Berikut Ini Negara Anti LGBT, Indonesia?
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi simbol bendera LGBT. Foto: MgRol112
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Keputusan Thailand melegalkan pernikahan sesama jenis baru-baru ini telah memicu gelombang diskusi global tentang hak-hak LGBT. Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengambil langkah progresif ini, Thailand telah meletakkan batu loncatan bagi perubahan sosial di kawasan. Namun, di tengah euforia tersebut, sejumlah negara justru memilih untuk mempertahankan pendirian mereka menentang praktik ini.
Nigeria, negeri di jantung Afrika, tetap kukuh dengan sikapnya. Ancaman hukuman 14 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pelaku pernikahan sesama jenis menjadi bukti ketegasan negara ini. "Ini bukan sekadar isu hukum, tapi juga tentang nilai-nilai yang kami junjung tinggi," ujar seorang pejabat Nigeria yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, di belahan dunia lain, Iran menunjukkan sikap yang tak kalah tegas. Dua aktivis LGBT yang menyuarakan pernikahan sesama jenis harus berhadapan dengan vonis hukuman mati. "Hukum syariat adalah landasan kami, dan kami tidak akan berkompromi," tegas juru bicara pemerintah Iran dalam sebuah konferensi pers.
Yaman, negara yang tengah dilanda konflik, juga turut ambil bagian dalam penolakan ini. Kelompok milisi Houthi yang menguasai sebagian wilayah negara bahkan mengeksekusi 13 orang di depan umum atas tuduhan menyebarkan aktivitas LGBT. "Ini bukan tentang kebencian, tapi tentang menjaga tatanan sosial kami," kilah seorang komandan Houthi.
Arab Saudi, dengan reputasinya yang terkenal akan ketegasan hukum syariah, juga tidak ketinggalan. Kerajaan ini masih mempertahankan ancaman hukuman mati bagi mereka yang terlibat dalam pernikahan sesama jenis. "Kami menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan agama. Ini bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan," tegas seorang pejabat senior Kerajaan Saudi.
Di tengah berbagai sikap keras ini, Indonesia memilih pendekatan yang lebih lunak namun tetap tegas. Pemerintah Indonesia menegaskan konsistensinya untuk tidak melayani perkawinan sejenis. "Kami memilih untuk fokus pada edukasi, dimulai dari unit terkecil masyarakat: keluarga," jelas seorang pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menyikapi fenomena ini, seorang pengamat hak asasi manusia internasional berkomentar, "Kita menyaksikan sebuah pertarungan nilai di panggung global. Di satu sisi ada dorongan untuk pengakuan hak-hak LGBT, di sisi lain ada keinginan kuat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional. Ini bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang identitas budaya dan sosial."
Sementara debat ini terus bergulir, dunia mengamati dengan seksama bagaimana keseimbangan antara hak asasi manusia dan nilai-nilai tradisional akan terbentuk di masa depan. Satu hal yang pasti, isu ini akan terus menjadi topik hangat dalam diskursus global untuk waktu yang lama.