Beranda / Dialog / IDI Aceh : Petugas Medis Siap Tempur, Berilah Mereka Senjata !

IDI Aceh : Petugas Medis Siap Tempur, Berilah Mereka Senjata !

Sabtu, 28 Maret 2020 13:31 WIB

Font: Ukuran: - +

ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, DR dr Safrizal Rahman MKes SpOT, 


DIALEKSIS.COM – Aceh kini dalam posisi “tempur” menghadapi corona, bukan lagi dalam pase menghindari. Petugas medis berada di garda depan dalam pertempuran antara hidup dan mati ini.

Pertempuran petugas medis dengan corona, sangat menentukan masa depan masyarakat, masa depan Aceh. Namun dalam pertempuran yang taruhanya nyawa ini, petugas medis membutuhkan perlengkapan. Membutuhkan senjata, logistik, serta sejumlah peralatan untuk berperang.

Petugas medis adalah pahlawan untuk menghadapi corona. Banyak sudah tenaga medis yang menjadi korban covid-19. Itu bagian dari pengabdian dan resiko profesi. Untuk Aceh pertempuran itu sudah dimulai.

Apa yang dibutuhkan petugas medis, bagaimana sikap dan semangat mereka dalam bertempur, untuk menyelamatkan rakyat Aceh dari kolaps?

Dialeksis.com mewancarai ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, DR dr Safrizal Rahman MKes SpOT, yang sekaligus sebagai Dosen Fakultas Kedoktoren Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).

Bagaimana Anda melihat corona di Aceh saat ini?

“Dua minggu lalu, kita menyampaikan Aceh belum memasuki tahap menghadapi corona. Belum positif. Ada dua pilihan. Menghadapi atau menghindari. Menghadapi ini mahal, butuh sumber daya, butuh tenaga dan dana. Jakarta saat itu dalam posisi menghadapi, Aceh bisa menghindari,” sebut Safrizal Rahman.

Bagaimana Aceh bisa mengindari serangan wabah corona, saat belum masuk tahap menghadapi?

“Pada saat itu kita bisa melakukan slowdown, semi lockdown, atau parsial lockdown. Dengan mengisolasi diri dulu perlahan lahan selama dua minggu, kemudian setelah yakin tidak punya kasus, kita kurangi orang masuk. Itu dia konsep awalnya, tapi hari ini Aceh sudah masuk tahap menghadapi,” jelasnya.

Saat ini Aceh sudah masuk tahap menghadapi, bagaimana sikap kita?

“IDI harus mengikuti konsep pemerintah pusat dengan sosial distancingnya. Atau kita mau melakukan kebijakan sendiri. Kan banyak daerah yang melakukan kebijakan sendiri, yaitu lockdown. Usulan kita jangan total lockdown. Usulan itu adalah kombinasi antara lockdown dan slowdown”.

Jelasnya bagaimana kombinasi itu?

“Daerah yang sudah punya kasus positif itu harus lockdown. Seperti Banda Aceh, Aceh Utara itu harus lockdown. Sementara daerah yang belum punya kasus positif itu slowdown. Masyarakat tetap bisa beraktifitas diminimalkan, stok barang dimasukan, mereka menjadi penyangga daerah daerah yang sudah lockdown”.

Menjadi peyangga?

“Misalnya Bireun menyangga Aceh Utara, Pidie menyangga Banda Aceh, sampai kasus ini diselesaikan dengan baik, baru kita kembali melakukan aktifitas yang lockdown menjadi slowdown”.

Bagaimana gambaran posisi tenaga medis di Aceh yang bertarung di garda depan dalam menghadapi corona?

“Hari ini kondisinya dalam posisi menyedihkan. Makanya organisasi kesehatan mengeluarkan pernyatan, ini dalam titik bahaya, bila petugas medis tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD). Untuk Aceh belum memadai. Sangat sangat jauh. Kita mendapat bantuan, di Dinas Kesehatan 2.000 APD, kalau kita bayangkan, satu kabupaten kota butuh 1.000 APD perbulan, maka kita butuh 23.000 perbulan,” sebut Safrizal.

Safrizal meminta Dialeksis.com untuk membayangkan dengan bantuan 2.000 APD dari pemerintah pusat.Apakah sudah memenuhi standard. Kemudian Dosen ini menguraikan bagaimana solusi lainya, di saat APD masih sangat kurang.

“Perbanyak hotline. Apa maksutnya, bila ada yang butuh fasilitas kesehatan, telpon dulu melalui nomor hotline. Nomor ini akan mengarahkan kepada Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang punya APD. Jadi pasien covid bisa datang ke tempat yang dimana petugas medis sudah punya APD, tujuanya agar tidak menyebar kemana mana. Ini datang ke Puskesmas yang tidak punya APD, kena semuanya”.

Kalau begitu apa saran untuk pemerintah Aceh?

“Pemerintah Aceh harus melakukan segala daya upaya untuk melengkapi APD. Saya sudah mengingatkan, seluruh daerah, semua negara dalam menghadapi covid ini pada ahirnya mengandalkan napsi- napsi. Mengandalkan kekuatan sendiri. Secara dana kita ada, namun untuk mendapatkan fasilitas APD ini yang kurang. Saya tidak tahu bagaimana caranya, kalau perlu buat hubungan luar negeri untuk mendapatkan APD”.

Untuk tenaga medis, selaku ketua IDI apa saranya?

“Petugas medis sudah takdir menjadi garda terdepan dalam pertempuran ini. Namun sangat riskan kalau bertempur tanpa senjata. Untuk itu harus hati hati sekali terhadap penyebaran. Kita bukan takut, kemudian covid menyerang kita, kemudian kita akan mati, barang kali kita masih bisa selamat. Kalau banyak tenaga medis yang terkena, masyarakatpun akan kolaps dan Aceh akan cepat lumpuh”.

Bagaimana harapan dan sikap petugas medis dalam menghadapi pasien positif covid?

“Kita berharap pemerintah untuk mensupport, baik insentif terhadap para garda terdepan semaksimal mungkin. Itu yang pertama. Kedua tenaga medis saat ini menjadi kraetif membuat sesuatu yang bisa dijadikan alat pelindung dirinya, walaupun tidak standard.”

Buat sendiri?

“Ya, tetapi itu belum berarti selesai masalahnya.Pemerintah daerah harus mencari yang standard. Walaupun petugas medis bisa kreatif, namun itu bukanlah suatu penyelesaian. Apapun cara APD itu harus diusahakan”.

Apa perlu penambahan tenaga medis?

“Sebentar lagi akan dibutuhkan tenaga medis tambahan. Pemerintah harus memikirkanya, kalau perlu mohon maaf ini bukan soal materi. Kalau perlu mereka dibayar DP didepan sebelum masuk pertempuran. Kenapa, karena ketika masuk kedalam pertempuran, mereka tidak bisa lagi memberi tanggungjawab pada keluarganya. Kalau diberi di depan maka dia tinggalkan sesuatu untuk keluarganya demi bertahan hidup, dia pergi bertempur”.

Bagaimana komitmen IDI dalam perjuangan ini?

“Kita meminta teman teman kita untuk melanjutkan perjuangan tetap bekerja, dengan waspada, mawas diri, fokuskan diri kepada covid. Makanya banyak organisasi yang menunda membuat himbauan, menunda ini dan menunda itu. Salah satu tujuanya untuk mengurangi penyebaran virus”.

Lebih rincinya bagaimana komitmen IDI Aceh?

“Kita minta kepada tenaga IDI untuk mengerahkan segala galanya sampai titik terahir. Kita akan bertempur di depan, biar yang lain diam di rumah. Tetapi tolong diberi senjata, maaf kalau bertempur jangan disuruh pakai bambu runcing, namun berilah senjata untuk benar benar bertempur”.

Apa saran IDI kepada masyarakat?

“Nikmati hari hari yang menurut orang mencekam dengan tetap di rumah. Hari ini banyak tenaga medis yang menjadi korban. Itu sudah resiko dari tenaga medis. Banyak tenaga medis yang merasa kesusahan, tapi itu resiko profesi. Mohon kepada masyarakat, kepada pasien untuk jujur, kasih tahu mungkin dia dari luar, jangan mendiamkan diri, karena akan mengorbankan tenaga medis.

Pesan untuk tenaga medis?

“Saya sangat bangga kepada kalian semua. Saya sangat konsen untuk membantu kalian semua. Kalian adalah pahlawan saat ini bagi semua masyarakat Aceh dan Indonesia. Berjuanglah”.

Pasukan tempur paling depan dalam wabah covid ini adalah petugas medis. Mereka akan berjuang demi menyalamatkan manusia lain. Mereka bertarung nyawa dalam gempuran tak berwujud ini. Namun mereka butuh perlengkapan, butuh senjata dan butuh perhatian.

Jangan biarkan petugas medis bertempur, tanpa dibaringi dengan persenjataan yang memadai. Mereka juga manusia, sama seperti kita. Namun mereka rela mempertaruhkan nyawanya demi kita. Lantas apa yang bisa kita berikan untuk petugas medis dalam pertempuran ini? ( Tim Dialeksis.com)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda