kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Tanah untuk Mereka yang Kembali

Tanah untuk Mereka yang Kembali

Senin, 23 September 2019 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi kombatan GAM. [Foto: IST/merdeka.com] 


DIALEKSIS.COM - Torehan tinta dari tangan Malek Mahmud dan Hamid Awaluddin pada 15 Agustus 2005, disaksikan Martti Ahtisaari, berlangsung di Smolna Government Banquet Hall di Distrik Kaartinkaupunki, Helsinki, Finlandia, menuai harapan baru bagi para masyarakat Aceh yang sebelumnya melampiaskan ketidaksejahteraannya melalui desingan peluru di medan perang. 

Penandatanganan perjanjian damai berlabel MoU Helsinki itu membuka lembaran baru bagi ribuan eks kombatan, korban konflik, dan tapol/napol Aceh. Kompensasi atas mereka ketika kembali ke masyarakat telah dijamin dalam poin 3 butir MoU Helsinki.

Empat bulan pasca perjanjanjian damai, tepatnya 27 Desember 2005, militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) resmi bubar. Pernyataan ini disampaikan oleh Panglima TNA GAM, Muzakir Manaf, dan Juru Bicara TNA GAM, Sofyan Dawod, dalam konferensi pers di Kantor GAM, di Banda Aceh.

Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer GAM, dan segala atributnya dibubarkan. 

"Sekarang yang ada hanya KPA (Komite Peralihan Aceh), sebuah organisasi sipil," katanya saat itu. 

KPA adalah organisasi sipil untuk menampung semua mantan TNA, untuk membantu mereka mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pascadamai, ribuan eks kombatan kembali ke masyarakat. Masa reintegrasi ini tak semudah mereka menarik pelatuk senjata api ketika berperang, ada sekat yang harus dihadapi: kepercayaan masyarakat dan bagaimana mereka melanjutkan hidup.

Cerita Setelah Damai

"Pergi ke warung kopi, kamu bisa langsung merasakan proses damai sedang jalan. Sejak MoU, orang suka duduk-duduk di warung kopi 24 jam dari pagi sampai malam. Ini bagus buat usaha saya," kata seroang warga Alue Bu Jalan, Kecamatan Peureulak Barat, Aceh Timur, yang dikutip Dialeksis.com dari penelitian World Bank yang diterbitkan Maret 2006.

Penelitian itu berjudul "Kajian Mengenai Kebutuhan Reintegrasi GAM (Meningkatkan Perdamaian Melalui Program Pembangunan di Tingkat Masyarakat)". Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh Patrick Barron, Samuel Clark, Arya Gaduh dan Matthew Zurstrassen, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Dian Paramita.

Barron dkk dalam laporan itu menyebutkan, di kabupaten/kota di Aceh berbilang bulan pascadamai, beberapa kecamatan memiliki jumlah GAM yang kembali tidak seimbang. Namun GAM yang kembali di desa-desa tertentu berjumlah cukup besar.

"Kebanyakan desa di Aceh memiliki sedikitnya satu atau dua GAM yang kembali," tulis mereka.

Penyerahan senjata oleh eks kombatan kepada AMM. [Foto: Adi Warsidi/acehkita.com]

Hal itu disebabkan karena pendekatan GAM dalam penerimaan anggota baru dengan meminta (kadang memaksa) satu atau dua laki-laki dari setiap desa untuk bergabung.

Namun ada desa-desa lain yang memiliki GAM aktif dalam jumlah yang lebih besar dibanding desa lain. Desa-desa itu biasanya punya sejarah panjang yang berhubungan dengan aktivitas separatis di Aceh, yang merupakan tempat asal pemimpin separatis terkemuka atau tempat terjadinya konflik.

Mereka menerangkan, proporsi para eks GAM masih sangat kecil dibandingkan populasi desa tujuan mereka. Misal di 38 desa yang mereka teliti secara kualitatif, ditemukan, jumlah tertinggi GAM yang kembali dalam satu desa sebanyak 70 orang; namun desa ini populasinya besar yaitu lebih dari 1.000 rumah tangga. Karena itu persentase GAM yang kembali di desa tersebut secara relatif masih kecil.

"Hubungan GAM dengan masyarakat sudah sama kayak dulu. Sudah bergabung lah. Karena ke depan jangan sampai ada dendam lagi. Sebab dari dendam itulah bisa sampai ada konflik yang begini. Memang ada sakit hati, tetapi tidak usah lagi. Kita tutup bukulah. Dendam itu dibuang. Bukan gak diingat, tetapi cuma menjadi kenangan," kata warga Babahrot, Aceh Barat Daya.

Di seluruh 38 desa, persentase GAM yang kembali adalah antara 0.1 dan 4% dari populasi desa. Hal itu berbeda dengan demografi umur secara umum di Aceh, mayoritas GAM yang kembali berusia antara 18-35 tahun.

Lebih dari 75% GAM aktif masuk ke dalam kategori umur tersebut, dibandingkan dengan 36% populasi umum. Hampir 90% GAM aktif dalam kategori umur ini adalah TNA atau calon TNA yang baru dilatih.

Hal itu menunjukkan eks kombatan diharuskan melakukan pekerjaan fisik yang sesuai untuk laki-laki muda. Dari sini juga diketahui bahwa GAM menerima laki-laki muda yang memiliki kesempatan terbatas dalam mendapatkan pekerjaan produktif yang menghasilkan uang. Sementara GAM aktif yang berumur di atas 35 tahun biasanya lebih terlibat dalam struktur sipil dan polisi GAM daripada mereka yang lebih muda.

Enam bulan paska MoU, hampir 75% GAM belum kembali bekerja. Sejumlah alasan mengganjal yang berdampak serius pada proses reintegrasi.

Laporan itu mengungkapkan, sebelum bergabung dalam GAM, hampir 95% memiliki pekerjaan dan sebagian besar adalah petani atau pedagang kecil. Mereka yang sudah kembali bekerja, sebagian besar kembali ke sektor pertanian, diikuti dengan perdagangan atau pekerjaan lepas.

"Mereka yang memiliki lahan lebih mudah untuk kembali bekerja," ungkap Barron dkk.

Kombatan GAM. [Foto: BBC.com]

Eks kombantan GAM menemui kendala dalam mendapatkan kembali mata pencaharian mereka. Status pekerjaan mereka yang kembali tidak stabil.

Namun GAM aktif memandang ada empat pilihan untuk mendapatkan pekerjaan, (1) 43.1% berharap dapat kembali ke pekerjaan semula dan tinggal di desanya; (2) 26.0% ingin tinggal di desanya, tetapi beralih pekerjaan; (3) 6.1% ingin pindah ke desa lain dengan pekerjaan yang sama; (4) 1.3% berharap dapat pindah ke desa lain dan beralih pekerjaan, dan (5) 23.5% tidak yakin apakah mereka ingin berkecimpung di pekerjaan/desa yang sama.

Barron cs mengemukakan, "Kunci agar bantuan efektif adalah menyesuaikan bantuan tersebut dengan aspirasi yang berbeda-beda dari GAM yang kembali, dan memahami berbagai macam pilihan yang diinginkan dan diyakini bermanfaat."

Data berikut perlu diperhatikan dalam memberikan bantuan kepada para eks kombatan, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik.

World Bank menyebutkan, sebelum bergabung dengan GAM, mayoritas GAM aktif (94.6%) memiliki pekerjaan. Sebagian besar eks GAM yang kembali dulunya bekerja sebagai petani (mantan kombatan 30.2%, tapol 42.8%) atau pedagang kecil (mantan kombatan 19.6%, tapol 20.3%). Hanya 5.4% GAM aktif tidak memiliki pekerjaan sebelum bergabung.

GAM yang kembali dari kabupaten wilayah barat lebih banyak berasal dari sektor pertanian (38.9%) dibandingkan dengan kabupaten wilayah timur (25.3%). 

Di kabupaten wilayah timur, persentase GAM yang dulunya pelajar lebih tinggi (11.5% dibandingkan 7.1% di wilayah barat). Data ini mencerminkan besarnya jumlah mantan GAM dalam kategori umur 18-25 tahun di wilayah tersebut.

"Saya sekarang belum ada kegiatan apa-apa. Saya tidak ada kebun. Sementara saya kerja harian saja. Sekedar cukup buat beli rokok. Kerja harian di sini sehari Rp. 30.000," ungkap seorang tapol asal Nisam, Aceh Utara, dalam laporan itu.

Sementara, eks kombatan di Kluet Tengah, Aceh Selatan, mengatakan: "Saya sudah mulai ke kebun. Gak ada cara lain, saya harus kerja. Orang tua saya sangat miskin. Mereka baru kembali dari Tapaktuan, jadi mereka tidak dapat membantu saya kalau saya tidak kerja."

Saat itu, GAM yang kembali menyebut kekurangan modal sebagai rintangan terbesar untuk meningkatan mata pencaharian. Namun demikian, agar mereka yang kembali dapat menggunakan modal dengan efektif dan berkelanjutan, maka perlu masukan tambahan. 

Hal itu meliputi pelatihan (khususnya bagi mereka yang ingin beralih pekerjaan), rencana penciptaan lapangan kerja dan pembangunan sektor swasta.

Adapun, langkah-langkah untuk memprioritaskan masukan tersebut tergantung pada pilihan mata pencaharian yang diminati GAM yang kembali. Misal diutarakan mantan kombatan asal Tiro/Truseb, Pidie ini.

"Saya bergabung dengan Aceh Merdeka tahun 1987, sekarang disebut GAM. Ketika saya di Malaysia saya belajar bagaimana berdagang dan menjalankan usaha. Ke depan saya punya harapan yang cukup besar, tetapi saya gak punya modal. Mungkin akan kembali menjadi petani. Sebenarnya saya mau berdagang lagi, membeli dan menjual barang. Tapi tidak di desa ini tapi di tempat lain yang lebih ramai, mungkin di Sigli ata di Banda Aceh."

Barron cs menyebutkan, pendidikan formal bukan prioritas utama bagi GAM yang kembali, meskipun banyak anggota muda GAM (umur di bawah 25 tahun) berminat untuk sekolah lagi. Mereka lebih menginginkan pendidikan paruh waktu atau pelatihan ketrampilan praktis dan dapat bekerja di saat yang sama.

Mayoritas GAM aktif ingin mendapatkan kursus yang dapat membantu mereka menjadi pedagang (70%). Hal ini tidak mengejutkan karena hampir semua yang ingin merubah pekerjaan, tertarik untuk menjadi pedagang.

Barron dkk menerangkan. Bagian 3 Mou Helsinki mengatur proses untuk membantu reintegrasi mantan kombatan GAM dan tahanan politik (tapol) ke desa-desa dan masyarakat Aceh. MoU pun menyiapkan sejumlah langkah membantu reintegrasi eks kombatan, tapol/napol, dan masyarakat terdampak konflik:

1) Penyediaan dana reintegrasi untuk memberikan "kemudahan ekonomi" bagi mantan kombatan, tapol yang telah memperoleh amnesti, dan masyarakat yang terkena dampak (Pasal 3.2.3);

2) Rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik (Pasal 3.2.4);

3) Alokasi tanah pertanian, pekerjaan, dan jaminan sosial untuk mantan kombatan, tapol, dan masyarakat yang terkena dampak (Pasal 3.2.5).

100 Tanah Pertama

Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk pada 15 Februari 2006. Sebuah lembaga resmi pemerintah, sebagai leading sector mengurus masalah reintegrasi dalam proses perdamaian di Aceh. Lembaga ini dihuni perwakilan pemerintah, GAM, masyarakat sipil, dan cendekiawan.

BRA berkewajiban untuk mereintegrasi mantan GAM, tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol), dan masyarakat sipil korban konflik, yang kembali ke masyarakat. Namun program BRA terhambat dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya kekurangan anggaran.

Ketua BRA, M Yunus menyebutkan, pihaknya sudah menerima data sedikitnya 150 ribu orang dari tiga kategori yang masuk dalam program reintegrasi.

"Sebanyak 70 ribu merupakan warga sipil korban konflik dan setengahnya, 35.000 orang tak mampu bekerja lagi karena dampak perang dan seharusnya diberi dana jaminan sosial," katanya, seperti dirilis beritagar.id, 27 Agustus 2019.

Semenjak terbentuk dan selama 14 tahun usia perdamaian Aceh, BRA baru menyalurkan bantuan reintegrasi senilai Rp3 triliun. Padahal, menurut Ketua BRA, Bank Dunia menilai kerugian masyarakat akibat konflik tersebut mencapai Rp107 triliun.

Kabar (sedikit) gembira tersiar pada 15 Agustus 2019. Kamis itu, Pemerintah Aceh melangsungkan peringatan 14 tahun perdamaian Aceh di Taman Sultanah Safiatuddin, Banda Aceh, Aceh. Seremonial acara ini dihadiri Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).

Acara dimulai dengan pemutaran video proses perdamaian Aceh yang berlangsung di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 lalu. Setelah itu, momen yang ditunggu-tunggu oleh "mereka yang kembali" adalah pembagian sertifikat tanah bagi 100 eks kombatan GAM, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik. Masing-masing mendapatkan 2 hektare.

Penyerahan sertifikat tanah kepada perwakilan 100 eks kombatan, tapo/napol, dan warga terdampak konfilk asal Pidie Jaya, saat peringatan 14 tahun perdamaian Aceh, 15 Agustus 2019, di Banda Aceh. [Foto: detikcom]

Hari itu, pertama kalinya Pemerintah Aceh melalui BRA menyalurkan bantuan tanah kepada tiga kelompok korban konflik, sesuai dengan amanat MoU Helsinki.

Secara simbolis pemberian itu diserahkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh, Saiful, kepada lima perwakilan eks kombatan. Proses penyerahan disaksikan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haythar.

Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) M Yunus mengatakan penyerahan sertifikat tanah pada momen peringatan 14 tahun perdamaian Aceh merupakan langkah awal dalam menyejahterakan eks kombatan, tapol/napol, dan korban konflik sesuai butir-butir perjanjian MoU Helsinki.

"Diserahkan kepada 100 orang eks kombatan wilayah Pidie Jaya. Masing-masing mereka mendapat 2 hektare per orangnya," ujar M Yunus kepada media, usai seremonial 14 tahun perdamaian Aceh.

Dia mengatakan, saat ini hanya perwakilan eks kombatan dari Pidie Jaya yang menerima sertifikat tanah. Sebab pemerintah setempat sudah menyerahkan tanah 200 hektare untuk kombatan. Sementara daerah lain masih dalam proses.

Kata M Yunus, ke depannya BRA juga akan membagikan kepada seluruh eks kombatan di Aceh secara bertahap.

"Target BRA di tahun 2020, sebanyak 20 ribu hektare tanah untuk kombatan bisa dibagikan," ungkapnya.

Dia berharap BRA dapat dukungan yang lebih serius dari pemerintah dalam memberikan pendanaan yang memadai dan mencukupi untuk pemenuhan hak-hak korban konflik, eks kombatan, serta tapol/napol.

Guna memuluskan reinterasi eks kombatan ke dalam masyarakat, BRA juga menggelar pelatihan. Pada 27 Agustus 2019 misalnya, BRA menandatangani MoU kerjasama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Kota Banda Aceh untuk meningkatkan kopetensi mantan kombatan, korban konflik, dan tapol/napol.

Kerjasama BRA dengan BLK Banda Aceh untuk membeirkan beberapa keterampilan seperti servis HP, AC, dan kulkas. Pada tahap pertama, BLK gelar pelatihan keterampilan elektronik service Hp dan kulkas kepada 40 orang yang diambil dari keluarga kombatan dan tapol/napol dari seluruh Aceh.

"Kita harapkan pelatihan begini bisa menjadi solusi untuk menuntaskan kemiskinan dan pengangguran, selain menaikkan taraf hidup keluarga kombatan," kata Kepala Sekretariat BRA Murni.

Instruksi Sediakan Lahan

Lima hari pascaperingatan 14 tahun perdamaian Aceh, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menyurati bupati dan wali kota se-Aceh terkait penyelesaian lahan pertanian untuk para kombatan, tapol/napol dan korban konflik Aceh.

Dalam surat bernomor 100/12790 tertanggal 20 Agustus 2019 itu dinyatakan, penyelesaian persoalan lahan penting untuk membangkitkan perekonomian Aceh.

Sebab konflik masa lalu telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian Aceh. Namun sampai saat ini belum mampu teratasi secara sempurna, meskipun pascaperdamaian antara pemerintah RI dengan GAM banyak keberhasilan telah dicapai. Sayangnya, belum sepenuhnya mengentaskan kemiskinan.

Guna mempercepat penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh, diharapkan bantuan para kepala daerah untuk mengidentifikasi faktor produksi berupa lahan di wilayah masing-masing untuk didistribusikan kepada eks kombatan, tapol/napol dan korban konflik, hal ini untuk memenuhi komitmen pemerintah RI dengan GAM sesuai Butir 3.2.5 MoU Helsinki.

Pada poin empat surat itu diinstruksikan, pemerintah kabupaten/kota yang telah mengalokasikan lahan pertanian bagi kombatan, perlu menyusun masterplan pengembangan lahan dan pemberdayaan eks kombatan.

Masterplan itu akan menjadi acuan bagi pendanaan pembangunan terutama untuk prioritas penguatan perdamaian.

Surat yang ditandatangani langsung oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah ini juga ditembuskan ke Ketua DPRA, Kepala BRA, dan Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh.

"Kita sangat bersyukur karena Bapak Plt Gubernur Aceh sudah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada bupati dan walikota untuk mempersiapkan lahan bagi eks kombatan sesuai perintah MoU Helsinki."

Ketua BRA M Yunus meluapkan kegembirannya atas keluar surat Plt Gub itu pada pertemuan dengan masyarakat korban konflik dalam rangka penguatan Reintegrasi Damai Aceh di Kantor Bupati Aceh Barat, Kamis (29/8/2019).

Ketua BRA, M Yunus. [Foto: Dok. BRA]

Surat gubernur itu, menurutnya, langkah maju pemerintah selama BRA terbentuk. 

"Arahan Gubernur juga agar dana otonomi khusus Aceh kabupaten/kota (DOKA) dapat dilokasikan untuk reintegrasi Aceh dan pemberdayaan ekonomi eks kombatan," sebut M Yunus dalam laman resmi BRA.

Badan Reintegrasi Aceh pada tahun 2019 juga terus melakukan kegiatan dalam rangka penguatan reintegrasi dan perdamaian, termasuk menjalankan program pengadaan tanah pertanian dan bantuan ekonomi.

Verifikasi Data Penerima

Surat Plt Gubernur Aceh yang meminta bupati dan wali kota se-Aceh mengidentifikasi tanah pertanian untuk didistribusikan kepada eks kombatan GAM, tappl/napol, dan masyarakat korban konflik dinilai sebuah langkah bagus.

"Hal tersebut menunjukkan pemerintah Aceh berkomitmen dalam menjalankan amanah dari butir-butir Nota Kesepahaman (Memory of Understranding/Mou) Helsinki," ujar Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada, Jumat (20/9/2019).

Pada butir 3.2.5. MoU Helsinki disebutkan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh, untuk melancarkan reintegrasi mantan pasukan GAM dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.

Kebijakan itu menurutnya sudah selaras dengan proses penyelenggaraan Reforma Agraria Plus yang dicanangkan pemerintah pusat, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan warga memanfaatkan tanah secara baik.

Karena itu, akademisi FISIP Unsyiah ini memberikan beberapa catatan terkait kebijakan pendistribusian tanah/lahan pertanian oleh Pemerintah Aceh bagi tiga kelompok penerima bantuan korban konflik: eks kombatan, tapol/napol dan masyarakat terkena dampak konflik.

"Pertama, diperlukan mekanisme pendistribusian serta pengelolaan tanah atau lahan pertanian tersebut secara tepat sasaran, tepat manfaat, tepat guna, sesuai dengan mekanisme ketentuan perundangan yang berlaku serta terjaminnya transparansi dan akuntabilitas," katanya.

Tepat sasaran, dia menjelaskan, tanah yang didistribusikan haruslah sampai kepada penerima yang berhak, yaitu eks kombatan, tapol/napol dan masyarakat yang terkena langsung dampak konflik.

Adapun tepat manfaat artinya tanah/lahan yang didistibusikan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal oleh penerima manfaat. Sementara tepat guna, proses pendistribusian dan pengelolaan lahan pertanian disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan Aceh. [Foto: Ikbal/Dialeksis.com]

"Dalam hal pendistribusian lahan pertanian ini, pemerintah Aceh harus menjamin proses tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme ketentuan perundangan yang berlaku. Artinya sesuai dan tidak bertabrakan antara peraturan yang berlaku secara nasional dan peraturan yang berlaku secara khusus (lex spesialis) di Aceh," tegasnya.  

Catatan selanjutnya, urai Aryos, Pemerintah Aceh melalui SKPA terkait seperti Badan Reintegrasi Aceh (BRA) harus memiliki data yang jelas, valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait masyarakat penerima bantuan tanah/lahan pertanian tersebut, baik data itu berasal dari Partai, Komite Peralihan Aceh ataupun data lain yang diperoleh dari hasil pendataan/investigasi di lapangan.

"BRA harus benar-benar serius dalam melakukan pendataan terhadap eks kombatan yang memang layak menerima tanah. Jangan sampai tanah hanya terdistribusi bagi eks kombatan yang sudah makmur namun eks kombatan yang belum sejahtera dan tidak tersentuh bantuan sama sekali justru tidak menjadi prioritas," katanya.

Ketiga, terkait status tanah, menurut Aryos, Pemerintah Aceh nantinya perlu memperjelas status tanah yang akan didistribusikan tersebut, apakah akan menjadi hak pakai, hak guna usaha atau hak milik bagi masyarakat penerima manfaat.

"Kemudian agar tidak terjadi konflik nantinya, status lahan juga harus jelas apakah berasal dari bekas HGU, tanah terlantar, tanah negara, pelepasan kawasan hutan, atau kawasan hutan produksi untuk konversi," tandas peneliti politik itu.

Soal kevalidan data, seorang netizen sempat menanyakan kepada BRA di halaman resmi bra.acehprov.go.id pada kolom komentar di berita "BRA Kembali Bahas Kesiapan Lahan Bagi Mantan Kombatan GAM dan Tapol/Napol", yang dipublish 11 Juni 2019.

"Bagaimana cara pendataan calon penerima lahan tersebut?" tanya pengguna dengan nama akun Sabri, 16 Juni.

Tiga hari berikutnya, melalui Tim Redaksi, BRA membalas: "Setiap calon penerima bantuan yang disalurkan melalui BRA didata dan diusulkan ke BRA Pusat oleh Satuan Pelaksana (Satpel) BRA yang tersebar di setiap kabupaten/kota di Aceh. Selanjutnya data-data tersebut akan diverifikasi ulang dan divalidasi kembali."

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Edi Yandra mengatakan, menyambut positif pemberian lahan bagi eks kombatan, tapol/napol, dan korban konflik, sebab sesuai UUPA No 15. 2006. 

"Cuma terkait dengan pelaksanaan secara prosedurnya itu yang tangani kan BRA, kalau secara dinas kan hanya bagian dari proses," ujarnya kepada Dialeksis.com, pekan lalu.  

Dia menjelaskan, BPN yang mengeluarkan sertifikat tanah, sedangkan pihaknya cuma memberi masukan. 

Untuk sinergisitas kerjasama antara BRA, BPN perwakilan Aceh, dan Dinas Pertanahan Aceh, kata dia, harus puna tim reforma-agraria, yang salah satunya mengurus redistribusi tanah. Dalam tim ini, juga harus ada dari unsur BRA, walaupun redistribusi ini bukan untuk eks kombatan. 

Dalam hal penyerahan tanah kepada tiga kelompok korban konflik, kata Edi, pihaknya cuma memfasilitasi berjalannya program tersebut, sebab leadingnya ada di BRA.

Berkaitan dengan pembagian tanah, sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, terkait kewenangan pertanahan, pembagian tanah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk penetapan subjek-objek.

"Untuk sumber-sumber objek kita bisa mengacu kepada Perpres 86 tahun 2018 tentang reforma agraria," kata Kadis.

Dia menjelaskan, sumber-sumber objek perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi terkait seperti kehutanan, perkebunan, transmigrasi, dan juga BPN dalam rangka mememastikan objek clear and clean.

"Setelah subjek dan objek ditetapkan oleh pemerintah daerah, ini akan menjadi dasar kegiatan lanjutan seperti sertifikasi dan pemberdayaan," ujarnya.

Mereka yang kembali kini masih mengharapkan ulur tangan untuk benar-benar menjalani kehidupan normal. Tak hanya bantuan lahan pertanian, bantuan pskologis untuk korban konflik mungkin perlu menjadi perhatian siapapun.(Makmur Emnur)


Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda