Syaifullah Muhammad: ARC Bisa Kembalikan Era Kejayaan Nilam Aceh
Font: Ukuran: - +
Nilam Aceh (Pogostemon Cablin) sempat menjadi primadona di tahun awal 1990-an. Aceh saat itu menyumbang 75 persen ekspor nilam Indonesia. Kandungan Patchouli Alcohol (PA)-pelekat aroma parfum-dalam nilam Aceh membuatnya terus diminati dunia.
Sayangnya makin kesini, nilam Aceh tak lagi seharum parfum ternama yang menggunakan kandungan PA-nya. Petani nilam di Tanah Rencong tidak lagi sejahtera.
Untuk menggali bagaimana mengembalikan kejayaan nilam Aceh, Dialeksis.com berdialog dengan Kepala Atsiri Research Center (ARC) Unsyiah, Dr Syaifullah Muhammad ST MEng, Minggu (14/7/2019) lalu.
Bagaimana ceritanya nilam Aceh yang sempat menjadi primadona?
Nilam itu punya sejarah yang sangat panjang di Aceh. Dia itu sudah ada sejak zaman Belanda, sejak jaman Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Indonesia.
Belanda pernah krisis gula di dunia, kemudian harga gula jatuh. VOC kemudian mencari komoditi alternatif. Dapatlah dua komoditi, kopi dan nilam.
Nilam dari Philipina diambil masuk ke Pasaman Barat di Sumatera Barat, kemudian masuk Sidikalang, Sumatera Utara, baru kemudian masuk ke Aceh.
Ternyata, setelah itu yang ditanam nilam di seluruh Indonesia, Aceh paling bagus. Bahkan sampai dapat sertifikat IG (Indikasi Geografis).
Nah, IG itu menunjukkan keunikan, meskipun nilam yang sama ditanam di Sulawesi di tempat lain, maka hasilnya berbeda, yang disebabkan tanah, udara dan faktor lain, gitu ya. Nah sehingga nilam Aceh menjadi yang terbaik, diakui dunia.
Dulu Aceh itu, market share-nya 70% nilam dunia dari Aceh. Tapi sekarang sudah terjun bebas, jatuh hingga tinggal 10 % karena tata niaganya itu tidak terjaga, kadang-kadang nanti harganya itu Rp 1 juta/kg, kemudian jadi Rp 1,5 juta. Orang tanam nilam tinggalkan padi, tinggalkan jagung, tapi pada saat panen harganya tinggal Rp 250 ribu/kg.
Jadi tahun 2015 saya diminta Bappeda Aceh untuk meneliti persoalan ini. Pergilah kita keliling ke berbagai tempat. Ke Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Gayo Lues, sampai ke Aceh Tamiang.
Ternyata masalahnya itu banyak sekali, sampai 30 persoalan dalam tata niaga itu yang terbagi sangat spesifik.
Apa persoalan yang paling sering muncul?
Permasalahan pertama itu tentang penyakit. Jadi ada penyakit yang tidak terselesaikan oleh petani sehingga kena yang namanya penyakit budok (hoprosep). Kalau kena itu berat sekali urusannya.
Yang kedua teknologi penyulingannya sangat sederhana, sehingga kualitas minyaknya itu sangat rendah.
Ketiga, Aceh hanya menjual minyak mentah saja. Tidak ada produk turunan. Pasarnya itu hanya ada minyak mentah untuk ekspor, sehingga ini menyebabkan ketika kita punya minyak, kita tidak ada alternatif dan menerima harga yang ditawarkan eksportir.
Keempat, tata niaga yang tidak terjaga. Tata niaga itu, petani, pengumpul, (kirim ke_red) Medan. Baru sekarang di Aceh ada perusahaan Perancis, sudah ada perkembangan.
Kemudian persoalan lain itu lemah sekali riset tentang nilam, dukungan SDM, dukungan teknologi dari lembaga-lembaga itu kurang sekali. Ada lagi masalah akses pasar, akses permodalan dan seterusnya.
Jadi satu-satunya masalah nilam Aceh ini, tidak ada yang bantu masyarakat Aceh. Ada dibantu tetapi tidak sistemik, hanya parsial-parsial saja.
Bagaimana kepedulian pemerintah?
Pemerintah ada programnya. Di Kabupaten Gayo Lues setiap tahun mereka ada pengadaan ketel, ada pengadaan bibit, termasuk di Aceh Selatan. Tapi program itu sepertinya itu-itu saja.
Apa karena tidak ada pendampingan?
Bisa jadi, atau mungkin juga rasa frustasi semua orang dengan persoalan sekian banyak sehingga seperti tidak ada penyelesaian.
