Xi Jinping Kemungkinan Tolak Undangan Pelantikan Trump
Font: Ukuran: - +
Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump bersama Presiden China Xi Jinping. Foto: AP Photo/Susan Walsh
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Presiden China Xi Jinping diperkirakan tidak akan memenuhi undangan Donald Trump untuk menghadiri pelantikannya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025. Para ahli menilai, undangan tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap hubungan kedua negara yang semakin kompetitif, terutama dengan pergantian kekuasaan di Gedung Putih.
Sekretaris Pers Trump, Karoline Leavitt, mengonfirmasi pada Kamis (12/12/2024) bahwa undangan resmi telah disampaikan kepada Xi Jinping. Namun, Kedutaan Besar China di Washington menyatakan belum memiliki informasi lebih lanjut terkait hal tersebut.
Menurut pengamat, kecil kemungkinan Xi Jinping akan hadir di Washington bulan depan.
“Bisakah Anda membayangkan Xi Jinping duduk di luar ruangan di Washington D.C. pada bulan Januari, di depan podium, dikelilingi oleh anggota Kongres yang kritis, sambil menyaksikan Donald Trump memberikan pidato pelantikannya?” ujar Danny Russel, mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, seperti dikutip dari Associated Press, Minggu (15/12/2024).
Russel, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden untuk Keamanan Internasional dan Diplomasi di Asia Society Policy Institute, menyebutkan bahwa Xi Jinping tidak akan membiarkan dirinya direndahkan menjadi “tamu biasa” dalam perayaan kemenangan seorang pemimpin asing, terutama Presiden AS.
Yun Sun, Direktur Program China di Stimson Center, lembaga pemikir berbasis di Washington, juga menyatakan bahwa langkah tersebut tidak sesuai dengan protokol dan tradisi China.
“Tidak ada preseden bagi seorang pemimpin China untuk menghadiri pelantikan Presiden AS. Saya rasa China tidak akan mengambil risiko itu,” ujar Sun.
Salah satu risiko yang diidentifikasi adalah potensi kehadiran pejabat Taiwan dalam pelantikan tersebut. Pada 2021, diplomat senior Taiwan di AS menghadiri pelantikan Presiden Joe Biden, langkah yang dianggap Beijing sebagai pelanggaran “garis merah”.
Selain itu, ancaman Trump untuk memberlakukan tarif hingga 60 persen pada barang-barang China dapat memperburuk situasi.
“Xi Jinping akan terlihat seperti orang bodoh jika memilih untuk hadir, dan hal itu tidak dapat diterima oleh Beijing,” kata Sun.
Pejabat China juga dikenal sangat memperhatikan kehormatan dan keamanan pemimpin mereka saat bepergian ke luar negeri. Russel menyebutkan bahwa setiap kunjungan pemimpin China ke Washington biasanya diperlakukan sebagai kunjungan kenegaraan lengkap dengan segala protokolnya.
Menurut Russel, perencanaan kemungkinan sudah dilakukan untuk pertemuan langsung antara Trump dan Xi Jinping dalam waktu dekat.
“Trump lebih suka bertemu tatap muka dengan pemimpin asing, terutama rival utama. Beijing mungkin percaya mereka dapat memperoleh kesepakatan yang lebih baik melalui pertemuan langsung dengan Trump,” ujar Russel.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih diperkirakan akan memperburuk persaingan antara AS dan China. Trump telah menunjuk beberapa tokoh yang keras terhadap China dalam kabinetnya, termasuk Senator Marco Rubio sebagai Menteri Luar Negeri dan Mike Waltz sebagai Penasihat Keamanan Nasional.
China mengadopsi pendekatan “wait-and-see”, namun menyatakan siap untuk membalas jika AS menaikkan tarif atau mengambil langkah tidak ramah lainnya. Yun Sun menegaskan bahwa undangan Trump tidak mencerminkan perubahan kebijakan yang lebih bersahabat terhadap China.
“Meskipun Trump terkesan kooperatif saat mengunjungi China pada 2017, setahun kemudian dia memulai perang dagang. Kami sudah pernah melihat pola ini sebelumnya,” kata Sun.
Bagi Trump, tidak ada kontradiksi antara pendekatan yang bersifat menggoda dan mengancam. Namun, bagi China, hal ini justru dianggap sebagai inkonsistensi yang memerlukan kehati-hatian agar tidak dimanfaatkan oleh Trump, baik melalui pesan bersahabat maupun bermusuhan.