Kabar Buruk Kebijakan IMF untuk Indonesia, Simak!
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan pada 2024. Lembaga keuangan global ini memperkirakan Indonesia akan tumbuh 5% pada 2024, sama dengan proyeksi tahun ini.
Dalam laporan terbarunya World Economic Outlook edisi Juli yang berjudul Near-Term Resilience, Persistent Challenges, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,0% untuk tahun ini. Proyeksi IMF 0,2% lebih tinggi dibandingkan proyeksi pada April (2,8%). IMF juga masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di angka 3,0% untuk 2024.
IMF memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5% pada tahun ini. Proyeksi ini tidak berubah dibandingkan pada proyeksi April 2023. Namun, IMF menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5% pada 2024, lebih rendah dibandingkan proyeksi pada April (5,1%).
Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas menjelaskan kawasan Asia akan tumbuh kuat 5,3% pada tahun ini tetapi negara-negara penghasil komoditas akan 'menderita' karena melemahnya ekspor.
"Negara emerging dan berkembang di Asia akan tumbuh kuat 5,3%. Namun, banyak produser komoditas yang akan menderita karena penurunan penerimaan pendapatan ekspor," tutur Gourinchas, dalam konferensi pers, dikutip dari situs IMF, Kamis (27/7/2023).
Meski tidak spesifik menyebut Indonesia secara langsung, tetapi Tanah Air telah dikenal sebagai negara penghasil komoditas andalan mulai dari batu bara hingga minyak sawit mentah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengungkapkan kewaspadaannya terkait dengan pelemahan ekonomi global.
"Hingga kuartal II-2023 nampaknya berbagai indikator Indonesia masih cukup positif, namun tanda-tanda terjadinya rembesan dari pelemahan global sudah mulai terlihat dari beberapa indikator kita,"
Rembesan yang dimaksud terjadi pada neraca eksternal Indonesia, yakni neraca perdagangan. Diketahui dalam dua tahun terakhir, ekspor Indonesia alami peningkatan tajam akibat lonjakan harga komoditas. Neraca perdagangan juga berhasil surplus selama 38 bulan beruntun.
"Namun kini karena ekonomi dunia melemah, permintaan ekspor melemah sehingga permintaan barang kontraksi," tegasnya.
"Ekspor sampai Juni US$ 20,61 miliar ini kontraksi atau turun 21,2% dibandingkan tahun lalu," ungkapnya.
Impor juga turun tajam pada Juni 2023. Menurut Sri Mulyani, penyebabnya adalah industri manufaktur yang khususnya berorientasi ekspor mengalami tekanan pelemahan permintaan global. "Jadi pasti terpengaruh dengan potensi demand yang lebih kecil," kata Sri Mulyani.
Efek pelemahan di neraca perdagangan ini sudah terpancar dalam penerimaan pajak. Tren penerimaan pajak mengalami penyusutan sejak awal tahun hingga semester I-2023. Penerimaan pajak memang tercatat meningkat, namun peningkatannya tidak setinggi bulan-bulan sebelumnya.
Kemenkeu melaporkan penerimaan pajak mencapai Rp970,20 triliun pada semester I-2023. Angka ini naik sebesar 56,47% dari target APBN. Akan tetapi, jika dilihat bulan per bulan, pertumbuhannya tidak lagi double digit seperti awal tahun.
"Awal tahun masih tumbuh 48% (Januari), kalau kita lihat secara kumulatif, kalau kita lihat sekarang sudah di 9,9% (Juni)," kata Sri Mulyani.
Salah satu penyebab penurunan penerimaan pajak ini adalah penurunan harga komoditas.