Firman Noor: Dibutuhkan Transisi Politik Damai
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Usai sudah pesta demokrasi di Indonesia melalui mekanisme Pemilihan Umum untuk memilih perwakilan di parlemen dan presiden/wakil presiden Republik Indonesia. Tahapan selanjutnya yaitu transisi peralihan keadaan dengan multidimensi di dalamnya. Pada masa transisi ini, dibutuhkan sikap merajut damai untuk persatuan dan kesatuan Indonesia.
Membicarakan hal itu, Dialeksis.com melakukan wawancara eksklusif dengan Prof. Dr. Firman Noor, S.IP, MA (Hons). Dia dianugerahkan profesor termuda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus dipercayakan saat ini sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bincang-bincang terkait dengan politik transisi paska Pilpres, apakah masa transisi ini akan berjalan soft atau akan muncul gejolak-gejolak yang memang tidak dapat terkontrol, paska penetapan oleh KPU?
Iya, ini sangat tergantung ya, ada setidaknya beberapa hal. Pertama, upaya penyelesaian hukum di Mahkamah Konstitusi sangat menentukan.
Saya kira, ini salah satu sisi krusial yang harus dilalui secara hati-hati dan komprehensif, agar baik pihak penggugat maupun yang digugat itu sama-sama bisa menerima hasil dengan baik. Manakala ini bermasalah, tentu saja akan cukup berkepanjangan akhirnya.
Bagaimana cara agar pihak tergugat dan penggugat itu merasa benar-benar terakomodir atas hak-haknya tidak terzalimi dalam proses hukum?
Ya, ambil contoh 2014, yaitu ternyata banyak kasus-kasus gugatan yang diadukan ke MK tidak diselesaikan secara detail dan menyeluruh. Itu sifatnya random dan tidak semua yang kemudian diajukan itu betul-betul diperiksa, sehingga banyak anggaran yang dilakukan (dikeluarkan kepada_red) semua pihak termasuk aparat misalnya lewat begitu saja.
Kalau itu terjadi sekarang bisa mengulangi, mengurangi maksud saya, legitimasi pemerintahan tentu saja membuat orang penasaran dan yang saya khawatirkan adalah akan menjadi ingin, terhadap proses demokrasi sehingga akhirnya, sudahlah, menyerah.
Silahkan demokrasi mau dijalankan oleh, tentu saja monggo, mau dijalankan, kalau maunya menang-menangan silahkan gitu. Tentunya ada sifat antipati begitu ya, dan ini sangat disayangkan.
Tapi yang jelas, ini salah satu poin begitu ya, bahwa penyelesaian hukum, karena kata payung hukum itu sebetulnya juga memiliki potensi sebagai media untuk rekonsiliasi dan juga media untuk konflik manajemen disitu, atau conflict prevention ya disitu.
Kalau dikatakan, bahwa hukum menjadi media resolusi konflik, namun faktanya terdapat kelemahan-kelemahan dalam proses prakteknya. Apakah hal tersebut dipahami oleh negara sebagai institusi kelembagaan yang memang memberikan ruang-ruang itu, sehingga elemen ini bisa teratasi dan tidak terulang lagi pada konteks Pilpres ini paska transisi?
Harus dilakukan, karena walau bagaimanapun pembeda dasar demokrasi dan anarki adalah jalur hukum, jalur untuk menunjukkan people power sudah dilakukan dan terbukti bahwa rezim ini kan paranoid sekali.
Bayangkan ya, ini sebagai contoh. Anak saya itu sekolah di Jakarta wilayah yang sangat jauh dari pusat kota, itu sudah dihimbau oleh gurunya hati-hati ke sekolah.
Anak saya WA, pah ini bagaimana? Tenang saja enggak ada, tapi sudah sampai digembar-gemborkan, bahwa Jakarta itu akan demikian kacau, padahal hanya di ruas-ruas Tamburan ya kan, bahwa itu di ruas Thamrin dan di ruas Tamburan, itu aja, yang lainnya tidak. Aman.
Tapi perlindungannya luar biasa, sampai kemudian di game juga internet. Ini kan sebenarnya paranoid dan ujicoba.
Nah yang belum kan jalur hukum, dan ini memang harus dilakukan kiranya untuk membuktikan bahwa seperti apa sih jalannya pemilu kali ini, kan sudah berjalan. Tapi ini juga salah satu cara kalau tadi pertanyaan awal, bagaimana agar ini tidak berkelanjutan, dan ini harus ditempuh.
Nah, selain jalur hukum, yang kedua adalah jalur rekonsiliasi elit politik. Ini harus dibina jika sudah mulai berinisiatif dan beberapa kali pertemuan juga untuk menunjukkan kepada masyarakat secara simbolik dan juga secara substansi bahwa elit ini sudah berupaya untuk berkontestasi dan ternyata hasilnya seperti ini dan walau bagaimanapun harus ada simbol bahwa kita bekerja pada akhirnya untuk masyarakat banyak.
Berkaca dari penjelasan barusan, apakah menyakinkan para elit politik mampu legowo untuk menunjukkan tindakan rekonsiliasi?
Saya kira kalau legowo seratus persen para elit kedua belah kubu ya tidak, tapi terpenting para elit penguasa harus bersikap kenegarawanan, bukan malahan memperhatikan kepentingan dirinya sendiri saja.
Nah kita bisa testing ini bahwa separuh besar elit-elit kita ini bermental negarawan atau politisi, tapi tanpa adanya simbolisasi dari para elit untuk melakukan aktivitas rekonsiliasi yang baik maka ini akan pincang jalannya, karena masyarakat pasti melihat elit.
Di dalam masyarakat kita yang masih patron client rekonsiliasi ini penting karena dari sana akan ada piramidanya, kalau pusat sudah begini, provinsi sudah begini, daerah begini.
Memang masih legowo tapi setidaknya dengan kata-kata bijak yang baik yang penuh dengan filosofis bernuansa kenegarawanan maka peluang itu ada.
Bagaimana posisi media di peta politik Pilpres dan tindakan mereka?
Media penting ini saya melihat justru media entah pesanan atau tidak tapi cenderung bersifat membakar ketimbang mendamaikan dari kedua kubu, sehingga orang ini dibakar semangatnya untuk terus menuntut dan terus menganggap bahwa akan ada satu kegiatan yang bisa menghancurkan negara ini sehingga tagar kami bersama TNI kesana kita sedang perang, padahal polisi sendiri sedang berperang dengan massa yang tidak bersenjata.
Nah ini kan sebetulnya aktivitas-aktivitas seperti ini bernuansakan fasisme menurut saya, bagaimana mungkin demonstrasi yang sah secara konstitusional yang merupakan konsekuensi demokrasi dihadapi dengan peluru tajam.
Nah ini diulang-ulang, di sisi lain juga kecurigaan tentang komunisme, kecurigaan tentang Cina, itu juga disuarakan oleh media. Ini memang harus dihentikan.
Bagaimana caranya media tunduk dengan aturan?
Sayangnya begini, kelemahan mendasar dari pemerintah terdahulu, merespon secara Orde Baru. Tidak heran karena banyak jenderal-jenderal yang bercokol di sana.
Mentalnya Orde Baru, sehingga ketimbang melakukan satu pendekatan kemanusiaan yang soft mereka justru menggunakan pendekatan militeristik, atau cara-cara Orde Baru seperti ingin membangkitkan undang-undang subversif.
Tim bantuan hukum Wiranto misalnya itu kan hal yang mengingatkan kita pada undang-undang itu, jadi sebetulnya bukan itu yang harus dilakukan, tapi bagaimana pemerintah dengan juru bicaranya orang layak untuk bicara bilang, "tolong media stop deh", gitu loh, harus akui mungkin juga ya. Kalau ini dilakukan dengan elegan itu bisa menjadi jalan.
Ketiga, di media sosial bahwa ada media-media yang memang menenangkan dan memang harus ada himbauan dari pihak pemerintah.
Yang ingin saya sampaikan disini adalah, ya, presiden itu ngomong gitu lo, bukan mungkin karena merasa berhutang dengan buzzer kemudian dia diam saja padahal dia tahu bahwa salah satu persoalannya itu ada disitu, seharusnya ngomong, Prabowo ngomong, media hati-hati gitu kan, karena sumber bacaan orang ini.
Perlu nggak media-media itu diundang ke istana, bersama lintas elit, ada Prabowo ada Jokowi untuk saling temu-ramah sehingga tidak ada lagi distribusi informasi yang memang dianggap cenderung membuat persatuaan Indonesia itu menjadi semakin menipis?
Ya, itu kan taktik strategi mekanisme pelaksanaan, boleh saja, baik saja, tapi prinsipnya adalah bagaimana ini media yang bekerja secara riil akar rumput karena masyarakat sekarang lebih percaya pada itu atau lebih enjoy pada gadget.
Itu (media harus_red) bertanggung jawab, jangan hit and run gitu ya. Jangan kemudian cuci tangan dengan berbagai sampah yang mereka buang, gak bisa gitu.
Nah yang keempat, pendidikan politik melalui tokoh-tokoh informal, melalui tokoh-tokoh institusi atau lembaga-lembaga pendidikan, juga partai politik disitu, untuk sama-sama membangun lagi kepercayaan terhadap demokrasi, proses pemilu dan juga akhirnya kedepan rasa persatuan kita sebagai bangsa, ini harus juga dilakukan.
Seharusnya ini partai politik tidak menghilang dan juga teman-teman aktivis juga tidak menghilang justru turun lagi ke masyarakat untuk meyakinkan bahwa ini proses demokrasi.
Apakah masih bisa diterima oleh masyarakat dengan aktivis yang dianggap telah gagal memperjuangkan aspirasi mereka?
Ini kan belum terbukti gagal karena pemilu baru kemarin kok. Terbukti masyarakat kan tetap menyalurkan pilihannya di partai-partai itu sekarang apa salahnya misalnya di level kabupaten mereka melakukan rekonsiliasi, menduplikasi apa yang dilakukan di pusat misalnya, sama-sama keliling gitu ya, bertemu masyarakat mendamaikan gitu ya, mempercayakan pada jalur hukum nanti kita bisa lihat bagaimana bisa.
Ini sebenarnya diuji tingkat ketokohan partai politik di masyarakat kita, mampu tidak mereka didengar oleh masyarakat atau gara-gara money politic yang disebar, money talk ya, uang yang bicara jadi mereka sendiri tidak bisa bicara.
Inilah yang sebenarnya kalau kita lihat parsial yang sistemik juga bagaimana ada gap antara aktor politik, kader partai dengan masyarakat karena yang pembicara itu bukan kata-kata yang winning the heart, yang memenangkan hati mereka tetapi uang yang memenangkan perut mereka, begitu.
Kalau memang mereka mampu menjadi tokoh masyarakat, mereka harus berinisiatif ke masyarakat untuk bicara itu. Jadi saya kira itu.
Terkait posisi keberadaan ulama sendiri apa harus dilakukan dalam posisi transisi hari ini untuk menunjukkan persatuan kedua pihak paska Pilpres ini?
Itu bagian terpenting keterlibatan ulama untuk memberikan pendidikan politik bersama tokoh-tokoh, politic education, politic social society, ekonom society, untuk kemudian kerja barenglah untuk menunjukkan misalnya bahwa demokrasi itu yang kalah tidak kalah selamanya, dan yang menang pun tidak menang selamanya karena dibuka peluang lima tahun kemudian untuk mengoreksi atau membuat lebih baik untuk rencana berikutnya.
Jadi memang intinya adalah di negara seperti Indonesia ini adalah waktunya bagi para elit turun lagi ke jalan, turun lagi ke masyarakat, begitu.(red)