DIALEKSIS.COM | Diaspora - Tidak banyak tempat yang mampu menghadirkan kejutan, kehangatan, dan rasa kagum sekaligus dalam satu waktu. Bagi Aryos Nivada, Turki menjelma menjadi ruang penuh kesan yang sulit dilupakan. Kota tua Istanbul, dengan denyut modern dan warisan sejarahnya, menyimpan satu fragmen perjalanan yang tak sekadar wisata biasa. Dari insiden kecil yang berubah menjadi kisah besar tentang kejujuran, hingga semangkuk manti yang membuat lidah terdiam.
Kisah inspiratif ini disampaikan langsung oleh Aryos kepada redaksi Dialeksis dalam wawancara eksklusif, saat ia membagikan pengalamannya menjelajahi negeri yang terletak di persilangan benua Asia dan Eropa tersebut.
Hari itu, Aryos baru saja mendarat di Bandara Internasional Istanbul. Setelah menempuh penerbangan panjang, ia naik taksi resmi bandara menuju hotel tempatnya menginap, Ibis Istanbul Sisli. Perjalanan berlangsung nyaman, cuaca sejuk, dan mata disambut jejeran bangunan tua yang berdampingan dengan kompleks modern. Namun sesampainya di hotel, ia baru sadar: telepon genggamnya tertinggal di kursi belakang taksi.
Dalam situasi seperti itu, banyak pelancong akan panik, pasrah, atau bahkan langsung mengikhlaskan. Tapi yang terjadi kemudian justru tak terduga. Kurang dari satu jam setelah check - in, pihak hotel menerima panggilan dari perusahaan taksi. Sang sopir menemukan ponsel tersebut dan segera melaporkan ke kantor pusat. Mereka melacak alamat pengantaran terakhir, lalu kembali ke hotel. Si sopir, dengan senyum ringan dan kalimat bahasa Inggris seadanya, menyerahkan ponsel itu kepada Aryos tanpa meminta imbalan sepeser pun.
“Saya terdiam. Saya tidak bisa berkata apa-apa selain berterima kasih berkali - kali. Ini bukan cuma tentang HP yang kembali, tapi tentang integritas,” ujar Aryos, mengenang kejadian itu.
Kejadian itu bukan pengecualian. Sepanjang perjalanannya, Aryos menjumpai wajah-wajah Turki yang tak segan menolong. Seorang pedagang cinderamata di jalan kecil Sisli memotong harga hanya karena Aryos tersenyum dan bertanya dengan sopan. Seorang pria tua di halte dengan sabar menunjukkan arah menggunakan gestur tangan ketika Aryos kebingungan membaca peta. Dan setiap kali ia menyapa, hampir selalu dibalas dengan “Merhaba” hangat dan lirikan mata penuh respek.
“Kesan saya, masyarakat Turki menjunjung tinggi tamu. Mereka terbiasa dengan wisatawan, tapi tidak menjadikan keramahan mereka sebagai transaksi. Itu murni,” katanya.
Namun pesona Turki tak cuma hadir lewat etika sosial. Ia menyusup dalam aroma asap yang naik dari panggangan kebab di tepi jalan, mangkuk kecil berisi manti yang hangat dan lembut, serta lapisan renyah dan manis dari baklava yang meleleh di mulut.
Aryos menyebut ketiga kuliner itu sebagai “tiga serangkai tak terlupakan”, mencicipi kebab langsung dari negeri asalnya, merasakan manti yang lembut berpadu bumbu gurih, hingga baklava yang legit dan menggoda.
“Saya tidak menyangka akan suka manti. Rasanya lembut dan kuat bersamaan. Tapi baklava tetap juara. Rasanya membuat saya ingin menyimpan beberapa kotak di koper,” katanya sambil tersenyum.
Kawasan Sisli di Istanbul bukan sekadar titik persinggahan. Jalan - jalannya hidup hingga malam. Di satu sisi ada deretan toko oleh-oleh yang menjual magnet, keramik, hingga lampu mosaik bercahaya lembut. Di sisi lain berdiri pusat perbelanjaan modern yang memajang barang-barang bermerek internasional, banyak di antaranya sedang diskon.
“Ada yang bilang Istanbul itu Paris-nya Timur. Tapi menurut saya, ini Istanbul saja sudah cukup. Tak perlu dibandingkan. Ia punya identitasnya sendiri,” tutur Aryos.
Ia sempat membeli syal sutra buatan tangan, sepasang sepatu kulit, dan beberapa kotak baklava untuk dibawa pulang.
“Menyesal tidak membawa koper lebih besar,” ujarnya setengah berseloroh.
Tak semua perjalanan memberi kisah. Tapi Turki memberikannya kepada Aryos sebuah pengalaman yang lebih dari sekadar turisme. Di negeri yang terletak di pertemuan dua benua ini, ia menemukan simpul - simpul kemanusiaan yang menyentuh dari kejujuran, keramahan, dan penghormatan terhadap tamu. Semuanya berpadu dalam potret Istanbul yang sederhana tapi magis.
“Perjalanan ini seperti pengingat: bahwa masih banyak tempat di dunia yang menyambut kita bukan karena siapa kita, tapi karena kita manusia,” pungkasnya. [ra]