kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Diklaim Alami Masalah Fasilitas Nuklir Iran, Namun Tak Kontaminasi Manusia

Diklaim Alami Masalah Fasilitas Nuklir Iran, Namun Tak Kontaminasi Manusia

Minggu, 11 April 2021 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Fasilitas nuklir Iran (Foto: Planet Labs Inc. via AP)


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Fasilitas nuklir bawah tanah Natanz, Iran dilaporkan mengalami masalah yang melibatkan jaringan distribusi listrik pada Minggu (11/4). Insiden itu terjadi hanya beberapa jam setelah Teheran meluncurkan sentrifugal canggih yang dapat mempercepat pengayaan uranium di situs tersebut.

Seperti dilansir The Associated Press, Minggu (11/4/2021) televisi pemerintah mengatakan insiden itu terjadi di salah satu situs paling aman di Teheran, ditengah kondisi negosiasi kesepakatan nuklir yang terus luntang-lantung.

"Kamalvandi mengatakan untungnya insiden itu tidak menyebabkan kerusakan atau kontaminasi pada manusia," kata seorang pembawa acara TV mengutip juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, Behrouz Kamalvandi.

Natanz, fasilitas yang sebelumnya menjadi sasaran virus komputer Stuxnet, sebagian besar dibangun di bawah tanah untuk menahan serangan udara musuh. Pada 2002, fasilitas itu menjadi titik nyala ketakutan Barat terkait program nuklir Iran, dimana foto-foto satelit menunjukkan Iran membangun fasilitas sentrifugal bawah tanahnya di lokasi itu, sekitar 200 kilometer (125 mil) selatan ibu kota Teheran.

Natanz mengalami ledakan misterius pada Juli tahun lalu yang disebut pihak berwenang sebagai sabotase.

Israel, musuh bebuyutan Iran, dicurigai melakukan serangan di lokasi tersebut, serta melancarkan serangan lainnya, karena negara-negara kekuatan dunia bernegosiasi dengan Teheran di Wina mengenai kesepakatan nuklirnya.

Fasilitas nuklir bawah tanah Natanz adalah inti dari program pengayaan uranium Iran dan dipantau oleh inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), pengawas nuklir PBB.

Iran dan Amerika Serikat telah mencoba menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 atau yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA). Pada 2018, AS meninggalkan JCPOA dan memberlakukan sanksi-sanksi baru dalam kebijakan 'tekanan maksimum' untuk Iran.

Sebagai reaksi terhadap sanksi AS, Iran melanggar banyak batasan yang diberlakukan oleh perjanjian tersebut. Di bawah kepemimpinan presiden Joe Biden, AS berupaya kembali pada kesepakatan nuklir itu. Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyatakan bahwa AS berupaya membuat kesepakatan nuklir itu 'lebih lama dan lebih kuat'.

Dalam perundingan tidak langsung di Wina, Austria, AS menyampaikan pernyataan terbarunya dengan mengatakan akan mencabut sanksi untuk Iran. Iran sebelumnya menegaskan tidak akan mengurangi pengayaan uraniumnya atau meninggalkan pengembangan logam uranium -- keduanya melanggar JCPOA -- sampai AS mencabut semua sanksi yang diberlakukan sejak tahun 2018.

Negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman dan Prancis, yang terlibat dalam JCPOA sebelumnya menyebut pengayaan uranium sebesar 20 persen dan pengembangan logam uranium tidak memiliki jaminan penggunaan sipil yang kredibel [detik.com].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda