kip lhok
Beranda / Dialog / Kepala BPS Aceh: Narasi Aceh Termiskin se-Sumatera Bukan Berasal dari BPS

Kepala BPS Aceh: Narasi Aceh Termiskin se-Sumatera Bukan Berasal dari BPS

Selasa, 27 Juli 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala BPS Provinsi Aceh Ihsanurijal S.Si, M.Si. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh masih tetap menjadi daerah termiskin di Sumatera, capaian kemiskinan sebesar 15,33 persen. Angka 15,33% tersebut turun dibanding Per September 2020 sebesar 15,43%.

Wawancara khusus media Nukilan.id dengan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh Ihsanurijal, S.Si, M.Si terkait Indikator kemiskinan makro yang BPS rilis diantaranya adalah Persentase Penduduk Miskin, Jumlah Penduduk Miskin dan Kedalaman serta Keparahan Kemiskinan.

Berikut petikan Wawancara khusus Ihsanurijal, S.Si, M.Si (Ihsanurijal) dengan media online Nukilan (Nukilan) yang dilakukan senin (26/7/2021) di Banda Aceh.

Dari aspek apa saja yang menyebabkan Aceh tetap dinobatkan sebagai provinsi termiskin se-Sumatra?

Ihsanurijal: Perlu kami sampaikan bahwa narasi provinsi termiskin se-Sumatera bukan berasal dari BPS. Dalam setahun BPS secara serentak diseluruh indonesia merilis sebanyak dua kali terkait profil kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran (kondisi maret dan september). Indikator kemiskinan makro yang BPS rilis diantaranya adalah Persentase Penduduk Miskin, Jumlah Penduduk Miskin dan Kedalaman serta Keparahan Kemiskinan. Sedangkan ketimpangan pengeluaran diukur melalui Gini Ratio dan Ukuran Bank Dunia.

Pada bulan Juli ini BPS secara nasional telah merilis profil kemiskinan untuk kondisi bulan Maret 2021. Dimana seperti kita ketahui, persentase penduduk miskin untuk bulan Maret 2021 di Aceh sebesar 15,33 persen, dimana angka ini turun dibanding kondisi September 2020 yang sebesar 15,43 persen. Indikator inilah yang sering digunakan dan dibandingkan antar wilayah oleh pengguna data menurut sudut pandangnya masing-masing.

Kepada para pengguna data kami selalu menyampaikan masukan, bahwa untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh lebih baik jika membandingkan kondisi antar wilayah harus dilihat kondisi dan indikator-indikator lainnya, sehingga akan memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sekali lagi, bahwa BPS hanya menampilkan informasi secara apa adanya sesuai potret sebenarnya di lapangan sesuai dengan metodologi yang ada dan bisa dipertanggungjawabkan.

Bagaimana metode BPS menerapkan survei untuk mengetahui miskin dan tidaknya di provinsi Aceh?

Ihsanurijal: BPS sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam menghasilkan statistik dasar dalam bentuk data statistik lintas sektoral yang bersifat data makro. Dengan menggunakan metodologi statistik yang berstandar internasional dan prinsip independensi, BPS menghasilkan berbagai indikator strategis (sosial ekonomi) yang akan digunakan dalam perencanaan dan evalausi program pembangunan, termasuk didalamnya data kemiskinan makro.

Indikator kemiskinan makro BPS dihasilkan melalui Survei Sosial ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan setiap bulan Maret dan September secara nasional.

Sebenarnya indikator kemiskinan hanya Salah satu saja dari banyak informasi yang dihasilkan dari Susenas seperti indikator pendidikan, kesehatan, kependudukan, perumahan dan lain-lain.

Untuk mengukur kemiskinan makro, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach). Hal ini tidak hanya digunakan di Indonesia. Sesuai dengan rekomendasi PBB dan lembaga lainnya seperti World Bank, banyak negara yang menggunakan pendekatan ini utamanya negara-negara berkembang.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan & bukan makanan).

Untuk Makanan ada 52 komoditas yang digunakan dan bukan makanan ada 47 komoditas (perdesaan) dan 51 komoditas (perkotaan). Setiap daerah dan setiap waktu memiliki Garis Kemiskinan yang berbeda. Pada Maret 2021 Garis Kemiskinan di Aceh sebesar 541.109 per orang per bulan.

Metode ini dipakai BPS sejak TAHUN 1998 supaya hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple).

Apakah sampel yang di ambil oleh BPS memadai dalam penerapan survei di Aceh? Berapa jumlah sampel dari 5 juta penduduk Aceh?

Ihsanurijal: Metode sampling yang digunakan dalam SUSENAS sedemikian rupa telah didesain oleh BPS RI, sehingga secara statistik akan mampu menghasilkan estimasi yang memiliki akurasi tinggi. Kerangka sampel Susenas terdiri dari kerangka sampel Blok Sensus dan Rumah Tangga yang proporsional terhadap jumlah penduduk dan memperhatikan tingkat kesejahteraannya. Sehingga dengan kata lain sampel SUSENAS mewakili semua lapisan di masyarakat mulai dari lapisan bawah sampai atas dan hasilnya merupakan gambaran makro suatu wilayah. Pada bulan Maret jumlah sampel SUSENAS di Aceh berjumlah 13.510 rumah tangga atau setara dengan sekitar 57 ribu penduduk yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di Aceh. Dengan jumlah sampel sebanyak itu, secara statistik sudah sangat optimal dalam menghasilkan sebuah estimasi populasi.

Kenapa harus selalu provinsi Aceh yang menjadi tolak ukur miskin, sedangkan provinsi tidak memiliki wilayah yang dikelola, dari pengelolaan itu sepenuhnya berada dibawah Bupati dan walikota masing- masing dari Kab/kota?

Ihsanurijal: Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa BPS setiap tahunnya merilis profil kemiskinan setiap Maret dan September. Perlu dipahami, terkait dengan jumlah sampel bahwa untuk bulan September hanya mampu menggambarkan estimasi tingkat nasional dan provinsi, sedangkan untuk Maret mampu menggambarkan kondisi tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Tentunya indikator tingkat provinsi merupakan gambaran makro rata-rata dari seluruh kabupaten/kota yang ada.

Apakah dalam survei yang dilakukan melibatkan kab/kota dalam penentuan survei yang dilakukan BPS Aceh?

Ihsanurijal: Dalam tata kelola kegiatan di BPS, pelaksanaan pendataan seperti SUSENAS ini dilaksanakan oleh seluruh BPS Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Aceh. Terkait metodologi survei menjadi kewenangan BPS RI, untuk selanjutnya diaplikasikan diseluruh BPS provinsi dan Kabupaten/Kota. Sedangkan BPS Provinsi lebih banyak kepada penjaminan kualitas, melaksanakan supervisi dan lain-lain, agar pelaksanaan pendataan yang dilakukan oleh BPS Kabupaten/Kota berjalan sesuai metodologi dan aturan yang sudah digariskan dan menggambarkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Dalam melaksanakan tugasnya BPS selalu memegang teguh nilai-nilai luhur BPS yaitu Profesional, Integritas dan Amanah serta menjaga Independensi terhadap kepentingan tertentu. [Irfan/Nukilan]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda