kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Ini Kebijakan Joe Biden Terhadap Korut

Ini Kebijakan Joe Biden Terhadap Korut

Sabtu, 23 Januari 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Presiden AS, Joe Biden. [AFP via Getty Images]

DIALEKSIS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan bekerja sama dengan mitra regionalnya untuk menetralisir ancaman Korea Utara (Korut). Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan kepada wartawan.

"Seperti yang kita miliki secara historis, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan mitra di kawasan untuk menentukan jalan ke depan dan bekerja sama dalam pencegahan," kata Psaki.

“Kami jelas memiliki kepentingan vital untuk menghalangi Korea Utara,” imbuhnya seperti dikutip dari Sputnik, Sabtu (23/1/2021).

Mitra tersebut termasuk Jepang dan Korea Selatan (Korsel).

Menurut laporan Reuters bulan lalu Biden kemungkinan akan terus menggunakan alat paksaan diplomatik yang disukai Trump - sanksi ekonomi - terhadap musuh AS, termasuk Korut.

Selama kampanye pemilihan presiden 2020, Biden berusaha menjauhkan diri dari pemulihan hubungan yang dipakai Donald Trump dengan Pemimpin Korut Kim Jong-un.

Trump tercatat beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kim Jong-un untuk meyakinkan negara sosialis tersebut agar menghentikan program senjata nuklirnya sebagai imbalan pencabutan beberapa sanksi. Pada akhirnya, Trump tidak mau memberikan keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembongkaran beberapa fasilitas uji coba nuklir Korut, dan pembicaraan berujung pada kegagalan.

Selama debat yang disiarkan televisi dengan Trump pada Oktober 2020, Biden membandingkan Kim Jong-un dengan diktator fasis Jerman Adolf Hitler. Dia mengatakan dia hanya akan setuju untuk bertemu jika Kim Jong-un setuju untuk mengurangi persenjataan nuklir negaranya. Negara itu menguji perangkat nuklir pertamanya pada tahun 2006 dan diyakini memiliki kurang dari 40 hulu ledak nuklir. Tidak diketahui apakah mereka telah membuat miniatur yang memadai dari salah satu hulu ledak itu agar sesuai dengan rudal balistik antarbenua (ICBM).

Sebelumnya, pada November 2019, Biden mengkritik tajam kebijakan Trump setelah Korut menguji dua rudal jarak pendek, menyebut kebijakan itu serangkaian kegagalan diplomatik yang spektakuler dan menyerang Kim Jong-un sebagai "diktator pembunuh." Dia mengatakan Trump salah memperlakukan Kim Jong-un sederajat saat keduanya bertemu di Hanoi, Vietnam, dan di Singapura.

Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri Korut menyebut Biden kehilangan kualitas dasar sebagai manusia dan menuduhnya rakus akan kekuasaan dalam pernyataan pedas yang diterbitkan oleh kantor berita milik Korut, KCNA.

"Anjing rabies seperti Biden dapat melukai banyak orang jika mereka dibiarkan lepas kendali. Mereka harus dipukul sampai mati dengan tongkat, sebelum terlambat," tambah pernyataan itu.

"Melakukan hal itu akan bermanfaat juga bagi AS," sambung pernyataan tersebut.

Pada parade militer di Ibu Kota Pyongyang pekan lalu, Korut memamerkan sejumlah besar misil, termasuk rudal balistik yang diluncurkan oleh kapal selam yang sebelumnya tidak diketahui oleh pengamat Barat. ICBM besar lainnya muncul dalam parade Oktober 2020. Namun, belum ada uji coba roket semacam itu yang dilakukan oleh Korut sejak mengadopsi pembekuan uji coba sepihak pada tahun 2017.

AS secara teknis tetap berperang dengan Korut, karena Perang Korea 1950-53 hanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian perdamaian permanen. Perang tersebut menewaskan sekitar tiga juta orang, sebagian besar dari mereka adalah warga Korea. Gencatan senjata membentuk zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan, dan AS mempertahankan garnisun pasukannya di Selatan untuk mencegah kemungkinan invasi oleh Korut.

Pada tahun 2018, kedua Korea menandatangani deklarasi akhir perang sebagai bagian dari pemulihan hubungan bersejarah mereka sendiri. Tetapi langkah lebih lanjut menuju perdamaian berantakan di tengah keberatan AS, dan hubungan antara Seoul dan Pyongyang menjadi sangat dingin. Namun, akhir tahun lalu, Presiden Korsel Moon Jae-in, yang menandatangani kesepakatan 2018 dengan Kim Jong-un, menekan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan AS untuk membantu mengakhiri konflik selama 70 tahun itu dengan membuat pernyataan perang berakhir. (SINDOnews)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda