kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk, Alasannya Ancaman Iran

AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk, Alasannya Ancaman Iran

Senin, 04 Januari 2021 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

[Dok. Ron Reeves via Wikimedia]


DIALEKSIS.COM - Pentagon memutuskan kapal induk Amerika Serikat (AS), USS Nimitz , tetap beroperasi di Teluk Persia atau Teluk Arab. Alasannya, karena ancaman Iran terhadap pihak Amerika termasuk Presiden Donald Trump semakin menjadi-jadi.

Keputusan terbaru Pentagon ini membatalkan keputusan sebelumnya yang menyatakan kapal induk tersebut akan pulang ke Amerika, yang oleh beberapa pejabat dibaca sebagai tanda de-eskalasi.

USS Nimitz telah berpatroli di perairan Teluk sejak akhir November, tetapi media Amerika pekan lalu mengatakan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan AS Christopher C Miller telah memerintahkan kapal tersebut untuk pulang.

The New York Times, mengutip para pejabat AS, mengatakan langkah pemulangan itu adalah bagian dari sinyal "de-eskalasi" pada Teheran untuk menghindari konflik pada hari-hari terakhir Presiden Donald Trump menjabat.

Namun, Miller mengeluarkan pernyataan yang bertentangan pada Minggu malam.

"Karena ancaman baru-baru ini yang dikeluarkan oleh para pemimpin Iran terhadap Presiden Trump dan pejabat pemerintah AS lainnya, saya telah memerintahkan USS Nimitz untuk menghentikan pemindahan rutinnya," katanya, seperti dikutip AFP, Senin (4/1/2021).

"USS Nimitz sekarang akan tetap berada di stasiun di wilayah operasi Komando Pusat AS. Tidak ada yang boleh meragukan keputusan Amerika Serikat," katanya lagi.

Pernyataan Miller muncul di saat Iran memperingati satu tahun pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani oleh serangan pesawat nirawak di Baghdad pada 3 Januari 2020.

Peringatan serangan drone Amerika di Baghdad juga diperingati selama beberapa hari terakhir oleh pendukung Iran di di Suriah, Lebanon, Yaman dan negara lain.

Trump secara sepihak menarik AS dari kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China) pada 2018. Sejak itu, pemerintah Trump meluncurkan kampanye "tekanan maksimum" terhadap Teheran dengan menerapkan kembali dan memperkuat sanksi yang melumpuhkan negara itu.

Kedua negara sudah dua kali berada di ambang perang sejak Juni 2019, terutama setelah pembunuhan Soleimani.

Beberapa hari setelah pembunuhan Soleimani, Iran meluncurkan tembakan rudal ke pangkalan Irak yang menampung tentara AS dan pasukan koalisi lainnya. Trump saat itu memilih menahan diri dengan tidak melakukan aksi militer lebih lanjut. (SINDOnews)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda