kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Saling Ancam, Hubungan Arab & AS KIan Memanas

Saling Ancam, Hubungan Arab & AS KIan Memanas

Selasa, 05 Mei 2020 10:03 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: REUTERS/Jonathan Ernst


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Hubungan antaraAmerika Serikat dan Arab Saudi tak selalu mesra. Belakangan, tensi relasi yang terbangun sejak puluhan tahun lalu itu memanas. Apa yang terjadi? 

Semua tak lepas dari pemangkasan produksi minyak yang dilakukan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang dipimpin Arab Saudi bersama Rusia dan beberapa negara lainnya atau yang disebut OPEC+ pada pertengahan April lalu. 

Mengutip laporan Reuters, ada ancaman penarikan pasukan AS dari Arab Saudi jika OPEC tidak mau memangkas produksi minyak. Presiden AS, Donald Trump diketahui memberi ultimatum kepada Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) bahwa ia tidak akan berusaha menghentikan anggota parlemen AS dari meloloskan UU menarik pasukan AS dari Saudi, kecuali OPEC+ mulai memangkas produksi minyaknya

Ultimatum itu dilakukan Trump pada 2 April atau 10 hari sebelum Arab Saudi mengumumkan OPEC+ sepakat memangkas produksi minyak mentah sebesar 9,7 juta barel per hari, atau setara 10% dari total supply minyak mentah global. Hal itu diungkapkan empat sumber Reuters yang mengetahui dengan persoalan ini, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (1/5/2020). 

Ultimatum Presiden Trump tersebut hingga dituruti oleh Putra Mahkota MBS menunjukkan betapa penting kehadiran militer AS di kawasan kaya minyak tersebut.

Reuters melaporkan, saat ini ada sekitar 300.000 tentara AS di daratan Saudi, dan jalur ekspor minyak mentah juga dilindungi oleh Armada Kelima Angkatan Laut AS (NAVY). 

Hubungan AS-Saudi sudah terjalin sejak 1945, tepatnya saat Presiden AS Franklin D. Roosevelt bertemu dengan Raja pertama Saudi Abdul Aziz bin Saud. Mereka mencapai kesepakatan AS akan melindungi Saudi. Sebagai gantinya Negeri Paman Sam memiliki akses ke cadangan minyak mentah Saudi. 

Saudi bergantung pada persenjataan militer dan kehadiran pasukan AS untuk menghadapi rival-rivalnya di Timur Tengah. 

Bukti rentannya Saudi terlihat pada bulan September tahun lalu, ketika drone menyerang ladang minyak terbesar Arab Saudi di Hijra Khurais dan fasilitas pemrosesan minyak mentah di dunia di Abqaiq. Serangan dilakukan Sabtu (14/9/2019) pagi sekitar pukul 04.00 waktu setempat.

Serangan itu menyebabkan kebakaran di dua fasilitas milik perusahaan minyak Aramco.

Fasilitas Khurais yang berjarak 250 kilometer dari Dhahran, menjadi lokasi ladang minyak utama. Sedangkan fasilitas Abqaiq yang berlokasi 60 kilometer sebelah barat daya kantor utama Aramco di Dhahran, merupakan lokasi pabrik pengolahan minyak terbesar milik Saudi Aramco.

Pemberontak Houthi mengklaim serangan itu. Akan tetapi, Saudi menyatakan Iran ada di baliknya. Kurang lebih empat hari setelah serangan tersebut Saudi menggelar konferensi pers untuk membuktikan Iran ada dibalik serangan tersebut, dengan menunjukkan drone dan puing-puing rudal yang menghancurkan fasilitas minyak Aramco.

"Kami telah menyaksikan pertumbuhan dari agresi Iran," kata Juru Bicara Saudi Kolonel Turki al-Maliki sebagaimana dilansir dari CNBC International, Rabu (18/9/2019).

Saudi menunjukkan bukti fasilitas minyaknya diserang 25 drone dan rudal. Drone itu diindikasikan sebagai Unmanned Aerial Vehicle (UAV/pesawat tanpa awak) yang diproduksi Iran.

Ahli senjata mengamini tudingan Saudi dengan mengatakan nomor seri beberapa rudal yang dipakai pemberontak Houthi memang berasal dari Iran. Houthi dikenal dekat dengan Iran dan mendapat dukungan dana dari Teheran.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, melalui akun Twiter-nya mengatakan Iran terlibat dalam 100 serangan ke Saudi, sementara Presiden Iran Hassan Rouhani berdiplomasi. 

Bisa dilihat, bahkan dengan kehadiran militer AS, Saudi masih belum aman dari serangan rivalnya. Apalagi jika AS sampai menarik pasukannya, tentunya posisi Saudi menjadi sangat rentan. 

Dengan demikian, Saudi yang sebelumnya enggan memangkas produksi minyak mentah, bahkan malah melakukan perang harga dengan Rusia yang membuat harga minyak jeblok, akhirnya mau menuruti Presiden Trump untuk memangkas produksi minyak mentah. (Im/CNBCIndonesia)





Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda