Tentara Myanmar Terpaksa Kejam Supaya Keluarga Aman
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sejumlah tentara Myanmar dilaporkan risih dengan perintah membunuh warga sipil yang dicurigai mengikuti demo menentang kudeta.
Meski begitu, mereka tidak bisa berbuat banyak karena khawatir junta militer menyakiti keluarga mereka kalau nekat bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil (CDM).
"Itulah situasinya sekarang. Mereka yang tinggal di kompleks militer pada dasarnya telah ditawan. Mereka (junta militer) menggunakan anggota keluarga untuk mengawasi para tentara sehingga mereka tidak dapat bertindak dengan bebas. Jika ada tentara yang ingin lari, dia harus membawa serta keluarganya," kata seorang tentara, Kapten Lin Htet Aung, yang memilih bergabung dengan kelompok oposisi.
Meski kekhawatiran itu terus muncul, tetapi ada sejumlah perwira militer Myanmar yang nekat lari dari tugas (desersi). Mereka menghindari bertugas di bawah rezim yang sejauh ini sudah merenggut nyawa lebih dari 700 orang, sejak merebut kekuasaan pada 1 Februari, seperti dilansir Myanmar Now, Kamis (15/4).
Dalam sebulan terakhir, empat tentara, termasuk seorang kapten dari Divisi Infanteri Ringan 77 yang diterjunkan menghadapi pedemo di Yangon, memilih bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.
Seorang kapten yang dirahasiakan identitasnya dan berdinas di Unit Infanteri Batalion 528 di bawah Komando Wilayah Segitiga di kota Mong Ping negara bagian Shan, mengatakan banyak prajurit tidak nyaman dengan perintah junta.
"Mereka tahu ini tidak adil, tetapi mereka harus menjaga keluarga mereka. Mereka menyadari ketidakadilan dan saya yakin mereka merasa tidak nyaman karenanya. Namun mereka harus menutup mata," ujarnya.
Sekarang, para tentara yang membelot bersembunyi di wilayah yang dikuasai milisi etnis. Dia memperkirakan sekitar 75 persen tentara Myanmar bakal desersi jika keluarga sudah dijamin aman dan mendapat perlindungan.
Menurut pengakuan istri seorang perwira militer yang ditempatkan di Mandalay, sebelum kudeta terjadi pergerakan anggota keluarga tentara dibatasi, terutama jika mereka tinggal di pangkalan militer. Namun, sejak kudeta, situasinya menjadi jauh lebih buruk.
"Sudah dua pekan sejak terakhir kali saya berhubungan dengannya," kata perempuan yang identitasnya dirahasiakan itu.
"Mereka tidak bisa keluar kecuali untuk tujuan keamanan. Mereka berbaris setiap siang dan malam untuk menyebutkan nama mereka, karena ada yang membelot," lanjut dia.
Dia tidak tinggal di pangkalan militer, sehingga pergerakannya sulit dipantau militer. Namun, dia dipaksa menyerahkan dua nomor telepon yang sebelumnya dia gunakan.
"Saya tidak pernah tinggal di kompleks militer, jadi dia (suami) tidak pernah benar-benar memberi tahu saya apa pun secara mendetail, karena dia tidak ingin mendapat masalah. Namun, dia mengatakan mereka mengancamnya, menanyakan apakah dia ingin promosi atau satu atau dua tahun penjara. Mereka telah mengatakan bahwa saya menghalangi prospeknya," kata perempuan itu.
Menurut istri perwira itu tidak semua tentara kecewa dengan rezim tersebut. Masih banyak yang percaya dengan apa yang dikatakan para jenderal, karena minim akses berita dari media massa yang tidak dikendalikan oleh militer.
"Tidak ada akses internet dan mereka percaya bahwa semua yang mereka lihat di Myawaddy adalah nyata. Mereka benar-benar yakin kudeta ini dilakukan karena kecurangan pemilu dan bahwa akan ada pemilihan lain dalam satu tahun untuk mengalihkan kekuasaan," katanya.
Selama kunjungan ke Akademi Militer di kota Yamethin di wilayah Mandalay pada akhir pekan lalu, Wakil Junta Militer, Jenderal Soe Win, juga memperingatkan para tentara dan anggota keluarga mereka supaya tidak macam-macam.
"Hanya pergi ke mana harus pergi, hanya membahas apa yang seharusnya didiskusikan, hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, dan hanya bergaul dengan orang yang seharusnya bergaul dengannya," kata Soe Win.
Wakil Komandan Milisi Persatuan Nasional Karen (KNU), Saw Baw Kyaw Heh, mengatakan dari pengakuan tentara yang ditangkap baru-baru ini, mereka mengaku hanya diberi perintah tanpa dukungan atau pengawasan apa pun dari perwira senior mereka. Mereka juga benar-benar terputus dari dunia luar.
"Mereka tidak memiliki kontak dengan keluarga, tidak ada akses ke media sosial, dan tidak ada keuntungan. Sampai batas tertentu, ini mempengaruhi kesehatan mental mereka," kata Kyaw Heh.[CNN Indonesia]