Kekerasan Meningkat di Rakhine, 45 Ribu Warga Rohingya Mengungsi
Font: Ukuran: - +
Lebih dari satu juta orang Rohingya telah meninggalkan Negara Bagian Rakhine, termasuk ratusan ribu orang pada tahun 2017, dan sebagian besar tinggal sebagai pengungsi di Cox’s Bazar di Bangaladesh. [Foto: AFP]
DIALEKSIS.COM | Dunia - Meningkatnya kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar yang dilanda konflik, telah memaksa 45.000 minoritas Rohingya lainnya untuk melarikan diri, PBB memperingatkan, di tengah tuduhan pemenggalan kepala, pembunuhan dan pembakaran properti.
Bentrokan telah mengguncang Negara Bagian Rakhine sejak pemberontak Tentara Arakan (Arakan Army/AA) menyerang pasukan pemerintah militer yang berkuasa pada bulan November, mengakhiri gencatan senjata yang sebagian besar telah dilaksanakan sejak kudeta militer pada tahun 2021.
Pertempuran tersebut terjadi di tengah-tengah kelompok minoritas Muslim, lama dianggap orang luar oleh mayoritas penduduk beragama Buddha, baik dari pihak pemerintah maupun pihak pemberontak.
AA mengatakan pihaknya memperjuangkan otonomi yang lebih luas bagi penduduk etnis Rakhine di negara bagian tersebut, yang juga merupakan rumah bagi sekitar 600.000 anggota minoritas Muslim Rohingya yang teraniaya, yang memilih untuk tetap tinggal di negara tersebut.
Lebih dari satu juta orang Rohingya berlindung di negara tetangga Bangladesh setelah melarikan diri dari Rakhine, termasuk ratusan ribu orang pada tahun 2017 saat tindakan keras yang dilakukan oleh militer sebelumnya dan kini menjadi subyek kasus genosida PBB di pengadilan.
Juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Elizabeth Throssell mengatakan kepada wartawan di Jenewa pada hari Jumat (24/5/2024) bahwa puluhan ribu warga sipil telah mengungsi dalam beberapa hari terakhir akibat pertempuran di Kota Buthidaung dan Maungdaw.
“Diperkirakan 45.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri ke daerah di Sungai Naf dekat perbatasan dengan Bangladesh, untuk mencari perlindungan,” katanya, seraya mendesak perlindungan warga sipil sesuai dengan hukum internasional.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk mendesak Bangladesh dan negara-negara lain “untuk memberikan perlindungan efektif kepada mereka yang mencari perlindungan, sejalan dengan hukum internasional, dan untuk memastikan solidaritas internasional dengan Bangladesh dalam menampung pengungsi Rohingya di Myanmar”.
Namun Tanvir Chowdhury dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Cox’s Bazar di Bangladesh, mengatakan bahwa dengan lebih dari satu juta warga Rohingya yang sudah berada di negara tersebut, pemerintah enggan menerima lebih banyak pengungsi, sehingga membuat para pengungsi tersebut terjebak di sisi perbatasan Myanmar.
James Rodehaver, kepala tim kantor hak asasi manusia di Myanmar, menggambarkan situasi mengerikan yang membuat banyak orang melarikan diri.
Dia mengatakan timnya telah menerima kesaksian dan melihat gambar satelit, video online dan gambar yang menunjukkan bahwa Kota Buthidaung “sebagian besar terbakar”.
Dalam minggu-minggu menjelang pembakaran Buthidaung, Rodehaver mengatakan kantor hak asasi manusia telah mendokumentasikan serangan baru terhadap warga sipil Rohingya baik yang dilakukan oleh AA maupun militer di Rakhine utara, termasuk melalui serangan udara.
Tim tersebut telah mendokumentasikan “setidaknya empat kasus pemenggalan kepala”, katanya, seraya menambahkan bahwa mereka telah menentukan dengan tingkat keyakinan yang tinggi bahwa hal tersebut dilakukan oleh AA.
Ada juga tuduhan sebelumnya bahwa Rohingya digunakan sebagai tameng manusia.
Chowdhury dari Al Jazeera mengatakan bahwa Rohingya “terjebak di tengah-tengah”.
“Mereka berada dalam situasi yang berbahaya,” katanya, seraya menambahkan bahwa pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar baru-baru ini mengatakan kepadanya bahwa AA dan militer telah berusaha merekrut mereka untuk berperang.
“Mereka diancam jika tidak bergabung maka desanya akan dibakar,” ujarnya. [Aljazeera]