Beranda / Dialog / Sah RUU TPKS Jadi UU, Ini Pandangan CSI

Sah RUU TPKS Jadi UU, Ini Pandangan CSI

Sabtu, 16 April 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Founder Cahaya Setara Indonesia (CSI), Nur Aisyah. [Foto: For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya sah menjadi undang-undang (UU). Pengesahan itu disepakati DPR dalam pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.

Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan bahwa dalam pengesahan RUU TPKS menjadi UU di rapat paripurna turut dihadiri oleh sejumlah organisasi terkait perempuan. Mulai dari organisasi perempuan Indonesia, LBH Apik Jakarta, Perhimpunan Jiwa Sehat, Puan Seni Indonesia dan lainnya.

RUU TPKS ini masih menjadi bahan pembicaraan oleh banyak masyarakat tentunya, namun juga tentu masih ada penolakan dari banyak pihak. Walaupun begitu RUU TPKS ini bisa menjadi bahan pertimbangan terhadap penerapan hukum terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia.

 Ada 2 point yang tidak amsuk dalam RUU TPKS dan menjadi hal penting yang harusnya masuk dalam RUU TPKS yaitu, Pemerkosaan dan Aborsi.

 Lantas bagaimana pandangan banyak pihak terhadap RUU TPKS ini. Dialeksis.com, berkesempatan untuk melakukan wawancara bersama Founder Cahaya Setara Indonesia (CSI), Nur Aisyah. Mari simak pandangannya:

Menurut Anda bagaimana pandangan Anda terhadap RUU TPKS ini?

UU TPKS ini sangat signifikan keberadaannya. Pertama, terkait tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Dewasa ini, kasus kekerasan seksual semakin marak dan semakin memprihatinkan. 

Mayoritas kekerasan seksual dialami oleh perempuan dan anak-anak dengan pelaku yang juga datang dari berbagai kalangan. Oleh karena itu permasalahan kekerasan seksual sudah dapat dikatakan sebagai momok dalam pembangunan.

Bila kita merujuk pada data, berdasarkan data Survei Nasional Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SNPHPN) Tahun 2021, sebanyak 26% atau 1 dari 4 perempuan usia 15 hingga 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan atau selain pasangan. Selain itu, 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis atau lebih kekerasan selama hidupnya.   

Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi warga negaranya, dari kekerasan seksual, maka kehadiran UU ini menjadi aksi nyata negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia.

Kedua, terkait dengan keterbatasan instrumen hukum yang ada terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Memang dalam KUHP, kekerasan seksual sudah diatur didalamnya, tetapi aturannya hanya mencakup 2 jenis kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan. Padahal, kekerasan seksual merupakan tindak kekerasan yang cukup luas spektrumnya. Dalam UU TPKS ini, berbagai jenis dan bentuk kekerasan seksual coba diklasifikasikan dengan sangat baik (9 kategori), dengan definisi yang lebih luas dan pasal-pasalnya mempunyai kekuatan untuk menjerat pelaku.

Ketiga, UU TPKS memberikan perlindungan tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi keluarga korban, dan saksi. Selain itu pelaku kekerasan seksual, yang selama ini tidak diintervensi sama sekali, dalam UU ini, pelaku diberikan rehabilitasi yang bertujuan untuk membantu agar pelaku tidak mengulangi tindakan kekerasan kembali.


Apakah akan lebih baik dari sebelumnya?

Ya, tentu saja, karena UU TPKS ini dibuat untuk mengisi keterbatasan instrumen hukum yang ada terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Terdapat beberapa hal- hal yang sangat progressif dalam regulasi ini. Misalnya, adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.

Selain itu terdapat pula ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Terdapat pula, ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku.

Disamping itu, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi , ahli, dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.


Hal apa yang harus diperhatikan ketika penerapan RUU TPKS nantinya, kalau tidak salah ada 2 hal yang tidak masuk dalam RUU TPKS yaitu Pemerkosaan dan Aborsi, ini bagaimana menurut Anda?

Secara substansi, saya rasa isi regulasi ini sudah sangat komprehensif. Yang harus diperhatikan selanjutnya adalah pada tataran penerapannya, agar UU TPKS, yang sudah sangat komprehensif dan progressif ini, dapat digunakan sebaik mungkin sehingga dapat menjadi landasan hukum yang bermanfaat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Dalam hal ini, yang perlu dipastikan dalam penerapannya adalah kapasitas sumberdaya manusianya (aparat penegak hukum) yang akan menggunakan UU TPKS ini dalam penanganan kasus. 

Karena, terdapat fakta yang menujukkan bila terdapat kesenjangan dalam penerapan regulasi yang ada. Selain itu, masyarakat juga harus diberi pemahaman tentang keberadaan kerangka hukum ini. Sehingga masyarakat dapat menjadikannya sebagai landasan dalam upaya-upaya pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan seksual di tingkatan masyarakat.

 

Jika RUU TPKS ini diterapkan di Aceh apakah bisa? Bagaimana nantinya nasib Qanun Aceh yaitu Qanun Jinayah?

Tentu saja bisa, karena Aceh merupakan salah satu provinsi yang tunduk dalam wilayah hukum Indonesia. 

Dan UU TPKS ini merupakan alternatif pilihan kerangka hukum yang sangat tepat untuk upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Aceh, karena di Aceh, belum terdapat suatu kerangka hukum yang secara spesifik mengatur tentang kekerasan seksual. 

Walaupun kekerasan seksual telah diatur dalam Qanun Jinayah, berdasarkan beberapa penelitian dan kajian menunjukkan bila penanganan kasus-kasus kekerasan seksual melalui qanun Jinayah masih belum dapat memberikan keadilan dan pemenuhan hak-hak korban.

 

Kalau RUU TPKS ini bisa diterapkan di Aceh apakah, akan ada penurunan angka kekerasan seksual?

Penurunan angka kekerasan seksual, tentu saja, tidak hanya ditentukan oleh adanya regulasi. Akan tetapi penurunan angka kekerasan seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari (i) meningkatnya pemahaman masyarakat tentang dampak buruk dari kekerasan seksual (yang bersifat tidak hanya jangka pendek, tetapi juga bersifat jangka panjang; berdampak multidimensi- sosial ekonomi dan politik); (ii) adanya dukungan semua pihak untuk memastikan zero tolerance terhadap terjadinya kekerasan seksual di Aceh; (iii) adanya aturan dan regulasi yang dapat mengakomodir upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Oleh karena itu, upaya-upaya pencegahan tetap saja harus dilakukan secara masif dan berkelanjutan oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya menguragi terjadinya kasus kekerasan seksual di Aceh. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda