DIALEKSIS.COM | Dialog - Muzakir Manaf telah resmi menjabat sebagai Gubernur Aceh (2025-2030), dan berbagai tantangan ekonomi menanti. Nurchalis, S.P., M.Si., Ketua MPW ISMI Aceh sekaligus calon doktor Ilmu Pertanian Universitas Syiah Kuala, anggota DPRA dan Ketua Fraksi Partai NasDem, menekankan perlunya strategi komprehensif untuk menghidupkan ekonomi Aceh.
Menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan III 2023 hanya mencapai sekitar 3,76% (yoy), sementara Badan Pusat Statistik Aceh mencatat nilai ekspor Desember 2023 senilai USD 42,39 juta dengan surplus perdagangan USD 3,06 juta.
Dalam wawancara eksklusif bersama Dialeksis, Nurchalis menguraikan rencana kebangkitan ekonomi Aceh: dari penguatan UMKM hingga pasar global, optimalisasi kerja sama subregional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), hingga kolaborasi strategis multi-pihak.
Dialeksis: Bagaimana Bapak menilai kondisi ekonomi Aceh saat ini, dan apa prioritas kebangkitan ekonomi Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf lima tahun ke depan?
Nurchalis: Aceh kaya sumber daya alam, tapi selama ini nilai tambahnya belum maksimal. Misalnya, Aceh dikenal punya kopi, minyak sawit (CPO), pala, nilam, lada, dan hasil bumi lain yang “cukup luar biasa”. Sebelumnya saya sudah sampaikan, banyak produk kita sudah dikenal di luar negeri, namun branding-nya tidak terasosiasi dengan Aceh. Ekspor cpo atau kopi Aceh sering kali terjadi melalui perantara, sehingga Aceh tidak dapat memproses dan memasarkan produknya sendiri. Akibatnya, ketergantungan APBA besar, sedangkan kontribusi UMKM dan industri lokal terhadap PDRB masih rendah.
Untuk itu, prioritas pertama adalah mengembangkan industri pengolahan berbasis hasil lokal. Semua pihak mulai dari petani, pengusaha, hingga pemerintah “ harus memastikan komoditas Aceh diproduksi dan diproses di dalam negeri agar menghasilkan nilai tambah. Saya kira, selama ini sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan memang menopang ekonomi Aceh, tetapi kita harus mendorongnya naik ke hilirisasi. Misalnya, kopi Gayo diolah menjadi bubuk berkualitas dan dikemas rapi untuk pasar ekspor, bukan dijual mentah. Hal sama berlaku untuk CPO, coklat, dan rempah-rempah kita.
Dialeksis: Khusus mengenai produk UMKM Aceh, apa langkah konkret yang Bapak usulkan agar UMKM dapat tumbuh dan menembus pasar global?
Nurchalis: Pendekatan nyata yang kita dorong ada beberapa poin utama: pertama, inventarisasi dan branding produk Aceh. ISMI Aceh akan memetakan secara sistematis produk unggulan UMKM yang belum terangkat, lalu membantu melakukan labeling “Produk Aceh” agar mudah dikenali pasar internasional. Kedua, peningkatan kapasitas dan kualitas produk. Artinya, pelatihan sertifikasi mutu (BPOM, halal, SNI) dan pengemasan modern harus digalakkan. Ketiga, akses pasar melalui pameran dan digital. Kita dukung partisipasi aktif UMKM di pameran dagang internasional (misalnya di ITPC Jeddah atau Dubai Expo), serta pelatihan e-commerce dan pemasaran digital. Bank Indonesia bahkan sudah memfasilitasi program Pameran dan pelatihan guna memperluas jaringan UMKM Aceh. Contohnya, Koperasi Ribang Gayo mengekspor biji kopi senilai USD 1 juta ke AS, dan Koperasi Babburayan menorehkan ekspor USD 5 juta ke beberapa negara. Keempat, dukungan logistik dan pembiayaan. Pemerintah perlu MoU dengan maskapai dan pelayaran untuk angkut barang UMKM Aceh, misalnya rute Banda Aceh - Jeddah. Selain itu, kerja sama dengan perbankan syariah dan lembaga pembiayaan mikro perlu diperkuat agar modal usaha tersedia.
Beberapa strategi spesifik yang kami susun antara lain pembuatan basis data produk Aceh. Kementerian terkait diharapkan memfasilitasi inventarisasi produk UMKM/Aceh (nama produk, volume, lokasi produksi) sebagai acuan marketing ke luar negeri. Selain itu pendampingan bisnis. ISMI Aceh akan bermitra dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM untuk membina UMKM secara berkelanjutan. Kita menyadari banyak pengusaha kecil belum profesional dalam laporan keuangan atau perencanaan anggaran, jadi diperlukan pelatihan bisnis dan akuntansi agar bank mau meminjami.
Tak kalah penting ISMI Aceh akan melakukan kolaborasi pameran dan promosi. Pemerintah Aceh bersama KJRI/KBRI di luar negeri dapat menyiapkan agenda promosi khusus produk Aceh. Misalnya, melalui Kemendag di ITPC Jeddah yang sempat membantu 18 UMKM Aceh melakukan showcase produk. ISMI siap memadukan agenda tersebut dengan jangkauan jaringan Muslim global (NU, Muhammadiyah, ICMI) untuk memperluas pasar halal.
Dengan kombinasi ini, diharapkan ekspor UMKM Aceh meningkat dan mampu membantu neraca perdagangan provinsi. Mendorong UMKM menjadi eksportir adalah strategi jangka panjang kita agar ketergantungan Aceh hanya pada APBA dapat dikurangi.
Dialeksis: Anda menyebut pentingnya kerja sama subregional IMT-GT. Bagaimana Aceh sebaiknya mengoptimalkan peranannya dalam framework IMT-GT untuk menggerakkan ekonomi wilayah barat Indonesia?
Nurchalis: IMT - GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle) adalah kerjasama subregional sejak 1993 yang fokus pada percepatan ekonomi daerah kurang berkembang. Sejak lama Aceh termasuk wilayah strategis dalam IMT-GT. Bahkan pada 2014, Aceh ditunjuk sebagai tuan rumah rangkaian kegiatan IMT-GT ke-20. Namun, setelah itu momentum sempat redup. Kini saatnya menghidupkan kembali sinergi tersebut.
Aceh bisa memanfaatkan IMT-GT dengan beberapa cara yang saya yakinkan akan dapat mempercepat kemandirian ekonomi Aceh meliputi; penguatan infrastruktur dan KEK. Optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Pelabuhan Lampulo, dan Kawasan Industri Ladong harus diintegrasikan dalam peta IMT-GT. Misalnya, mempromosikan KEK Arun kepada investor Malaysia (Negeri Perlis, Kedah) dan Thailand (Satun), sebagai proyek agri-industrial bersama.
Hal lain perlunya melakukan kolaborasi ekonomi trilateral. Fasilitasi forum bisnis berkala antara pengusaha Aceh dengan rekan IMT-GT di Malaysia dan Thailand untuk bertukar peluang dagang. Pemerintah Aceh dapat menginisiasi pertemuan dengan mitra seperti Kedah atau Langkawi (Malaysia) dan provinsi selatan Thailand, misalnya untuk promosi komoditas pesisir, pariwisata, atau logistik bersama.
Itu belum cukup membuat akselerasi ekonomi Aceh agar cepat tumbuh, maka diperlukan promosi wisata terpadu. Maksudnya kita ketahui bersama kalau Aceh juga bisa dikaitkan dalam paket wisata regional bersama Langkawi (Malaysia) dan Krabi (Thailand), memanfaatkan garis pantai dan wisata halal Aceh. Peningkatan konektivitas (penerbangan langsung Banda Aceh - Malaysia/Thailand) menjadi kunci.
Keseluruhan dari pemikiran ISMI Aceh tadi, saya semua harus dituangkan dalam bentuk roadmap kebijakan yang jelas, nyata, serius secara political wiil pemerintah. Termasuk hadirnya keterlibatan dari Pemerintah Pusat dan Aceh menyusun roadmap kerja sama IMT-GT, termasuk regulasi insentif pajak atau pembiayaan khusus untuk proyek lintas batas. Data Aceh sebagai host IMT-GT 2014 bisa jadi pijakan untuk merancang kerjasama baru.
Intinya, Aceh harus kembali tampil sebagai gerbang Barat Indonesia. Dengan sinergi IMT-GT, diharapkan investasi dan ekspor Aceh meningkat, serta menjadikan wilayah barat lebih kompetitif di ASEAN.
