DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tak ada jalan mulus dalam meniti karier. Itulah yang dialami Taufik Alwi, alumni Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL) jurusan Teknik Elektro.
Setelah menyelesaikan studi selama empat tahun dengan IPK 3,26, ia sempat merasakan getirnya mencari kerja di berbagai daerah di Indonesia tanpa hasil. Namun, jalan takdir membawanya jauh hingga ke Hungaria, Eropa Tengah, sebagai tenaga kerja profesional di bidang semikonduktor.
“Setelah lulus, saya coba melamar ke berbagai perusahaan di Indonesia. Tapi tidak satu pun yang memberi tawaran. Dari situ saya sadar, saya perlu mengembangkan skill lebih jauh,” tutur Taufik saat berbagi pengalaman kepada media dialeksis.com, Rabu (17/9/2025)
Kesadaran itu mendorong Taufik untuk mengikuti berbagai pelatihan migas di Aceh Oil Institute. Dari sana ia banyak belajar tentang dasar-dasar keselamatan kerja, keterampilan teknis, hingga soft skill yang dibutuhkan di dunia industri.
"Itu jadi bekal penting bagi saya. Tanpa tambahan pelatihan, saya mungkin masih tertahan di sini tanpa pengalaman,” ujarnya.
Kesempatan emas datang saat PNL membuka program magang internasional ke Eropa. Tahun 2023, Taufik memberanikan diri mengikuti seleksi yang digelar di Politeknik Medan. Gelombang pertama ia gagal saat tes di perusahaan manufaktur kereta api, Škoda.
"Saya sempat kecewa. Tapi saya coba lagi di gelombang kedua. Alhamdulillah, kali ini berhasil lolos di PT Infineon, perusahaan Jerman yang berlokasi di Hungaria,” katanya.
Dari sekian banyak peserta, hanya empat mahasiswa PNL yang diterima. Taufik termasuk di antaranya. Setelah melewati proses pengurusan visa di Jakarta, ia pun berangkat ke Hungaria.
Saat itu, Taufik bekerja sebagai operator mesin bonding di Infineon. Ia bertugas dalam proses pembuatan chipset dan semikonduktor. Meski berada di lingkungan kerja internasional, ia merasa diterima dengan baik.
"Di sana tidak ada senioritas. Profesionalisme dijunjung tinggi. Bahkan saya sering mengajar pekerja baru, baik dari Indonesia maupun Hungaria, tentang proses kerja di pabrik,” jelasnya.
Menurutnya, sikap ramah dan kesetaraan di tempat kerja menjadi nilai tambah. “Sebagai orang Asia, kami tidak pernah diremehkan. Semua dianggap sama,” tambah Taufik.
Selama tinggal di Cegléd, sekitar dua jam dari ibu kota Budapest, Taufik menemukan banyak perbedaan dengan Indonesia. Mulai dari transportasi umum yang tertib dan teratur, hingga kebiasaan masyarakat yang disiplin.
“Kalau ada pejalan kaki mau menyeberang, mobil pasti berhenti otomatis. Tidak ada yang membunyikan klakson sembarangan,” ujarnya sambil tersenyum.
Soal biaya perjalanan, ia mengaku cukup terkejut. Liburan ke negara tetangga seperti Italia hanya membutuhkan tiket pesawat di bawah Rp1 juta pulang-pergi.
"Sangat murah kalau dibandingkan dengan tiket di Indonesia,” ungkapnya.
Namun ada tantangan tersendiri, terutama soal makanan halal. Mayoritas penduduk Hungaria menganut ateisme, sehingga pilihan makanan halal terbatas.
"Biasanya saya masak sendiri untuk memastikan halal. Ada juga toko-toko India dan Arab di Budapest yang menyediakan makanan halal,” jelasnya.
Meski begitu, ia merasa nyaman karena masyarakat Hungaria menghormati keberagaman agama.
"Walaupun mayoritas tidak beragama, mereka sangat menghargai keyakinan orang lain. Saya bisa beribadah di masjid yang ada di kawasan Blaha, Budapest,” katanya.
Dari pengalamannya, Taufik ingin generasi muda Aceh lebih berani merantau dan mencari pengalaman di luar negeri. Ia juga menitipkan harapan agar infrastruktur Aceh semakin maju.
"Kalau pelabuhan di Aceh dibangun lebih banyak dan modern, ekspor-impor bisa meningkat. Itu akan membuka banyak peluang kerja,” pesannya.
Ia juga mendorong mahasiswa untuk aktif mencari informasi beasiswa maupun peluang kerja melalui situs resmi kampus dan lembaga pemerintah.
“Jangan malas update informasi. Cari sumber yang valid dari website resmi atau pengumuman kampus. Itu penting supaya tidak tertipu dan bisa memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin,” pungkasnya. [nh]