Jadi 2015 Bappeda Aceh meminta kita meneliti secara komprehensif. Setelah kita keliling dan dapatkan persoalannya, kita petakan, buat roadmap, buat master plan dan rencana aksi.
Nah, sampai sekarang sudah banyak dokumen yang dihasilkan oleh Pemerintah Aceh. Ya, mulai dari rencana aksi sistem inovasi daerah, nilam, kemudian ada roadmap atsiri Aceh, ada master plan cluster inovasi, ada roadmap Sikim (Sentra Industri Kecil dan Menengah) nilam, sampai sudah ada DED (Detailed Engineering Design).
Dalam tatanan konsep, apa langkah konkrit Pemerintah?
Jadi dokumen-dokumen itu semua, sebenarnya memang dokumen yang berbasis pengkajian di lapangan, bukan sekedar yang kita buat berdasarkan reka-rekaan. Kita keliling seluruh Aceh, jadi konsep itu yang kita jalankan sekarang.
Di dalam konsep itu kita harus mengintervensi kedalam empat subsistem. Pertama, kita harus mengintervensi di subsistem, upstream at farm industry, yang berbicara empat perkara yaitu bibit, pupuk, pestisida, dan mesin-mesin pendukung pertanian.
Kemudian di bawahnya di bidang on farm, kita bicara tentang penanaman, tanah, panen, paska panen, pengendalian penyakit dan seterusnya.
Kemudian di bawahnya lagi di tahapan downstream. Ini kita bicara tentang penyulingan, tentang energi, tentang limbah, dan tentang produk-produk yang digunakan.
Dan terakhir, tentang supporting system. Maka kita bicara tentang SDM, riset, akses pasar, permodalan, regulasi pemerintah dan lain-lain.
Jadi kan itu komprehensif. Sekarang kita mulai pelan-pelan nih. Misalnya di hulu, bibit, kita cari uang. Unsyiah cari uang (donasi atau hibah_red).
Pak Rektor luar biasa ini support-nya terhadap ARC. Beliau bicara ke Pak Dirjen, bicara ke Jakarta itu agar Unsyiah itu bisa memainkan peranan.
Berarti ada peran dari Unsyiah bersama pemerintah untuk memajukan potensi nilam di Aceh?
Ya, luar biasa. Dalam tiga tahun terakhir, Unsyiah dengan Pemerintah Aceh yang bekerja. Jadi Pak Rektor melalui ARC, setelah kita dapat grant-grant untuk misalnya inovasi di pembibitan, inovasi di ketel penyulingan.
Itu ketel-ketelnya kita buat, kita berikan contoh-contohnya kepada masyarakat kita bagi, uangnya sudah di Jakarta melalui Unsyiah.
Kemudian kita dalam setahun ini kita dapat green house, yaitu rumah modern untuk pembibitan. Kita akan jadi pemasok bibit yang bagus.
Kemudian tahun ini ARC Unsyiah ditetapkan sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Nasional untuk Nilam oleh Direktorat Kelembagaan Kemenristek Dikti yang kedua di Indonesia.
Kita ini sudah menjadi pusat unggulan iptek dari Kemenristek Dikti untuk urusan nilam dan itu perannya Rektor Unsyiah.
Dan kita sudah mulai jalankan, kita kerjasama dengan Bank Indonesia. Nah itu sektor hulu. Karena kita udah petakan, di hulu kita buka lahan, pembibitan dengan baik.
Jadi tidak hanya pemerintah dan Unsyiah, tapi ada juga pihak ketiga, BI yang terlibat?
Dalam master plan kita sudah definisikan yang namanya quadruple helix, yaitu kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat.
Jadi dalam grup cluster ini sekarang ada yang mewakili pemerintah, itu ada Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Jaya, dan Bank Indonesia.
Di perguruan tinggi ada Unsyiah melalui ARC dan mitra-mitra kita, misalnya ada LIPPI ada BPPT yang sudah menyatakan kesediaan mendukung. Kemudian dari dunia usaha juga ada Koperasi Industri Nilam Aceh (KINA), ada PT General Aromatic dari Perancis, kita sudah MoU tahun ini.
Jadi kemitraan tadi ada tupoksinya masing-masing. Dengan Perancis tadi kita MoU di Gayo dengan Aceh Jaya. Pak Rektor Unsyiah sudah sign MoU dengan perusahan Perancis (pada 27 Mei 2019_red), mereka akan mensupport petani dan Unsyiah akan mensupport programnya.
Outputnya rencananya mau diapain hasil nilam itu? Apakah hanya sebatas produk saja, atau ada upaya lebih?
