Dibalik Penobatan Kaisar Jepang, Mencuat Kontroversi Agama Vs Negara
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sentimen anti-kerajaan nyaris tak pernah terdengar di Jepang. Namun kini, kontroversi mencuat ketika pemerintah memutuskan memakai kas negara untuk membiayai prosesi penahbisan Kaisar Naruhito.
Melalui sebuah upacara pada Selasa (22/10/2019) besok, Naruhito akan menerima takhta secara resmi. Sekitar satu bulan kemudian, Naruhito kemudian akan menjalani ritual pengucapan syukur sakral yang dikenal dengan nama Daijosai.
Pemerintah menggelontorkan dana jutaan dolar hanya untuk upacara besok, di mana para pemimpin dunia akan hadir, termasuk Wakil Presiden Indonesia, Ma'ruf Amin.
Menurut para kritikus, kedua upacara tersebut merupakan ritual keagamaan. Pendanaan dari duit publik tentu melanggar konstitusi yang menetapkan pemisahan urusan agama dan negara.
"Ritual Daijosai tak lebih dari sekadar upacara Shinto. [Pendanaan upacara itu] melanggar prinsip pemisahan politik dari agama dan bertentangan dengan kebebasan kepercayaan," demikian pernyataan kelompok Protestan, Uni Gereja Kristen di Jepang.
Akar permasalahan ini sendiri sebenarnya harus digali secara mendalam hingga sampai ke sejarah peranan seorang kaisar di Jepang pada masa Perang Dunia II.
Di bawah konstitusi Jepang pada masa perang, kaisar merupakan sosok "suci dan tidak dapat diganggu gugat." Pemegang takhta juga didaulat sebagai komandan tertinggi tentara dan angkatan bersenjata.
Namun setelah kekalahan Jepang di PD II, sejumlah pihak menganggap peran keluarga kerajaan seharusnya dilunturkan. Setelah itu, pasukan sekutu AS menghapus semua kekuatan politik kaisar dan membatasi peran kerajaan jadi sekadar simbol negara.
Konstitusi baru Jepang pun menekankan bahwa "negara harus menjauh dari pendidikan keagamaan atau kegiatan keagamaan lainnya."
Pergeseran kebijakan ini pun mulai menjadi momok serius ketika kaisar Jepang selama masa PD II, Hirohito, mangkat pada 1989.
Sejumlah gugatan dilayangkan oleh berbagai pihak karena pemerintah Jepang masih menggunakan uang negara untuk membiayai prosesi pemakaman Hirohito.
Gugatan serupa kembali digaungkan ketika publik mengetahui bahwa negara juga menggelontorkan dana untuk penobatan Akihito sebagai pewaris takhta. Namun kemudian, semua gugatan tersebut dibatalkan.
Salah satu pengadilan menetapkan bahwa tak ada dasar yang menunjukkan klaim bahwa upacara-upacara tersebut berdasarkan ajaran keagamaan. Menurut pengadilan, prosesi tersebut merupakan "konvensi sosial" yang tak berkaitan dengan agama.
Sejumlah pengamat pun meragukan kemampuan para kritikus untuk mempertahankan argumen mereka dalam pengadilan, apalagi masyarakat sangat menerima Naruhito.
Meski demikian, seorang profesor literasi modern, Satoshi Ukai, menyatakan bahwa sejarah Jepang tersebut justru seharusnya menguatkan tekad para aktivis untuk tetap menentang pendanaan penobatan kaisar tersebut.
"Kasus Jepang berbeda dengan kasus-kasus di negara lain. Ajaran Shinto yang dianut Jepang kerap digunakan sebagai dasar untuk membenarkan perang invasi dan kolonisasi," ucap Satoshi kepada AFP.(red/cnnindonesia)