PP HAM Antara Non Yudisial dan Yudisial
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Ilustrasi pelanggaran HAM (Foto: Istimewa)
DIALEKSIS.COM | Dialektika - Cukup banyak pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di negeri ini. Mulai dari Aceh hingga ujung timur Papua. Penyelesaian juga berlarut larut, tidak jelas, bagaikan mengurai benang kusut.
Namun, kini Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Keppres tentang pelanggaran HAM berat. Upaya ini disebut sebut sebagai by pass atas kebuntuan upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat. Jalan tol ini merupakan komitmen pemerintah bagi pemenuhan hak korban yang telah bertahun-tahun belum terealisasi.
Non yudisial, bagaimana dengan yudisial? Persoalan inilah yang kini menjadi perdebatan menghiasi hiruk pikuk persoalan HAM di bumi Pertiwi. Apalagi di Aceh, Keppres nomor 17 tahun 2022 menjadi perhatian khusus.
Bahkan kalangan praktisi hukum menyebutkan Keppres ini menjadi preseden buruk kebijakan negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan pemulihan korban sebagai alasan belaka.
Bagaimana hingar bingarnya persoalan HAM berat dibahas dan menjadi perdebatan, Dialeksis.com merangkumnya.
Kebijakan Presiden
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menyebutkan Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) adalah merupakan by pass atas kebuntuan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat. Jalan ‘tol’ bagi komitmen pemenuhan hak korban yang telah bertahun-tahun belum terealisasi
Dalam rilis Media Kantor Staf Presiden ini menjelaskan, pada tahun 2022 ini pemerintah akhirnya berhasil memulai menangani pelanggaran HAM yang berat dan melalui proses yang rumit dan mengalami kebuntuan.
Penanganan non yudisial ini dilakukan secara paralel dan komplementer terhadap penyelesaian yudisial yang dimulai dengan proses peradilan di Pengadilan HAM kasus di Paniai terjadi tahun 2014 yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar.
Untuk pertama kali, penyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu non yudisial dibahas secara terbuka dan komprehensif guna menjawab berbagai spekulasi publik terkait landasan hukumnya.
Pembahasan tersebut dilaksanakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP) dalam forum yang diprakarsai bersama Komnas HAM dan INFID pada Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM pada tanggal 20 Oktober 2022.
Turut dihadiri, wakil ketua Tim Pemyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial (PPHAM), Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Wakil Ketua Komnas HAM dan wakil dari Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) serta wakil keluarga korban penghilangan paksa.
“Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa Lalu ini adalah bentuk komitmen serius Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui jalur luar pengadilan (non-yudisial) yang melengkapi mekanisme yudisial yang sedang berjalan di Makassar.
Kedua jalur penyelesaian ini sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM” tegas Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan.
Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu merupakan bentuk komitmen serius Presiden Joko Widodo.
“Bentuk komitmen serius presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur luar pengadilan (nonyudisial) yang melengkapi mekanisme yudisial yang sedang berjalan di Makassar, Sulawesi Selatan," kata Jaleswari Pramodhawardani, dalam keterangannya.
Dia mengatakan penanganan nonyudisial dilakukan secara paralel dan komplementer terhadap penyelesaian yudisial yang dimulai dengan proses peradilan di pengadilan HAM kasus di Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar.
Menurut Ifdhal Kasim Wakil Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) menyebutkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu oleh Tim PPHAM sejalan dengan prinsip dan norma internasional mengenai pemajuan dan perlindungan HAM.
Menurut Ifdhal, dalam siaran persnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu sudah sejalan dengan prinsip dan norma internasional karena Tim PPHAM. Memiliki tiga fungsi yang diatur dalam Keppres Nomor 17/2022.
Tiga fungsi itu, pengungkapan kebenaran, rekomendasi pemulihan korban, dan upaya penjaminan ketidakberulangan serta berpegang pada beberapa dokumen yang berisi prinsip-prinsip ataupun panduan relevan yang dikeluarkan PBB.
Baru-baru ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) juga telah mengelar Konfrensi HAM.
Dalam konfrensi itu ada enam poin yang dideklarasikan. Pertama, Pemerintah agar terus meningkatkan pelayanan, perlindungan dan pemenuhan HAM seluruh warga negara untuk menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih sehat, sejahtera, inklusif dan berkeadilan.
Kedua, Pemerintah daerah (kabupaten/kota) agar lebih terbuka, inklusif, akuntabel, dan menguatkan pelayanan kepada warga sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip-prinsip kabupaten/kota HAM.
Ketiga, Pemerintah (nasional dan daerah) agar melibatkan dan bekerjasama dengan unsur masyarakat sipil dan sektor swasta untuk menghormati dan memfasilitasi pemenuhan hak asasi manusia.
Keempat, agar semua kebijakan pemerintah (nasional dan daerah) memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keterlibatan semua unsur masyarakat.
Kelima, semua pihak agar terus merawat dan merayakan keberagaman, bergandeng tangan untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh dan harmonis. Dan terahir, mendorong semua pihak untuk mendukung dan mengupayakan pelaksanaan.
Preseden Buruk
Apakah dengan terbitnya Keppres akan menyelesaikan persoalan HAM berat di bumi Pertiwi? Pernyataan tegas dan keras soal Keppres nomor 17 tahun 2022 tentang TPPHAM ini disampaikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh.
Dalam siaran Persnya, LBH menyebutkan, Keppres tersebut merupakan preseden buruk kebijakan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurut Syahrul, Direktur YLBHI “ LBH Banda Aceh, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU HAM dan UU Pengadilan HAM yang mana menjelaskan bahwa, langkah penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan pro-justicia, langsung bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban, yaitu; hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan.
