Beranda / Dialog / Azharuddin: Kurangi Orang Aceh Berobat ke Luar Negeri, RSUZA Incar Sertifikat JCI

Azharuddin: Kurangi Orang Aceh Berobat ke Luar Negeri, RSUZA Incar Sertifikat JCI

Jum`at, 18 Oktober 2019 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Direktur RSUZA Dr dr Azharuddin SpOT K-Spine FICS. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM - Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh menjadi rujukan pasien seluruh Aceh. Dengan kapasitas 738 tempat tidur, rumah sakit pelat merah ini mendapat tantangan untuk memperoleh akreditasi rumah sakit standar internasional dari JCI (Joint Commission International).

Tahun ini, RSUZA masuk dalam salah satu dari 19 proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) 2019 yang dipilih Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas.

Dengan skema KPBU itu, Pemerintah Aceh berhasil mendapatkan solusi pendanaan alternatif untuk mengembangkan pembangunan rumah sakit itu tanpa harus menunggu APBA. Skema kerjasama ini sedang menunggu persetujuan DPRA.

Dialeksis.com melakukan dialog dengan Direktur RSUZA Dr dr Azharuddin SpOT K-Spine FICS, Kamis (10/10/2019) lalu, untuk mengetahui apa saja capaian dan tantangan yang harus dihadapi dalam meningkatkan pelayanan di rumah sakit pemerintah tersebut. Berikut petikan wawancaranya:

Apa saja capaian-capaian RSUDZA Banda Aceh, khususnya selama Bapak memimpin?

Khusus kita bicara RSUZA sebagai rumah sakit pusat milik pemerintah Aceh, tentunya kita dalam berkiprah, menerima pasien-pasien rujukan.

Apa hal-hal yang kita lihat adalah secara administratif, secara umum, rumah sakit ini selalu ada renstra (rencana strategis) yang memang dibuat untuk penganggaran, perencanaan, sehingga bisa objektif terukur. Jadi apa yang direncanakan, apa yang dilakukan, bagaimana pencapaiannya.

Sekarang kita lihat, apa tugas utama dari rumah sakit, pasti di dalam Aceh Sehat (salah satu program Aceh Hebat Pemerintah Aceh_red) itu, kita ingin memberikan kontribusi, memberikan pelayanan. Bukan memberikan pelayanan Aceh Sehat saja, tapi ada inovasi-inovasi lain untuk mewujudkan Aceh Sehat.

Apa tupoksi, fokus kerja RSUZA?

RSUZA core utama, kita kan pusat rujukan utama. Kalau kita bicara preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, kita kan lebih, hampir 80 % ini kan kuratif. Kita ngobatin.

Jadi kita misalnya sekarang baru disebut-sebut, tolong dong rumah sakit juga harus ada peran dalam menangani stunting misalnya. Bagaimana membuat, meminimalisir, negara tidak menghabiskan penyakit-penyakit untuk gizi buruk, kematian ibu-anak makin tinggi, diharapkan rumah sakit ikut berperan meski core-nya itu ada di dinas kesehatan.

Jadi dalam visi misi Pemerintah Aceh, bagaimana rumah sakit ini juga dari aspe-aspek lain yang katakanlah inovasi-inovasi.

Sekarang kan RSUZA sudah punya 738 tempat tidur, kita melihat masih banyak sekali yang bisa dilakukan oleh RSU Zainal Abidin sesuai dengan kebutuhan kekinian masyarakat Aceh.

Kita melihat sekarang opportunity kita tidak dipunyai oleh yang lain, misalnya jenis-jenis layanan yang kita inginkan. Apa yang kita punya disini itu masih dibutuhkan oleh masyarakat.

Jadi dari jumlah 738 tempat tidur masih ada masyarakat yang antrian, yang layanan-layanan tertentu itu masih panjang.

Jadi kita memikirkan bagaimana terhadap SDM-nya cukup banyak, SDM kita ini dokter spesialis 204 orang, itu capaian juga ya. Spesialis tidak akan mau kalau satu rumah sakit itu biasa-biasa saja, tidak punya masa depan.

Justru yang kita lihat ini, animo dokter-dokter ahli untuk bekerja di RSUZA itu kita bisa dirasakan itu terus bertambah. Malah kita harus memfilter dari daerah-daerah yang bekerja disini.

Memang kita ada pergub yang persyaratan pindah di luar provinsi tapi yang ingin kami kaitkan adalah apa yang RS Zainal Abidin pikirkan, multiplier effect. Bagaimana supaya orang tidak banyak yang berobat ke luar negeri.

Itu hak asasi manusia untuk berobat ke luar negeri. Itu siapapun sama halnya, bisa memang gaya hidupnya begitu, bisa sambilan dia kesana, tetapi yang masih punya kewajiban dari Pemerintah Aceh bahwa kita belum menyediakan layanan yang sesuai dengan espekstasi mereka terutama memang untuk kelas menengah ke atas.

