DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Provinsi Aceh mengalami lonjakan impor yang signifikan pada April 2025, didominasi oleh masuknya gas propana dan butana dari Uni Emirat Arab (UEA) senilai US$50,13 juta. Angka ini hampir menyumbang seluruh nilai impor Aceh bulan tersebut yang mencapai US$50,81 juta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, impor gas dari UEA tersebut melonjak drastis dibandingkan bulan sebelumnya. Lonjakan inilah yang menjadi motor penggerak kenaikan nilai impor Aceh secara keseluruhan sebesar 65,46% jika dibandingkan dengan Maret 2025.
Di sisi lain, kinerja ekspor justru menunjukkan tren negatif. Ekspor Aceh pada April 2025 tercatat turun 7,08% menjadi US$52,99 juta. Akibat ketimpangan ini, neraca perdagangan Aceh hanya mencatat surplus tipis sebesar US$2,18 juta.
Merespons data impor dan ekspor tersebut, Dialeksis menghubungi Muhammad Nur, Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina). Nur menyampaikan kritik tajam dan keraguan mendalam terhadap laporan BPS, menekankan perlunya kajian ulang yang mendalam antara fakta statistik dan realitas di lapangan.
"Data statistik ini harus dikaji ulang secara kritis. Ada jurang lebar antara angka di kertas dan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat Aceh," tegas Nur kepada Dialeksis, Selasa (3/6/2025).
Dia memperkuat pernyataannya dengan beberapa poin substansial, seperti kontradiksi dengan Kondisi Fiskal dan Ketenagakerjaan.
"Bagaimana mungkin impor, terutama migas, melonjak tinggi sementara Provinsi Aceh justru mengalami defisit anggaran yang terus membesar dan tingkat pengangguran yang meningkat tanpa kendali? Pemerintah Aceh belum menunjukkan solusi kongkrit untuk kedua masalah mendasar ini. Data impor fantastis ini tidak sejalan dengan realitas ekonomi masyarakat yang masih berjuang,” ungkapnya.
Catatan lain dari Forbina yakni tuntutan verifikasi dan transparansi,"Klaim nilai impor gas yang sangat besar ini wajib diverifikasi secara independen, tidak hanya oleh BPS, tetapi terutama oleh Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Publik berhak mengetahui detail transaksi, harga, dan pihak-pihak yang terlibat. Apakah nilai ini mencerminkan harga pasar yang wajar?"
Tidak luput dari pencermatan Forbina terjadinya kesenjangan data produksi dengan data impor, menurut Muhammad Nur,"Ini yang sangat meragukan. Kami memiliki akses ke data produksi migas di Aceh yang tercatat di BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh) dan SKK Migas. Jika impor gas dalam volume besar terjadi, seharusnya ada korelasi yang jelas dengan kebutuhan atau kekurangan produksi lokal. Namun, data produksi yang ada tidak menunjukkan adanya kekosongan yang drastis yang membutuhkan impor sebesar itu. Dari mana kebutuhan ini muncul? Ini harus dijelaskan dengan transparan,” jelasnya.
Dari realitas tersampaikan tersebut, Forbina memunculkan pertanyaan dasar dan kecurigaan,"Pertanyaan mendasarnya: untuk kepentingan siapa sebenarnya impor besar-besaran ini? Apakah benar untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri Aceh yang belum terdokumentasi dengan baik, ataukah ini lebih menguntungkan segelintir pelaku bisnis di sektor migas? Jangan sampai publik dibodohi dengan statistik megah yang tidak memiliki bukti dan manfaat nyata di tingkat akar rumput," tanyanya.
Selanjutnya sikap dari Forbina mempertanyakan bukan hanya validitas datanya, tetapi lebih penting lagi.
“Apa efek ekonomi riil dari aktivitas impor ini bagi kemaslahatan masyarakat Aceh secara luas? Apakah ini menciptakan lapangan kerja, menekan harga, atau justru hanya menjadi permainan angka dan keuntungan bagi pihak tertentu? Data harus menjadi alat untuk perbaikan, bukan alat untuk mengaburkan masalah,” ujarnya.
Nur menegaskan bahwa Forbina mendesak pemerintah pusat dan daerah, beserta lembaga terkait seperti BPKA dan SKK Migas, untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai asal-usul, tujuan, dan dampak sesungguhnya dari lonjakan impor migas ini.
"Publik Aceh berhak mendapatkan jawaban yang jelas, bukan sekadar deretan angka yang terkesan janggal dan tidak mencerminkan kesejahteraan mereka. Kami meminta pertanggungjawaban dan verifikasi menyeluruh atas data ini, serta kebijakan yang benar-benar berpihak pada pemulihan ekonomi rakyat Aceh," pungkas Muhammad Nur menutup pernyataannya kepada Dialeksis.