Jadi itu sudah kita lakukan di hulu. Kita sudah support penanaman, kemudian di subsektor on farm-nya kita bantu mereka perawatan dan pemeliharan penyakit dan kemudian minyaknya tadi kita suling di subsektor hilir. Itu yang kita sebut dengan downstream.
Hasil suling dari ARC Unsyiah itu langsung bisa ekspor. Kalau sulingan punya masyarakat petani harus diproses lanjutan. Kalau dengan ketel kita langsung bisa ekspor.
Kemudian ARC Unsyiah dengan mitra, juga membuat parfum, aroma terapi, dan lainnya. Kemarin rektor memunculkan sembilan produk yang sudah masuk ke market.
Produk-produk turunan ini, kita buat startup bisnisnya. Anak-anak muda ini membeli minyak nilam dari masyarakat kemudian diproses di ARC Unsyiah yang kemudian dijadikan produk turunan.
Jadi lahirnya ARC ini kan, sebenarnya dari hasil kajian Bappeda Aceh tadi yang kita buat, kemudian saya lapor ke Pak Rektor. Ini urusan nilam harus kita bantu, kita perlu lembaga riset yang men-support teknologi nilam rakyat Aceh.
Langsung Pak Rektor setuju. Bukan hanya setuju, beliau lobi Jakarta juga, lobi grant (dana hibah_red) ini, grant itu. Pak Rektor semua itu.
Kemarin kita rapat dengan Ibu Plt masalah desa wisata. Sebab produk-produk turunan tadi, seperti sabun dan minyak wangi, itu kalau kita lawan Unilever mati kita. Bukan mati lah, tapi tidak sanggup kita lawan karena mereka jual Rp4 ribu sabunnya, sementara kita modalnya aja Rp7 ribu.
Jadi pendekatannya harus menggunakan pendekatan yang unik. Salah satunya desa wisata. Dengan desa wisatanya kita bilang pada turis bahwa ‘kita akan membawa Anda ke sebuah desa dimana sumber parfum Perancis berasal’, karena Perancis menggunakan minyak nilam kita.
Nanti di desa itu kita perlihatkan bibitnya, kebun percontohannya, hasil penyulingannya, kemudian produk turunan dan pada akhirnya nanti turis membeli dari produk-produk masyarakat. Dan sekarang Unsyiah dengan peran itu sudah ada MoU.
Apa saran untuk pihak dan stakeholder atau masyarakat supaya minyak nilam ini lebih maju?
Masyarakat kita harus tau bahwa nilam Aceh itu terbaik di dunia. Aceh dulu produsen nilam terbesar di dunia. Kalau sere wangi oke juga, tapi produsen terbesar sere wangi itu Cina.
Jadi kita perlu potensi keunikan daerah ini kita bangkitkan. Masyarakat perlu diedukasi bahwa potensi nilam itu sangat bagus untuk ekonomi.
Satu hektar nilam bisa menghasilkan 200 kilogram minyak. Kalau 1 kilogram 500 ribu, maka akan ada Rp500 juta/hektare. Biaya operasional maksimum Rp30 juta. Jadi ada keuntungan margin sebesar Rp70 juta.
Rp70 juta dibagi 8 dapatnya Rp8,7 juta. Jadi seorang petani menjalankan ladang nilam satu hektare, dia punya potensi untuk menghasilkan pendapatan Rp8,7 juta/bulan. Ini sangat strategis untuk penurunan angka kemiskinan.
Sekarang dari 23 kabupaten/kota di Aceh, ada 16 daerah yang menghasilkan nilam. Sampai di Tamiang sekarang masih ada nilam dan orang menyuling nilam.
Kemudian, pemerintah harus bantu. Masyarakat harus dibantu, marketnya harus dijaga. Pemerintah perlu adanya regulasi untuk memastikan harga nilam itu jangan terlalu jatuh.
Kita sudah siapkan konsepnya. Bappeda Aceh sudah siapkan konsepnya. Kemudian pihak-pihak ini semua perlu pemihakan dalam proses pembangunan ini, yaitu pemihakan untuk rakyat.
Jadi bisnis ini kalau kita tidak memihak kepada masyarakat mungkin masyarakat tidak bisa berbuat banyak, makanya kita perlu quadruple helix. Bahkan 2019 ini kita kembangkan penta helix, harus ada unsur media massa.
Harus ada media yang masuk ke cluster ini. Karena sekarang selain pemerintah, perguruan tinggi, dunia masyarakat, ini kan Industri 4.0. Jadi perlu sekali media untuk membantu mengedukasikan agar masyarakat tau.
Ketika masyarakat sudah tau ekonominya sudah baik, mereka akan menanam kembali. Kalau masyarakat sudah menanam lagi, maka Aceh akan menjadi pusat nilam kembali di Indonesia.(Ikbal Fanika)