“Ketiadaan upaya untuk mencapai aspek kepastian hukum dalam tugas dan fungsi Tim PPHAM ini, kami nilai sebagai lemahnya negara dalam melakukan pengenakan hukum. Dampaknya berakibat pada keberlanjutan impunitas bagi orang atau kelompok yang diduga keras telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia,” jelas LBH ini.
“Kasus-kasus pelanggaran HAM berat telah jelas mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan HAM,” katanya.
Jika alasan pembentukan Tim PPHAM ini untuk mempercepat pemulihan bagi korban, seharusnya pemerintah justru harus mempercepat adanya peradilan HAM untuk memeriksa kasus-kasus yang telah terjadi.
Hal ini justru sejalan dengan upaya sebelumnya di mana Komnas HAM telah melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus tersebut.
Menurut direktur LBH ini, dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2020, Komnas HAM telah membentuk Tim Ad-Hoc Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Tujuan mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut ke tahapan penyidikan dan penuntutan.
Menggunakan hasil kerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus secara non-yudisial justru mendelegitimasi Komnas HAM secara kelembagaan, fungsi, sekaligus cita-cita negara untuk menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan atas hak asasi manusia seluruh warga negara.
“Ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan “pemulihan korban sebagai alasan belaka,” sebut direktur LBH Banda Aceh ini dalam keterangan Persnya.
Perlu diingat, bahwa pemulihan korban dan mengadili pelaku adalah dua hal yang berbeda. Terobosan untuk melakukan pemulihan bagi korban tanpa menunggu adanya putusan pengadilan tentu juga memiliki nilai baik,mengingat korban telah lama menunggu intervensi oleh negara.
Hal ini dapat dilakukan oleh negara tanpa harus menggunakan embel-embel “penyelesaian kasus” segala yang pada akhirnya akan menjadi preseden buruk dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Seolah-olah negara bebas untuk melanggar HAM warga negara, setelah itu tinggal bayar, demikian penjelasan direktur YLBHI- LBH Banda Aceh.
Sementara itu Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Mastur Yahya, yang diminta Dialeksis.com tanggapanya seputar Keppres nomor 17 tahun 2022, dan adanya pernyataan LBH Banda Aceh, menyampaikan pendapatnya.
“Kalau Keppres ini dimaksudkan sebagai bentuk perhatian kepada korban untuk dipulihkan hak-haknya, barangkali itu boleh kita pandang sebagai itikad baik negara yang memberikan perhatian yang lebih terhadap peristiwa-peristiwa berat HAM masa lalu,” ujarnya.
Mastur Yahya menyebutkan, khusus untuk Aceh ada peristiwa yang sudah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM yakni, peristiwa Simpang KKA, Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong 1989.
“Barangkali negara merasa perlu lebih tegas perhatiannya kepada korban, sembari menunggu penyidikan oleh Kejaksaan Agung, itu kita sikapi secara positif dan negara harus hadir terhadap korban,” tukasnya.
Namun, lanjutnya, karena disini data yang digunakan oleh PPHAM itu adalah data Komnas HAM yang dimana data Komnas HAM itu yudisial bukan non Yudisial, tentu ini menjadi tanda tanya besar.
“Disinilah terjadi debat. Karena Komnas HAM itukan datanya Yudisial. Bagaimana jaminannya nanti keberlanjutan penyidikan terhadap pelaku itu dianggap berhenti atau selesai. Tapi kalau memang betul-betul ini bukan untuk meniadakan hal tersebut saya kira tidak masalah,” sebutnya.
“Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua, dan khusus untuk Aceh, kami itu berkepentingan dengan istilah Non Yudisial yang dimana mandat KKR Aceh itu Non Yudisial dan kami telah mengumpul lebih dari 5.000 data dalam kategori menurut Qanun yang bukan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.
Menurutnya, KKR Aceh juga tidak mengecualikan jika dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan derajatnya termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat akan diinformasikan kepada Komnas HAM.
“Alangkah baiknya, KKR Aceh dilibatkan dalam penyediaan data yang sudah dikumpulkan secara kewenangan non yudisialnya,” ucapnya.
Dijelaskan Mastur Yahya, sejauh ini pihaknya dan Tim PPHAM belum bertemu. Namun jika tim PPHAM mengakomodir, menerima masukan dan komitmen dengan data yang sudah dikumpulkan KKR, pihaknya mempersilahkan dan menyambut baik.
Walaupun KKR Aceh itu letaknya di Aceh, lembaga ini dibentuk oleh undang-undang negara, artinya korban-korban yang sudah didata itu adalah milik negara. Tidak ada bedanya dengan data yang sudah dimiliki oleh Komnas HAM, yang membedakan Komnas HAM itu data Yudisial dan KKR Aceh datanya Non Yudisial,” jelasnya.
Presiden sudah mengeluarkan Keppres nomor 17 tahun 2022 yang penekananya kepada non yudisial dalam persoalan HAM berat di bumi Pertiwi, lantas bagaimana dengan yudisial, yang datanya sudah dikumpulkan Komnas HAM?
Apakah persoalan yudisial akan diabaikan setelah adanya Keppres tentang non yudisial ini, seperti kata Syahrul, Direktur YLBHI “ LBH Banda Aceh, ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan pemulihan korban sebagai alasan belaka.
Seolah-olah negara bebas untuk melanggar HAM warga negara, setelah itu tinggal bayar. Bagaimana kelanjutan dari Keppres ini, apakah upaya yudisial dalam pelanggaran HAM berat ini juga akan diperhatikan serius, atau hanya cukup sampai non yudisial? *** Bahtiar Gayo