DIALEKSIS.COM | Inggris - Rasanya seperti terjun ke jurang, tercebur ke got, menabrak pagar, terlindas bus, dikejar anjing gila, lalu tersesat di jalan yang salah. Barangkali itu satu rangkaian metafora sederhana, tetapi cukup tepat menggambarkan perjalanan enam tahun meraih gelar PhD ini.
Ribuan kilometer ditempuh, puluhan hambatan datang silih berganti saat pandemi Covid-19, masalah kesehatan yang menggerogoti fisik dan mental, tanggung jawab menjaga keluarga, merawat anak yang sempat jatuh sakit, hingga kehilangan konsentrasi dan semangat menulis.
Namun di antara semua kesulitan itu, saya justru merasakan bahwa kemudahan selalu menyertai. Jika mampu dihitung, mungkin jumlah kemudahan yang Allah berikan jauh lebih banyak daripada segala kesulitan yang harus dihadapi. Ada saja jalan yang dibukakan-Nya untuk menuntun proses ini. Tulisan ini menjadi refleksi singkat dan mungkin sederhana tentang pengalaman melewati ujian viva.
Semalam, 25 November 2025, alhamdulillah menjadi hari paling bersejarah bagi lahirnya “bayi” yang saya kandung bertahun-tahun: tesis S3 yang akhirnya resmi disahkan. Dengan mengenakan sarung hitam kebanggaan, saya menjalani tiga jam ujian dari sore hingga malam waktu Indonesia untuk mempertahankan tesis yang saya susun selama bertahun-tahun.
Ada banyak masukan dan komentar dari para penguji, sehingga beberapa bagian perlu direvisi. Namun semua itu sepenuhnya wajar dalam proses Viva Voce di University of Sheffield.
Saya meneliti organisasi hibrida seperti Islamic Microfinance Organisation (IMFO) atau lembaga keuangan mikro syariah, menggunakan pendekatan teori institutional logics (IL). Salah satu kesenjangan utama dalam teori ini adalah bagaimana logika agama, atau religious logic (RL), masih belum memperoleh tempat yang signifikan dalam kajian organisasi.
RL memang dikenal sebagai salah satu “rules of the game” bersama logika lain seperti profit, komunitas, profesi, keluarga, hingga negara. Namun dalam banyak diskursus akademik, RL belum memiliki posisi setara dengan logika ekonomi atau negara.
Menariknya, viva yang saya hadapi tidak seseram bayangan saya. Pada awalnya saya dihantui rasa takut, gelisah, bahkan stres. Tetapi saat ujian dimulai, semua kecemasan itu perlahan mereda. Percakapan berubah menjadi diskusi serius yang konstruktif, penuh makna, dan menggugah intelektual.
Saya masih ingat ketika menjelaskan bahwa banyak lembaga keuangan syariah lebih terjebak pada profit logic ketimbang religious logic, padahal mereka mengusung nama “syariah”. Seharusnya, kata “syariah” menjadi pembeda hakiki. Jika orientasi religius tidak lagi menjadi ruhnya, lalu apa makna dari label tersebut? “Kalau tidak serius kembali pada RL, mungkin lebih baik disebut lembaga keuangan konvensional saja,” itu kalimat sederhana yang saya sampaikan kepada para penguji.
Diskusi semakin intens ketika para examiner ingin mendalami argumen saya: mengapa RL bisa menjadi metalogic, bagaimana ia mempengaruhi logika lainnya, serta apa perbedaan konsep tersebut dengan riset terdahulu. Mereka juga mempertanyakan kontribusi akademik apa yang saya tawarkan bagi pengembangan teori IL. Inilah percakapan yang mengisi tiga jam ujian itu”serius, mendalam, tetapi sangat memantik rasa ingin tahu.
Bagian yang secara pribadi paling menantang adalah ketika saya harus menjelaskan RL dalam konteks Islam kepada para penguji non-Muslim. Jika berdiskusi dengan sesama Muslim, saya tidak perlu menjelaskan konsep seperti musyawarah, mudharabah, atau peran ulama. Tetapi justru di situ letak pelajaran berharga: kesempatan kecil untuk memperkenalkan Islam apa adanya”bukan Islam seperti yang direduksi oleh sebagian media Barat atau dibayangi Islamofobia.
Tesis ini akhirnya selesai berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT. Saya juga berutang banyak kepada para pembimbing yang setia mendampingi meski beberapa kali terjadi pergantian.
Terima kasih kepada Dr. Malcolm Patterson, yang setia mendampingi sejak awal hingga masa pensiunnya; Dr. Mustafa Kavas, yang selalu memberi sentuhan kritis dan diskusi hangat; Profesor Don Webber, yang efektif memberi masukan sambil menjaga standar akademik; Dr. Andreana Drencheva, yang mengenalkan saya pada institutional logics dan Grounded Theory metode Gioia; serta Dr. Emanuella Girei, yang membimbing saya memahami metodologi etnografi dengan penuh kesabaran.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya tujukan kepada istri tercinta Cut Aida Afiati dan ketiga anak kami yang tumbuh dari kecil hingga remaja dalam proses panjang ini. Juga kepada kakak saya Ani Darliani, keluarga besar”paman, cek, makcik”serta teman-teman di Sheffield dan sahabat-sahabat di kampus UIN Ar-Raniry yang selalu menemani diskusi serius dan jenaka di kedai kopi.
Selepas viva semalam, hati dan pikiran saya langsung terbang kepada Mamak, Ayah, dan Sarah. Andai mereka masih ada. Andai mereka hadir di ruangan itu. Atau setidaknya membaca tulisan ini.
Penulis: Fahmi Yunus, Dosen FEBI UIN Ar-Raniry dan Peneliti ICAIOS.