Dialeksis: Bapak sering menekankan pentingnya komunikasi dan kolaborasi multi-pihak untuk percepatan ekonomi Aceh. Siapa saja pihak yang harus dilibatkan, dan bagaimana strategi konkret mewujudkan sinergi itu?
Nurchalis: Semua pihak harus berperan. Yang utama, pemerintah pusat dan daerah harus satu visi: menyediakan regulasi dan insentif yang mendukung, seperti penyederhanaan izin UMKM ekspor, kebijakan fiskal, atau qanun ekonomi Aceh yang pro-bisnis. Dari internal Aceh, pemprov (Bappeda, Disdagkop UKM, Bappenas Aceh), DPR Aceh, dan OPD terkait perlu membangun forum ekonomi rutin.
Di sisi pengusaha, ISMI Aceh akan menjembatani pengusaha Muslim dengan asosiasi lain (Kadin Aceh, Aliansi Pengusaha Muda, ICMI Bisnis). Sebagai contoh, kami pernah menggelar pertemuan dengan 150 lebih pengusaha di Aceh Barat Daya untuk membahas ekonomi pantai barat. Saat itu saya dorong pengusaha bergerak sinergis, lalu mengundang Pemerintah dan perbankan agar saling tukar data kebutuhan dan dukungan. Hasilnya, sinergi awal sudah terbentuk.
Lebih luas lagi, dunia akademik dan lembaga keuangan harus terlibat. Misalnya, perguruan tinggi (USK, UIN) dapat mengawal riset agribisnis atau teknologi pengolahan, sedangkan BI dan perbankan menyediakan program pelatihan finansial. Saya menyadari bank sering ragu membiayai UMKM Aceh karena catatan keuangan belum terstruktur. Di sinilah peran pelatihan akuntansi UMKM penting.
ISMI Aceh juga memanfaatkan modal sosial pendiri kami: NU, Muhammadiyah, ICMI, dan MUI. Kelompok-kelompok itu memiliki jaringan luas hingga ke Malaysia dan Timur Tengah. Kami akan mengaktifkan jaringan ini untuk memperluas pasar dan akses pembiayaan, sesuai visi ISMI “Merangkai Persatuan, Kesuksesan, dan Kesejahteraan”.
Strategi utamanya adalah koordinasi terbuka: mengadakan pertemuan trilateral (pemerintah, pengusaha, dan akademisi) secara berkala, membuat tim kecil khusus penanganan UMKM atau IMT-GT, serta merancang KPI yang jelas untuk proyek bersama. Dengan komunikasi yang serius dan gotong royong nyata, semua elemen dapat bergerak terpadu.
Dialeksis: Akhir kata, apa pesan Bapak kepada pemerintah dan pelaku usaha untuk memastikan ekonomi Aceh bisa mandiri dan berdaya saing global?
Nurchalis: Saya berharap pemerintah melanjutkan dan memperkuat komitmen. Tetap manfaatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk sektor produktif, bukan konsumtif. Segera luncurkan kebijakan yang memudahkan izin ekspor, insentif bagi investor di KEK Aceh, dan perlindungan harga bagi petani. Kepada pelaku UMKM, terus tingkatkan profesionalisme manfaatkan peluang pelatihan, jangan ragu berkolaborasi.
Di era baru ini, Aceh harus mandiri secara ekonomi. Maksimalkan potensi kita dan jangan takut melangkah ke pasar global. Dengan sinergi yang kuat dan tindakan nyata, saya optimis Aceh bisa bangkit. Under Gubernur Muzakir Manaf, kita harus bergerak cepat, bekerja bersama dalam satu visi. UMKM Aceh harus siap go global; pemerintah dan komunitas harus bersinergi menjadi motor penggerak. Jika itu dilakukan, perekonomian Aceh akan lebih sejahtera dan berdaya saing tinggi.
Dipenutup wawancara eksklusif bersama Dialeksis, pesan bijak disampaikan Nurchalis mengatakan,“Aceh kini berada di titik penting untuk menentukan arah masa depannya. Jika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat bergerak dalam satu langkah, maka kebangkitan ekonomi bukan lagi wacana melainkan kenyataan yang dapat diraih bersama. Sinergi adalah kunci, dan masa depan Aceh ada pada keberanian kita untuk mewujudkannya.”