor mendasar, terutama memburuknya tingkat kesehatan BPRS.
“BPRS yang terus merosot kesehatannya akhirnya tidak mampu memenuhi aturan-aturan yang dipersyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator,” ujar Dr. Rustam saat diwawancarai Dialeksis.com pada Minggu (1/12).
Menurutnya, ketidakmampuan BPRS menghasilkan laba menjadi salah satu tanda memburuknya kondisi bank. Kinerja rentabilitas, seperti Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), dan Net Profit Margin (NPM), menunjukkan angka yang jauh di bawah standar.
“Operasional bank tidak lagi efisien, sehingga aset dan ekuitas yang dimiliki tergerus tanpa menghasilkan keuntungan. Pada akhirnya, modal yang dimiliki terus menyusut,” jelasnya.
Selain itu, Dr. Rustam menyoroti lemahnya kemampuan manajemen BPRS dalam mengendalikan risiko. Risiko operasional menjadi tantangan utama yang sering kali bersumber dari kesalahan sistem internal atau bahkan fraud oleh sumber daya manusia.
“Risiko kredit juga tidak mampu dikelola dengan baik, yang menyebabkan tingginya tingkat kredit macet. Kondisi ini makin memperburuk posisi permodalan bank,” tambahnya.
Ia juga mencatat adanya masalah pada risiko kepatuhan, di mana manajemen BPRS diduga tidak memenuhi aturan-aturan dari OJK.
“Ini menjadi catatan merah dalam evaluasi regulator,” ungkapnya.
Penyebab lainnya disampaikan Dr Rustam yakni lemahnya kualitas tata kelola bank (Good Corporate Governance/GCG) juga menjadi faktor signifikan. Struktur pengurus yang tidak ideal, proses yang tidak terukur, dan hasil yang tidak sesuai harapan semakin memperburuk tingkat kesehatan BPRS.
Untuk mencegah situasi serupa, Dr. Rustam menyarankan agar BPRS memperbaiki efisiensi operasional agar mampu menghasilkan laba.
“Risiko-risiko yang ada harus dimitigasi dengan baik. Risiko operasional, seperti kesalahan sistem dan fraud, harus dihindari. Kredit yang disalurkan juga harus dicermati agar tidak berujung pada kemacetan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kepatuhan terhadap aturan OJK.
“Manajemen harus menjalankan tata kelola sesuai prinsip GCG. Struktur dan komposisi pengurus, termasuk dewan pengawas, harus dipenuhi. Proses pengelolaan harus objektif dan terukur, sehingga hasilnya sesuai harapan,” tuturnya.
Dr. Rustam mengingatkan bahwa perbankan adalah lembaga yang sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat.
“Integritas semua pihak, mulai dari direksi hingga dewan pengawas, adalah kunci utama. Tanpa integritas, upaya apa pun akan sia-sia,” tegasnya.
Penutupan BPRS di Aceh menurut Dr Rustam menjadi peringatan serius bagi sektor perbankan syariah di Indonesia.
"Peningkatan kualitas manajemen, kepatuhan regulasi, dan tata kelola yang baik menjadi langkah mutlak untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang," pungkasnya.