Contohnya, ada masyarakat yang kepingin layanan eksekutif, yang memang berbayar baik dengan asuransi-asuransi pegawai negeri misalnya seorang kepala dinas itu kelas satu atau memang BUMN atau asuransi-asuransi swasta yang lain, kita beum menyediakan tempat yang memadai.

Jadi untuk itu, RS Zainoel Abidin harus memikirkan itu, sehingga capital flight (berobat ke luar negeri_red) juga berkurang.

Saat ini layanan yang disediakan apa dan itu menjadi salah satu capaian yang dilakukan oleh pihak RSUZA?

Kita memulai dengan poli eksekutif, tapi kan belum sanggup kita menyediakan karena belum ada fasilitas baik fisiknya.

Katakanlah kalau sekarang orang berobat eksekutif, masih bercampur pasiennya itu dengan pasien-pasien BPJS. Kamar operasi, masih menggunakan kamar operasi yang sama. Ketika dia mau operasi cepat, harus bersabar juga dengan pasien yang sudah ada dengan BPJS.

Artinya belum leluasa untuk kita melakukan sesuatu yang by design gitu. Maka untuk itu kita sadar betul, mulai dari yang kecil-kecil dulu, perencanaan, kita bisa melihat sejauh mana antusias masyarakat.

Ternyata kita melihat, memang masyarakat sangat menginginkan kalau ada sesuai dengan harapan mereka dengan baik, layanan mereka dengan baik, aman berkualitas, kenapa tidak?

Ini yang kita lihat sehingga ketika menyampaikan kebutuhan rumah sakit ke Pemerintah Aceh melalui Gubernur atau Plt. Gubernur, beliau menyambut itu. Tentunya dengan keterbatasan APBD/APBA, keterbatasan dari APBN makanya digagas dengan skema KPBU.

Itulah yang kemudian kita anggap multiplier effect, dengan KPBU itu kita bisa merasakan manfaatnya.

Itu ditargetkan untuk membangun?

Untuk membangun enam center-good excellent RSUZA. Orientasi pusat pelayanannya itu ada jantung terpadu, pusat ginjal terpadu, pusat mata terpadu, kemudian trauma center, jadi terintegral, ditambah parkir bertingkat.

Jadi kita berharap dengan skema KPBU itu yang langsung dibawah Menteri Keuangan, kita sudah menyiapkan satu tahun lebih, tapi saat ini sedang menunggu persetujuan DPRA, sedang berproses.

Kalau memang itu sudah ada persetujuan DPRA, malah kita ini sudah duluan mendapat persetujuan Kemendagri, dengan Kemendragri melihat potret APBA, justru Aceh itu untuk fiskalnya sangat sehat.

Karena kewajiban kita tiap tahun rencananya dengan KPBU itu nanti yaitu 17 tahun kita menyelesaikan kewajiban kita, selama 17 tahun itu ditungguin oleh tim yang profesional, maka tidak ada kepingin dinding yang rusak, tidak kepingin keramik yang pecah, tidak kepingin AC yang tidak hidup, itulah yang kita jaga.

Pemerintah Aceh melalui PJPK yaitu pak gubernur memang kita membayar kewajiban, memang mereka berikan dulu ke kita.

Sudah ada 700-an kamar, sudah ada tenaga alhi profesional, spesialis, sudah KPBU, yang lain ada, misalnya ada fasilitas JKA, seperti pasien mendapatkan makan dan lain-lain?

Sekarang kan JKN, Pemerintah Aceh membayar premi ke pemerintah pusat, terintegrasi. JKA yang memang murni dari BPJS yang merupakan tanggung jawab nasional itu kan ada dari 5,3 juta penduduk Aceh ada 2,3 juta sekian kewajiban Pemerintah Aceh membayar premi, 2 juta sekian kan dibayarkan oleh pemerintah pusat.

Sekarang ada inovasi-inovasi lain yang kita capai yang tidak dilakukan oleh rumah sakit lain. Kita mengadakan rumah singgah untuk memudahkan pasien dari luar kota.

Kita dengar kemarin, dua minggu yang lalu di Kompas, bahwa Gubernur Jawa Barat hanya dengan 30 tempat tidur itu jadi viral nasional, kita 144 tempat tidur sudah duluan memulai dan kemudian di medsos sudah diapresiasi kita.

Artinya orang tidak perlu mondar-mandir di kota. Dari Tamiang jauh-jauh, katakanlah harus kontrol minggu depan, kita sediakan tempat sesuai dengan ketentuan: benar pasien berobat disini? Benar dia harus ke poli klinik? tidak harus pulang dulu kesana.

Satu hal menarik yang kami dengar, ada penataan sistem bahwa seorang dokter nanti tidak perlu datang kemana-mana, tapi dari system monitor, dicek, seperti dimiliki RSCM, apakah itu sudah dibuat sama RSUZA?

Kita sekarang, kalau data tempat tidur online sudah ada, karena itu kewajiban. Katakanlah BPJS, BPKP itu tau utility tempat tidur, jadi matching.

Katakanlah tempat tidur 738, berapa penggunaan tempat tidur? Apakah dipergunakan, apa tidak. Jadi tidak bisa misalnya ada seseorang minta tolong, "Pak Direktur kasih kamar saya", ini lah diam-diam, itu tidak bisa, online.

Kan udah tau dipakai apa tidak, kalau tidak nanti iuran kita bayar kesitu. Itu sekarang kita konsekuensi dengan transparansi, tidak bisa misalnya dokternya sangat terkenal disimpan dulu, "tolong simpan dulu untuk calon pasien saya", tidak bisa.

Kalau sekarang itu betul-betul online, kalau memang ada silakan masuk, kalau belum, boleh nanti di kelas bawahnya dulu nanti kita titip. Berarti kalau ada baru atau silakan kita antar ke rumah sakit lain sesuai kelas, jadi space itu tetap diberikan.

Apa langkah ke depannya yang perlu dilakukan lagi sebagai sebuah capaian, misalkan mengejar ISO?

Kita merencanakan untuk mendapatkan world class hospital akreditasi JCI (joint commission international) berpusat di Amerika. Di Indonesia tidak banyak rumah sakit yang memperoleh sertifikat JCI.

Bagaimana untuk mendapat itu adalah challenge untuk manajemen. Banyak skeptik gak mau, susah dapat. Saya bilang begini: kalau main bola itu tingkatnya olimpiade. Ada yang menang antar kampung, antar kecamatan itu biasa-biasa saja, itu akreditasi bintang dua, bintang tiga, bintang empat.

Tetapi namanya JCI itu kalau dapat boleh bangga karena itu memang keras dan dia itu seperti monster. Ketika (tim penilai JCI_red) datang kemari gak mau dijemput, tidak mau ditraktir makan, tidak mau ini-itu, dia datang memotret.

Artinya ia harus kita kasih data-data kita, kekuatan rumah sakit kita 6 bulan sebelum hari H dia kesini. Selam satu minggu ia akan melakukan survei.

Aturan mainnya begini, "oke, anda berani ya untuk meminta kami menilai, oke." Format yang dia kasih kita isi. Enam bulan dia akan datang memastikan apa yang sudah kita bilang. Makanya ketika dia datang dengan senyum terus bilang: "anda ini masih belum".

Apa targetnya?

Targetnya adalah safety and quality, targetnya 2020 harus datang. Untuk mencapai itu banyak sekali yang harus kita benahi, kenapa demikian?

Ada rumah sakit yang hanya 60 tempat tidur, dia sudah mendapatkan JCI, rumah sakit swasta. Kita 738 tempat tidur dengan karyawan hampir 3 ribu, dengan instalasi lebih dari 30, dengan dokter-dokter ahli yang lebih dari 20, tentunya kan tidak gampang untuk memadu-padankan itu.

Seorang pimpinan, manajemen dari rumah sakit itu harus meng-organize begitu komplit. Inilah challenge (tantangan). Dengan apa caranya, tentunya kita berpikir. Cara yang benar-benar membantu kita adalah dengan ISO. Kita cicil ISO.

ISO itu memang internasional. Katakanlah kita ini bagus apa tidak, dia kan ISO. Sesuai waktu kalau memang kita udah dinilai udah diberikan, dalam perjalanan dia monitor tingkat terhadap standar, dia bisa cabut kapan saja. Jadi ISO itu adalah salah satu langkah kita supaya jangan tertatih-tatih ketika melakukan ini.

Jadi sekarang yang sudah tercapai kita itu enam bidang. Kemaren itu IGD, ITD, UTD, medical Record, SSRS, nanti bisa lihat di bawah sambil turun, ada terpampang, ada enam.

Kemudian kemaren baru 14 lagi kita, baru 4 ruang. Dia biasanya 3 kali baru diberikan sertifikat atau tidak. Jadi semacam workshop, latihan, lihat lapangan, baru diberikan. Itu langkah-langkah konkrit.

Jadi tidak mungkin seperti kita main bola langsung menang tanpa latihan. Upaya itu step by step. Itu langkah-langkah kita tidak hanya langsung tanpa usaha, inilah cara-cara itu. 

Kita bisa bilang dengan kebersamaan kita bisa, jadi semangat kebersamaan, berat langkah yang sama mudah-mudahan tercapai.(Ikbal Fanika)


Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda