DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Khalid, S.Pd.I., menyoroti kerugian finansial besar yang dialami Provinsi Aceh akibat ketiadaan pabrik pengolahan (refinery) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh per Oktober 2024, kerugian daerah ini mencapai Rp372 miliar per tahun lantaran CPO diekspor langsung melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara (Sumut), tanpa diolah menjadi produk turunan.
“Kondisi ini sangat miris. Bahan baku dari Aceh, tetapi keuntungan justru dinikmati pihak luar. Jika ada refinery, kita bisa mengolah CPO menjadi produk bernilai tinggi seperti biodiesel atau kosmetik,” tegas Khalid, yang juga politikus Partai Golkar, dalam keterangan kepada Dialeksis, Jumat (25/04/2025).
Data Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Aceh menunjukkan, produksi CPO Aceh mencapai 1 juta ton per tahun. Namun, hanya 70 ribu ton (7%) yang diekspor melalui pelabuhan lokal seperti Krueng Geukuh (Aceh Utara) dan Calang (Aceh Jaya). Sebanyak 930 ribu ton sisanya masih mengandalkan Belawan, membuat Aceh kehilangan potensi pendapatan dari bea ekspor, pajak, serta lapangan kerja.
Khalid mendesak Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan Wakil Gubernur Fadhlullah TM (Dek Fadh) untuk segera membangun refinery sawit.
“Daerah lain bisa, kenapa Aceh tidak? Namun, perlu studi kelayakan komprehensif agar investasi tidak sia-sia,” ujarnya.
Menurutnya, pengolahan CPO menjadi produk turunan seperti minyak goreng, margarin, biodiesel, hingga kosmetik dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi. Jika refinery belum memungkinkan, setidaknya ekspor CPO harus dialihkan ke pelabuhan lokal.
“Pemerintah harus proaktif. Kita punya pelabuhan, kenapa tidak dimaksimalkan?” tegasnya.
Di sisi lain, penggunaan pelabuhan lokal dinilai mampu menekan biaya logistik. Safuadi, Kepala Kanwil DJBC Aceh, menyebut pengiriman CPO via Belawan memicu ongkos angkut tinggi, sehingga harga tandan buah segar (TBS) sawit di Aceh ikut terdampak.
“Jika CPO diekspor langsung dari sini, biaya transportasi berkurang. Petani bisa menikmati kenaikan harga TBS,” jelas Safuadi.
Sejumlah pengamat ekonomi menyatakan, pembangunan refinery sawit di Aceh bukan hanya urusan investasi, tetapi juga keberpihakan pada petani. Saat ini, 60% perkebunan sawit Aceh dikelola rakyat, namun minim akses pengolahan lanjutan.
“Ini momentum bagi Aceh untuk mengubah CPO dari komoditas mentah menjadi industri strategis,” pungkas Khalid.